Pov Anton
Aku segera meluncur ke kontrakan Nisa, aku benar-benar khawatir. Aku takut jika Bapak kembali melampiaskan nafsunya pada Nisa. Walaupun sebentar lagi aku dan Nisa akan bercerai, tapi perasaan ini tetap tidak bisa dipungkiri, aku tidak mungkin bisa menerima perbuatan asusila yang Bapak lakukan pada Nisa. Sesampainya di rumah kontrakan, Aku langsung masuk ke dalam. Benar saja dugaanku. Kulihat Nisa hanya membalut tubuhnya dengan handuk. Rambutnya basah. Sepertinya ia habis mandi besar. "Nisa! Kamu tidak apa-apa kan?" Tanyaku khawatir. "Mas… aku takut, Mas!" ucap Nisa. Ia langsung memeluk erat tubuhku. "Apa yang Bapak lakukan padamu, Nis? Apa dia memaksamu untuk melayani nafsunya lagi?" "Tidak, Mas! Bapak tidak melakukan apa-apa! Dia hanya mengambil seluruh uangku!" ucapnya membuatku lega. "Lantas, kenapa kamu tidak memakai baju? Rambutmu basahPov Baskoro"Bukan! Saya bukan copet! Kalian salah orang! Saya bukan copet!""Ampun! Tolong! Saya bukan copet!" aku terus berteriak meminta tolong. Tapi tidak ada satu orang pun yang menolong ku. Mereka semua kalap dan menyangka aku adalah copet.Aku terus berteriak meminta tolong sampai mulut ini tak mampu lagi untuk berucap."Ya Allah…ampunilah dosa-dosa ku selama ini! Aku bukanlah orang baik! Mungkin ini adalah hukuman yang pantas untuk orang jahat seperti ku, Astaghfirullah..tolong… ." lirih ku dalam hati. Aku tak mampu lagi berucap, sakit… sakit, hanya itu yang aku rasakan saat ini. Hingga akhirnya semua menjadi gelap.***Pov IbuSemua orang berteriak copet, aku yang sedang berbelanja sayuran menghentikan aktivitas ku. Semua orang berbondong-bondong menuju kerumunan di depan toko besar itu."Ada apa, Pak?" tanyaku pada tukang ojek yang mangkal di depan t
Tanpa menjawab penjelasannya aku bergegas menyalakan mesin mobil dan melaju dengan kencang menuju kontrakan Nisa."Ada apa sih, Anton? Ko panik banget! Siapa yang barusan telpon?" tanya Ibu bingung melihat kepanikan ku."Bi Sumi, Bu! Orang yang menemani Nisa di kontrakannya. Dia bilang Nisa jatuh dari kamar mandi. Ia panik karena Nisa pendarahan, kita harus segera kesana. Anton takut terjadi apa-apa dengan kandungannya," ucapku sambil terus memacu mobil dengan kecepatan tinggi."Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Nisa dan bayinya! Ibu tau kamu khawatir Anton! Tapi jangan ngebut kayak gini, Ibu takut.""Ibu tenang aja, kita akan sampai dengan selamat. Ibu gak usah khawatir, Anton cuma tidak mau menyesal jika sampai telat ngasih pertolongan pada Nisa," Walaupun saat ini aku dan Nisa sudah resmi bercerai, tapi anak itu tetap menjadi tanggung jawab ku sampai ia lahir ke dunia."Bi Sumi pasti
Extra Part"Mas, kayaknya Dedek ee deh! Dia nangis terus, sepertinya gak nyaman. Harus segera diganti popoknya, Mama gantiin popoknya ya, sayang!" ucap Nisa. Tangannya hendak membuka bedong yang menyelimuti tubuh Jannah."Jangan, Nis! Jangan dibuka! Biar suster aja yang gantiin popoknya!" ucapku menahan tangan Nisa."Gak apa-apa, Mas! Biar Nisa aja yang gantiin popoknya! Sekalian Nisa belajar Mas. Agar terbiasa!""Udah gak usah! Biar suster aja yang ganti! Kamu istirahat saja, lagian kamu kan masih lemes habis operasi!" ucapku pada Nisa. Aku pun segera mengambil Jannah dari gendongannya."Gak apa-apa, Mas! Biar Nisa aja yang ganti. Nisa gak lemes ko!""Gak usah Nis! Kamu istirahat aja! Aku gak mau kamu kenapa-kenapa! Dokter kan sudah bilang kalau kamu gak boleh banyak gerak!" Di tengah percakapan ku dan Nisa, tiba-tiba Ibu datang menghampiri."Ada apa
"Nis, kendalikan emosimu! Jangan seperti ini. Kasian Jannah! Dia haus, Nis! Dia butuh kamu,""Nggak, Mas! Aku nggak mau anak itu! Jauhkan anak itu dari aku, Mas! Bawa dia pergi! Aku nggak mau menyentuhnya lagi!""Dasar pelacur! Rasain tuh karma untukmu! Makanya jadi wanita itu jangan kegatelan, pake selingkuh dengan mertua sendiri! Gini kan akibatnya!" Suara teriakan dari luar masih terus menggema. Rupanya Ibu-Ibu komplek ini sama sekali tidak merasa Iba pada Nisa dan bayinya."Bu, tolong bawa dulu Jannah ke kamar! Beri dulu dia air putih. Anton mau mencoba untuk menenangkan Nisa!" seru ku pada Ibu. Ia pun mengangguk mengiyakan, dan segera membawa Jannah masuk ke kamarnya."Nis, ayo berdiri! Ikut Mas ke kamar!" ucapku merangkul Nisa dan membawanya ke kamar."Minum dulu, Nis!" Ku sodorkan satu gelas air putih padanya. Ia pun meminumnya sampai habis.Nisa mulai tenang, kul
"Ya Allah, Nis! Apa yang kamu lakukan?" aku segera menghampiri Nisa dan langsung mengangkat tubuhnya yang lemas ke sofa."Bu! Ibu! Cepat keluar, Bu! Nisa terluka!" teriakku memanggil Ibu.Setelah mendengar teriakanku Ibu pun keluar dari kamar, dengan Jannah di gendongannya."Ya Allah, Anton! Nisa kenapa?" tanya Ibu panik."Anton nggak tau, Bu! Barusan Anton lihat Nisa sudah tergeletak di dapur! Sepertinya dia mau bunuh diri!" sahutku pada Ibu.Aku segera mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Dan langsung mengikat luka di tangannya yang terus mengeluarkan darah. Aku harus segera membawa Nisa ke rumah sakit. Sebelum semuanya terlambat.Aku menggendong tubuh Nisa, dan memasukkannya ke dalam mobil."Bu, Anton mau kerumah sakit dulu! Ibu tolong jagain Jannah! Ini susu dan dot nya. Nanti tolong buatkan susu ini kalau Jannah haus!" jelasku pada Ibu sambi
"Stop, Bu! Tolong jangan telpon Emak! Anton akan bawa pergi jannah sekarang juga! Tapi Anton mohon, Ibu jangan hubungi Emak," ucapku pada Ibu yang hampir saja menekan tombol panggil di layarnya.Ibu pun menatapku lalu berkata. "Baiklah, Anton! Ibu tidak akan menelpon Emaknya Nisa, tapi sekarang juga kamu bawa pergi anak itu dari rumah ini. Ibu nggak mau kena sial karena membiarkan anak itu tinggal dirumah kita!" Tegas Ibu padaku. Aku pun mengangguk menyetujuinya, lalu berjalan ke kamar untuk membereskan semua barang-barang milik Jannah.Lima belas menit berlalu, semua barang milik Jannah telah aku masukan ke dalam tas. Aku pun bergegas menggendong Jannah yang sedang terlelap tidur."Gimana, Anton? Kamu sudah selesai membereskan semua barang-barang anak itu?
Nisa terbaring diatas kasur dengan kaki dan tangan terikat. Siapa yang tega melakukan ini? Bahkan, selang infus di tangannya pun sudah dilepas!Aku mencoba untuk membuka pintu, tapi ruangan itu terkunci. Aku harus segera mencari dokter atau perawat. Mereka harus memberikan penjelasan padaku.Aku berlari menuruni anak tangga, berteriak memanggil dokter dan perawat. Tak lama kemudian, dokter Tiara datang menghampiri ku."Pak, Anton! Syukurlah Bapak segera datang!" ucapnya seolah tidak terjadi apa-apa dengan Nisa."Dokter! Tolong jelaskan pada saya, kenapa Nisa dipindahkan ke lantai tiga? Terus kenapa kaki dan tangannya di ikat? Dia bukan pasien gangguan mental, dokter! Kenapa anda memperlakukan seperti pasien yang memiliki gangguan jiwa?" ucapku memberondong pertanyaan pada dokter berambut pirang ini."Tenang dulu Pak Anton! Saya bisa menjelaskan semuanya!" jawabnya berusaha menenangkanku ya
"Maafkan saya, Suster! Saya tidak bisa melakukannya!" ucapku membuat suster muda itu bingung."Maksud Bapak?" tanya ia heran."Iya, Sus! Sebenarnya--saya dan dia sudah resmi bercerai! Kami sudah bukan suami istri. Jadi--saya tidak bisa membantunya melakukan itu. Kalau suster tidak keberatan, saya minta tolong biar suster saja yang membantu memompa ASI nya!" jelasku padanya."Oalah! Maaf, Pak! Saya tidak tahu jika Bapak dan Ibu adalah mantan suami istri! Kalau begitu, biar saya bilang dulu sama dokter Tiara. Siapa tau dokter Tiara punya obat penghilang nyeri atau obat penenang untuk Ibu Nisa!""Baik, Sus! Silakan!""Kalau begitu, saya