makasih untuk yang masih baca, buku ini akan berakhir dalam bbrp bab lagi ya ❤️
Di kamar dengan penerangan yang remang, Maura duduk di kursi sambil memandangi Helen dengan wajah penuh tanya yang memenuhi benaknya. Sementara itu Helen menatap putrinya dengan senyum di wajahnya yang terlihat tenang, namun diam-diam ada kilatan rahasia di balik matanya. Di luar kamar terdengar suara angin dingin menggoyang ranting pepohonan, memberikan atmosfer misterius yang terasa mengintimidasi. Raven saat itu tidak ada di villa, ia sedang menemui Victor Valdez untuk sebuah negosiasi penting dan meninggalkan Maura hanya berdua dengan ibunya. "Kamu terlihat lelah, Maura," ucap Helen sambil tersenyum kecil, matanya menatap lekat wajah putrinya. "Sudah lama ya, sejak terakhir kita bisa mengobrol seperti ini." Maura mengangguk, meski ada kegelisahan yang menari di balik pikirannya. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Helen muncul kembali dalam hidupnya setelah bertahun-tahun menghilang, dan bagaimana setiap ucapan Helen kini terasa seperti bayangan yang penuh rahasia.
Di ruangan remang-remang yang dipenuhi bayangan suram, Helen sedang duduk berhadapan dengan seorang pria misterius yang selama ini membuatnya hidup dalam ketegangan. Pria itu memiliki tatapan tajam dan senyum yang tak pernah bisa ditebak maknanya. Hati Helen terasa bergetar namun bukan karena takut, melainkan karena rasa benci yang terpendam sejak lama. Namun demi mempertaruhkan semuanya, Helen harus tetap tenang dan mampu mengendalikan dirinya. Dengan tegas, Helen pun mengambil kalung Dragon's Blood dari dalam tasnya. Kalung berwarna merah tua itu berkilauan di bawah sinar lampu, memancarkan aura yang membuat ruangan itu seakan menjadi jauh lebih gelap. Helen meletakkan kalung tersebut di atas meja, tepat di hadapan pria itu. "Ini yang kau inginkan," ucapnya datar tanpa ekspresi, tapi dengan sorot mata menyiratkan kebencian yang tak tertahankan. Pria di hadapannya itu hanya menyeringai tipis, dengan tangan terlipat di depan dada. Ia tidak segera meraih kalung itu, seolah ingi
Di sebuah ruang tersembunyi di dalam markas, Victor Valdez duduk menunggu. Pria berusia empat puluhan dengan tatapan tajam dan aura dominan itu memiliki reputasi menakutkan. Namun untuk malam ini dia tampak santai dan percaya diri, seolah-olah semua yang dia inginkan berada di dalam jangkauannya. Victor menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu, dan seketika senyuman lebar menghiasi wajahnya saat melihat wajah Raven yang berada di baliknya."Kamu datang tepat waktu, Raven," Victor berkata dengan suaranya yang dalam dan berwibawa. "Apakah kamu membawa apa yang dijanjikan?"Raven mengangguk dan mengeluarkan kalung Dragon's Blood dari dalam saku. Kalung itu bersinar indah dalam cahaya, memberikan ilusi keaslian yang sempurna. "Ini dia benda yang kamu inginkan. Kalung Dragon's Blood."Victor mengambil kalung tersebut dan memeriksanya dengan saksama. "Sungguh luar biasa. Ini lebih baik dari yang aku bayangkan. Terima kasih padamu, Raven.""Senang bisa membantu," jawab Raven, berus
"Jadi... yang diambil oleh ibu adalah kalung yang palsu?" Maura menatap Raven dengan manik gelapnya yang membelalak lebar, membuat pria yang ada di depannya itu mengecup gemas ujung hidung mungilnya. "Ya, begitulah, Sugar Cookie. Maaf kalau aku tidak segera memberitahumu," ucap Raven, yang masih sibuk memasang syal tebal di leher Maura dan memakaikan gadisnya topi rajut yang nyaman untuk melindungi kepalanya dari serangan hawa dingin di Grindelwald. Maura memajukan bibirnya. Ia memang agak kesal karena merasa dibohongi, tapi di sisi lain juga merasa lega karena kalung Dragon's Blood yang asli ternyata berada di tempat yang aman. Tindakan Raven itu memang sangat tepat, menukar kalung asli dengan replika yang hampir serupa, sehingga berhasil mengelabui Helen. Raven menarik napas dalam dan memandang Maura yang sudah terbungkus hangat dengan syal tebal dan topi rajut. Meskipun ada kebekuan di udara Grindelwald, kehangatan yang mereka bagi mampu mengusir hawa dingin di sekitarnya.
“Kita akan langsung ke New York?” Maura bertanya kepada Raven yang berjalan di sampingnya. Mereka baru saja tiba di bandara, dan Maura pun baru saja diberitahu jika akan berangkat ke Kota itu. “Ya,” jawab Raven singkat. “Di sana kita punya akses dan keamanan lebih baik. Selain itu, aku perlu bertemu orang-orang yang akan membantuku mengakhiri permainan ini.” Raven mengangkat ponsel dan menekan tombol panggilan. “Lewis? Pastikan semua sudah siap setibanya kami di sana.” Tak lama, sebuah suara berat pun menjawab, "Sudah diatur, Tuan. Tapi ada perkembangan lain.” Suara Lewis terdengar ragu, yang segera menarik perhatian Raven. “Apa yang terjadi?” “Donny tampaknya bukan hanya ingin bekerja untuk Helen. Ada kemungkinan dia punya rencana sendiri untuk kalung itu.” Raven menyipitkan mata mendengar nama kriminal bayaran Helen yang memang kabarnya sudah mulai bergerak untuk mencuri kalung Dragon's Blood. Mereka semua mengira bahwa Raven masih menyimpannya, padahal telah ia serahk
"Uh..." Maura melenguh pelan ketika merasakan sesuatu yang hangat dan basah menggelitik dadanya, serta merasakan aroma napas hangat yang menerpa kulitnya. Gadis itu membuka sedikit celah di kelopak matanya, lalu sebuah senyum tipis pun kemudian terurai di wajahnya. "Raven..." Pria yang sedang asyik mengecup dada Maura itu pun seketika mendongakkan wajahnya saat sebuah suara renyah namun lembut menyebut namanya. "Kamu sudah bangun, Sugar Cookie?" Raven lalu segera merangkak perlahan di atas tubuh Maura untuk mensejajarkan wajahnya dengan gadis itu. Bibirnya pun tak pelak menyunggingkan senyum melihat wajah bantal Maura yang menggemaskan. "Uh-hum..." Maura menyahut, lalu melirik piyamanya yang terbuka lebar di bagian dada, serta beberapa kiss mark yang tercetak di sana. Oh, ternyata Raven sudah melakukannya sejak tadi. "Tidurmu lelap sekali." Raven mengulurkan punggung tangannya untuk mengusap lembut pipi Maura. Gadis itu pun meringis malu. "Maaf." "No need to say sorry,
"Raven?" Maura berucap, ketika ia melihat wajah Raven yang tampak berubah dingin ketika membaca pesan di ponselnya. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Tanya gadis itu kembali dengan nada cemas yang berusaha ia tutupi. Raven mengangkat wajahnya dari layar ponselnya untuk menatap seraut wajah jelita yang memandanginya. Ia tersenyum dan menaruh ponselnya kembali ke atas nakas, lalu mengecup ujung hidung Maura. "Tidak ada apa-apa, Moora. Justru aku menerima kabar baik dari Lewis," sahutnya seraya mengelus kulit di sepanjang tangan Maura yang mengalung di lehernya dengan usapan lembut. Maura seketika terdiam dan tampak berpikir untuk sesaat, sebelum kembali ia berucap. "Apa... Lewis mendapatkan kabar tentang ibuku?" tanyanya hati-hati. Raven menggeleng. "Jejak ibumu masih belum ditemukan. Orang-orangku masih berusaha mencari Helen." 'Tapi aku sudah menemukan ayahmu', batin Raven diam-diam menyeringai samar. "Moora. Apa boleh jika aku bertanya tentang sesuatu?" "Iya, boleh,
"AYAH!!" Seketika Maura terbangun dari tidurnya ketika tanpa sadar ia menjeritkan ayahnya, setelah sebuah mimpi buruk barusan yang ia alami. Dengan keringat yang bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, gadis itu pun mencoba untuk mengatur nafasnya yang berantakan. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban berat tak kasat mata yang menghimpitnya. Ah, kenapa tiba-tiba saja ia memimpikan ayah? Maura pun memegang kepalanya yang mendadak berdenyut. Dengan tubuh gemetar menahan nyeri, Maura memejamkan mata mencoba untuk fokus menormalkan napas serta kinerja jantungnya. Mungkin saja penyebab sakit kepalanya ini karena kurang oksigen. Gadis itu lalu melirik sisi tempat tidur di sampingnya yang masih kosong, sama seperti ketika ia hendak tidur tadi. Kenapa Raven belum kembali juga? Maura merasakan kehilangan dan kedinginan sendirian di atas ranjang yang besar dan kamar mewah yang luas ini. Biasanya jika terbangun dan resah karena habis bermimpi buruk, Raven akan mendekapnya dengan er
Sore itu, Rhexton berdiri di ambang pintu kamar Maura. Ia mengetuknya pelan sebelum kemudian melongokkan kepala ke dalam. Maura sedang duduk di tempat tidur, tangannya sibuk menggulir layar ponsel sambil tersenyum samar, sepertinya membaca sesuatu yang menyenangkan. Tapi Rhexton tahu di balik tawa kecilnya, pasti ada rasa kesepian dan bosan karena Maura hanya menghabiskan hari-harinya di kamar. “Hai. Bagaimana kondisimu sore ini?" Maura mengangkat wajahnya untuk kemudian beradu tatap dengan manik kelabu serupa Raven. Seketika kerinduan pun kembali menyeruak batinnya, menggulirkan perih yang seolah mengiris kulitnya. Namun meskipun begitu, Maura pun tetap menyunggingkan senyum. "Aku baik. Kata dokter, kakiku akan segera sembuh," beritahu Maura. Rhexton berjalan mendekat untuk memeriksa kaki wanita itu, dan ia bernapas lega ketika melihat bengkaknya yang memang tampak mulai berkurang. Mungkin sekitar dua-tiga hari lagi barulah benar-benar akan sembuh. "Pasti kamu bosan, kan?
Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu
Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri
"Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada
Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “
Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa
"Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,
Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura
Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang