Maura menghela napas panjang, merasa lega sekaligus terbebani oleh perkataan Raven barusan. Ia pun lalu menyentuh lembut wajah tampan pria itu. "Terima kasih," bisik Maura sarat akan emosi, meskipun matanya masih diliputi keraguan terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Raven tidak menjawab, hanya menatap Maura seolah ingin memastikan bahwa gadis itu benar-benar mengerti tentang bahaya yang sedang mengintai. Lalu kemudian ia pun melangkah mundur, memberikan jalan pada Maura untuk mengikuti Helen. Lewis yang berada di sana sontak memandang Raven dengan sorot tak percaya. "Tuan Raven, apa Anda yakin akan membiarkan Nona Maura pergi begitu saja?" tanyanya pelan namun cukup tegas. Raven hanya menoleh sekilas ke arah salah satu orang kepercayaannya itu. "Moora tidak akan benar-benar pergi, Lewis. Aku punya cara untuk memastikan agar dia akan tetap aman." Pria itu berucap pelan dengan sengaja agar hanya Lewis yang dapat mendengarnya. Lewis pun akhirnya mengangguk singkat,
Maura menatap tiga buah testpack yang berada di tangannya.Tanda (+) yang sama tertera di ketiga alat itu, telah menegaskan kecurigaan tentang gejala mual serta muntah-muntah hebat yang ia rasakan. Ia benar-benar hamil. Rasanya lebih seperti mimpi dibanding nyata, dan Maura masih merasa berdiri di antara kedua ambang batas itu. Seorang anak... anaknya dan Raven, tengah berkembang di dalam rahimnya.Maura menyentuh dan mengusap lembut perutnya, seolah sedang mengusap janin yang kini bersemayam di dalam tubuhnya. 'Ibu akan menjagamu, Sayang,' gumannya dalam hati dengan tatapan kosong seperti melamun. 'Dunia ini mungkin kacau balau dan penuh dengan kebobrokannya, tapi Ibu berjanji akan selalu memberikan yang terbaik untukmu, anakku.' Sementara itu, Helen menatap Maura dengan pandangan penuh perhitungan seperti seorang pemain catur yang baru saja mendapatkan langkah kemenangan. Ia beranjak ke meja kecil di sudut kamar untuk membuka tasnya, dan mengeluarkan selembar dokumen yan
Helen duduk di sebuah restoran mewah, mengenakan gaun merah tua yang memancarkan keanggunan sekaligus kekuatan. Jam tangan berlian di pergelangan tangannya tampak berkilauan di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung di atasnya. Wanita yang tampak masih sangat cantik di usia paruh baya itu menyuapkan potongan terakhir hidangan steak medium rare ke mulutnya dengan elegan, sementara seulas senyum puas menghiasi wajahnya. Tepat di hadapannya, ada seorang pria berkacamata dengan setelan abu-abu yang tampak sibuk mengatur dokumen di atas meja, sambil memperbaiki posisi dasinya yang terlihat sedikit longgar."Jadi Anda yakin jika Raven tidak punya pilihan selain menerima kontrak ini?" Helen bertanya dengan nada yang terdengar ringan namun penuh kendali. Seraya menyesap anggur putihnya, manik gelapnya yang tajam menatap pria itu dengan ekspresi penuh harap.Pria itu pun mengangguk dengan percaya diri. "Setelah mengetahui kondisi Nona Maura yang sedang mengandung, Raven pasti akan tund
Suara baling-baling helikopter yang memekakkan telinga terus menderu, namun tak mampu membangunkan Maura yang kini terkulai lemas di kursi. Wajahnya tampak pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar pendek serta terputus-putus. Helen memandangnya dengan ekspresi campuran antara frustrasi dan kekesalan. “Maura, bangun!” Helen mengguncang bahu putrinya dengan kasar. Namun tubuh Maura tetap tak memberikan respons. “Sial!” Helen mengumpat seraya berdiri, lalu meraih sandaran kursi helikopter untuk menjaga keseimbangannya. Dengan gerakan tergesa, Helen melangkah ke arah kokpit. Wajahnya yang sudah memerah karena amarah kini menatap tajam ke arah pilot. “Percepat laju helikopter ini!” perintahnya dengan suara tegas yang tidak menyisakan ruang untuk perdebatan. “Kecepatan ini sudah maksimal, Nyonya,” jawab pilot itu dengan nada ragu. “Kalau dipaksa lebih cepat, bisa jadi akan berbahaya untuk kita semua.” “Peduli apa aku pada keselamatanmu?!” bentak Hele
Raven berdiri tegak di tengah ruangan besar itu. Tatapannya tajam mengarah pada Tobias yang tetap duduk di kursinya, terlihat tenang namun dengan sorot mata yang yg tampak penuh perhitungan. Tobias adalah pria tua yang bijaksana, tetapi di balik wajahnya yang tenang ada ambisi besar yang selalu menjadi ciri khas keluarga King. “Serahkan Moora padaku,” ujar Raven dengan nada tegas. "Kamu pasti sudah tahu jika aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkannya kembali." Tobias mengangkat alisnya, lalu menghela satu napas panjang. “Maura akan tetap aman, Raven. Tapi hanya jika kau berhenti keras kepala dan menerima tanggung jawabmu sebagai penerus keluarga ini. Aku tidak meminta sesuatu yang berlebihan, karena ini adalah takdirmu.” Raven pun menguarkan tawa yang penuh sarkasme di dalamnya. “Takdir? Jangan bercanda, Pak Tua. Kau pikir aku akan mengikuti jejak ayahku dan Uncle Santiago? Kau tahu persis apa yang terjadi pada mereka, dan aku tidak berniat menjadi bagian dari semu
Raven berlari secepat mungkin, napasnya memburu dengan Maura dalam pelukannya. Suara tembakan dan ledakan terus menggema di sekitar mansion, menciptakan suasana yang kacau balau. Lewis memimpin jalan, juga memberi aba-aba kepada timnya untuk menahan penjaga Tobias agar Raven bisa melewati lorong terakhir menuju pintu keluar. “Pintu belakang ada di depan, Tuan Raven!” teriak Lewis melalui ear piece. “Kendaraan sudah siap. Anda hanya perlu keluar dari sini.” Raven mengalihkan tatapan tajamnya yang kini tertuju ke depan. Namun tubuh Maura yang lemah di pelukannya terus menghantui pikirannya. Ia memandang wajah Maura yang pucat, juga bisa merasakan detak jantungnya yang lemah. Fuck! Waktu mereka semakin terbatas! Ketika mereka hampir sampai di pintu keluar, sekelompok penjaga Tobias tiba-tiba muncul dari sisi lain koridor dan mengarahkan senjata mereka ke arah Raven. Lewis dan timnya segera melepaskan tembakan untuk melindungi Raven dan memberi waktu baginya untuk melarikan
"Dua... detak jantung??" Meskipun itu bukanlah hal yang aneh karena gen kembar di keluarganya, namun tetap saja Raven takjub mendengar kabar dari Dokter kandungan yang merawat Maura. Bahwa ada kemungkinan besar ada dua janin di dalam rahim Maura... Sang Dokter pun mengangguk dan tersenyum seraya menepuk pelan bahu Raven. "Selamat, Tuan Raven King. Anda dan pasangan telah dikaruniai berkah yang luar biasa," ucapnya. Raven masih terdiam, sorot matanya terpaku pada layar monitor ultrasonografi yang baru saja dimatikan oleh dokter. Gambar buram yang ditampilkan tadi masih terekam jelas di benaknya. Dua detak jantung. Bukan satu, tapi dua. Dia mengulangi kata-kata itu di kepalanya seperti mantra, seakan-akan dengan melakukannya, semuanya akan terasa lebih nyata. Dokter kembali tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang. "Tuan King, saya tahu kabar ini bisa sangat membahagiakan sekaligus mengejutkan. Tapi saya harus mengingatkan Anda bahwa kehamilan bayi
Di sudut ruangan, ponsel Raven yang terlempar ke atas sofa itu terus menyala dengan beberapa pesan baru yang masuk. Raven, yang masih duduk di tepi ranjang bersama Maura, akhirnya menghela napas panjang. Ia pun akhirnya berdiri untuk mengambil ponsel itu, dan membuka pesan tersebut dengan ekspresi datar yang mulai berubah sedikit demi sedikit saat ia membaca seluruh isinya. *** Dari : Rhexton Aku tahu kamu tidak akan mengangkat telepon dariku, jadi aku memilih untuk mengirim pesan. Ibu kita telah sadar dari koma sejak beberapa hari yang lalu. Namun dia melarangku untuk memberitahumu, saat dia tahu bahwa kamu sedang berlibur bersama Maura. Dia hanya tidak ingin mengganggu waktu bahagiamu bersama kekasihmu. Ibu sangat bahagia saat mendengar bahwa kamu telah menemukan seseorang yang mendampingimu. Dia bilang dia akan selalu mendoakanmu dan Maura agar tetap bahagia bersama. Oh, dan selamat, Raven. Aku sudah tahu tentang kehamilan Maura. Aku harap kamu bisa menjadi ayah ya
Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m
Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas
Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena
"Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka
Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m
Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers
Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya ha
“Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau
"Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l