sapa tau yang datang 😱
Maura duduk di atas sofa besar di ruang tamu villa yang sepi, dengan pandangan matanya yang terus melirik ke jendela besar yang menghadap ke luar. Malam mulai turun di Grindelwald, dan udara dingin pegunungan mulai menyelinap masuk melalui celah-celah kecil jendela. Pemandangan yang biasanya begitu menenangkan kini tidak bisa mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang terus mengusik batinnya. Raven yang telah meninggalkannya beberapa jam lalu tanpa penjelasan jelas membuat Maura tidak tenang. “Aku harus mengurus sesuatu. Tunggu saja di sini,” adalah kalimat terakhir yang diucapkan Raven sebelum dia keluar dari pintu, tanpa menjelaskan ke mana dia pergi atau kapankah dia akan kembali. Maura menghela napas panjang, berusaha meredakan kegelisahan yang melanda di dadanya. Namun kenyataan bahwa Raven yang dengan sengaja meninggalkan ponselnya di kamar malah membuatnya semakin merasakan frustrasi. Bagaimana bisa Maura menghubunginya jika terjadi sesuatu? Dan kini berjam-
Maura berusaha menenangkan dirinya saat mengikuti Lewis keluar dari villa. Gadis itu mengenakan mantel tebal, mencoba melindungi diri dari dinginnya udara malam di Grindelwald yang kini menyelimuti seluruh lembah dengan kabut tipis. Namun tidak ada yang bisa melindunginya dari kecemasan yang datang untuk menyergap. Raven pergi, Helen entah di mana, dan kini dia dibawa ke tempat lain oleh orang-orang kepercayaan Raven tanpa penjelasan yang jelas. “Apa yang terjadi, Lewis?” tanya Maura dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu yang dalam. Lewis tetap memandang lurus ke depan, langkahnya selalu mantap meski situasi terlihat genting. “Saya hanya diperintahkan untuk memastikan bahwa Anda aman, Miss Maura. Tidak banyak yang bisa saya jelaskan sekarang, tapi ada ancaman yang sangat serius.” Maura pun sontak semakin merasa frustrasi. "Ancaman apa? Di mana Raven? Apa dia baik-baik saja?" Lewis berhenti sejenak, menatap Maura dengan raut wajah yang tegas namun tegang. “Saya
Raven tersenyum, tipis namun penuh kelegaan kala baru menyadari bahwa helikopter yang datang adalah milik Lewis, sosok kepercayaan yang selalu bisa ia andalkan. Beberapa saat kemudian helikopter itu pun mendarat, dengan tim pasukan khusus Lewis yang segera turun dengan senjata siap menembaki para penjaga Inferno yang mencoba menghadang. Pergerakan mereka cepat dan terkoordinasi, membuat Raven dan Helen berhasil mencapai helikopter tanpa banyak perlawanan. Ketika mereka telah masuk ke dalam helikopter, Lewis pun segera mendekati Raven. “Tuan Raven, apa kalian berdua baik-baik saja?” “Kondisi Helen parah,” jawab Raven, sambil melirik ibunya Maura yang wajahnya tampak semakin pucat. “Segera bawa kami ke tempat yang aman dan hubungi tim medis terbaik untuk Helen.” Lewis mengangguk patuh dan memberi perintah kepada pilot untuk lepas landas. Setelahnya, Lewis berbicara dengan walkie talkie untuk memerintahkan tenaga medis agar segera stand by di tujuan mereka. “Bagaimana dengan
Di kamar yang redup diterangi cahaya bulan yang menerobos melewati celah tirai, Raven dan Maura pun tenggelam dalam lautan kehangatan yang terasa seolah meluluhlantakkan logika. Nafas mereka yang saling menderu terdengar bersahutan, penuh gairah serta keintiman yang melampaui batas hanya sekedar kata-kata. Di luar sana, salju yang tebal dan dingin telah menyelimuti seluruh benda tanpa terkecuali, namun di dalam ruangan ini seluruh udara di sekitar mereka seolah dipenuhi oleh bara api gelora yang terus menerus menyala tanpa ada habisnya. "Uh, Raven..." Maura melenguh dengan tubuh gemetar karena hasrat yang telah mengisi penuh seluruh dirinya. Sudah hampir satu jam Maura tak berhenti bergerak untuk memuaskan pria yang tak juga mendapatkan kepuasannya, meskipun Maura telah berupaya dengan segala cara. Tubuhnya menggeliat dan melengkung dengan pinggul yang mengayun sensual di atas pangkuan Raven, meskipun gerakannya mulai tampak melemah karena lelah. Namun Raven tidak akan pe
Maura duduk di tepi ranjang, mengamati Helen yang tampak lemah dan rapuh. Setiap helaan napas ibunya seperti membawa beban yang tak terlihat, namun Maura merasa ini adalah kesempatan langka untuk menebus waktu yang hilang. Dengan penuh kelembutan, ia menyuapkan sendok demi sendok sarapan ke mulut Helen, memastikan makanan itu mudah dicerna. Tangannya bergerak dengan pelan karena tak ingin membuat Helen merasa terburu-buru. "Terima kasih, Nak," suara Helen terdengar serak namun penuh ketulusan. "Tidak masalah, Bu. Anggap saja ini adalah caraku membayar semua kebaikan yang mungkin belum sempat kutunjukkan," jawab Maura sambil tersenyum. Setelah sarapan selesai, Maura pun membantu ibunya mandi. Tangannya bergerak dengan sangat hati-hati agar tidak memperparah luka-luka di tubuh Helen. Bekas memar dan luka kecil tersebar di beberapa bagian tubuh Helen, bekas dari pengalaman hidup yang penuh risiko dan keputusan yang membawa penyesalan mendalam. Melihat kondisi ibunya ya
Di bawah langit malam Grindelwald yang dingin, Maura duduk di teras vila sambil memandangi kalung Dragon’s Blood yang melingkar di lehernya. Kilauan merah darah dari batu permata di kalung itu tampak begitu memukau, namun kata-kata ibunya terus berputar di dalam kepalanya. "Kutukan," ucap Helen tadi. "Setiap pemilik Dragon’s Blood akan mengalami kesialan, atau bahkan bisa lebih buruk lagi, mati mendadak." Maura menggigit bibirnya dengan benak yang dipenuhi oleh keraguan. Kalung ini adalah pemberian Raven. Bukankah Raven memberikannya sebagai simbol perlindungan, alih-alih sebagai kutukan? Gadis itu pun berusaha untuk menenangkan hatinya serta meyakinkan diri, bahwa ibunya itu mungkin hanya menakut-nakutinya dengan alasan yang ia tak mengerti bertujuan untuk apa. Apakah Helen ingin membuatnya tak mempercayai Raven? Tapi kenapa? Bukankah Raven yang justru telah menyelamatkan Helen? Tidak, mungkin ibunya hanya sekedar memberitahukan desas-desus yang beredar saja, tanpa ada
Di kamar dengan penerangan yang remang, Maura duduk di kursi sambil memandangi Helen dengan wajah penuh tanya yang memenuhi benaknya. Sementara itu Helen menatap putrinya dengan senyum di wajahnya yang terlihat tenang, namun diam-diam ada kilatan rahasia di balik matanya. Di luar kamar terdengar suara angin dingin menggoyang ranting pepohonan, memberikan atmosfer misterius yang terasa mengintimidasi. Raven saat itu tidak ada di villa, ia sedang menemui Victor Valdez untuk sebuah negosiasi penting dan meninggalkan Maura hanya berdua dengan ibunya. "Kamu terlihat lelah, Maura," ucap Helen sambil tersenyum kecil, matanya menatap lekat wajah putrinya. "Sudah lama ya, sejak terakhir kita bisa mengobrol seperti ini." Maura mengangguk, meski ada kegelisahan yang menari di balik pikirannya. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Helen muncul kembali dalam hidupnya setelah bertahun-tahun menghilang, dan bagaimana setiap ucapan Helen kini terasa seperti bayangan yang penuh rahasia.
Di ruangan remang-remang yang dipenuhi bayangan suram, Helen sedang duduk berhadapan dengan seorang pria misterius yang selama ini membuatnya hidup dalam ketegangan. Pria itu memiliki tatapan tajam dan senyum yang tak pernah bisa ditebak maknanya. Hati Helen terasa bergetar namun bukan karena takut, melainkan karena rasa benci yang terpendam sejak lama. Namun demi mempertaruhkan semuanya, Helen harus tetap tenang dan mampu mengendalikan dirinya. Dengan tegas, Helen pun mengambil kalung Dragon's Blood dari dalam tasnya. Kalung berwarna merah tua itu berkilauan di bawah sinar lampu, memancarkan aura yang membuat ruangan itu seakan menjadi jauh lebih gelap. Helen meletakkan kalung tersebut di atas meja, tepat di hadapan pria itu. "Ini yang kau inginkan," ucapnya datar tanpa ekspresi, tapi dengan sorot mata menyiratkan kebencian yang tak tertahankan. Pria di hadapannya itu hanya menyeringai tipis, dengan tangan terlipat di depan dada. Ia tidak segera meraih kalung itu, seolah ingi
Sore itu, Rhexton berdiri di ambang pintu kamar Maura. Ia mengetuknya pelan sebelum kemudian melongokkan kepala ke dalam. Maura sedang duduk di tempat tidur, tangannya sibuk menggulir layar ponsel sambil tersenyum samar, sepertinya membaca sesuatu yang menyenangkan. Tapi Rhexton tahu di balik tawa kecilnya, pasti ada rasa kesepian dan bosan karena Maura hanya menghabiskan hari-harinya di kamar. “Hai. Bagaimana kondisimu sore ini?" Maura mengangkat wajahnya untuk kemudian beradu tatap dengan manik kelabu serupa Raven. Seketika kerinduan pun kembali menyeruak batinnya, menggulirkan perih yang seolah mengiris kulitnya. Namun meskipun begitu, Maura pun tetap menyunggingkan senyum. "Aku baik. Kata dokter, kakiku akan segera sembuh," beritahu Maura. Rhexton berjalan mendekat untuk memeriksa kaki wanita itu, dan ia bernapas lega ketika melihat bengkaknya yang memang tampak mulai berkurang. Mungkin sekitar dua-tiga hari lagi barulah benar-benar akan sembuh. "Pasti kamu bosan, kan?
Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu
Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri
"Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada
Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “
Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa
"Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,
Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura
Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang