Eeet... si babang Raven udah tau nyawa terancam masih aja pikirannya ajep-ajepan sama Maura. Dasar bucin akut, wkwkwk. Makasih buat yg masih baca. semoga semua sehat dan bahagia ❤️ makasih juga buat yg sudah kasih gems dan hadiah. Mwah mwah kecup basah buat kalian 😘😘😘 mau lanjut adegan 21+++ apa skip aja nih?? 😬😬
Di sebuah ruang tersembunyi di dalam markas, Victor Valdez duduk menunggu. Pria berusia empat puluhan dengan tatapan tajam dan aura dominan itu memiliki reputasi menakutkan. Namun untuk malam ini dia tampak santai dan percaya diri, seolah-olah semua yang dia inginkan berada di dalam jangkauannya. Victor menoleh ketika mendengar suara ketukan di pintu, dan seketika senyuman lebar menghiasi wajahnya saat melihat wajah Raven yang berada di baliknya."Kamu datang tepat waktu, Raven," Victor berkata dengan suaranya yang dalam dan berwibawa. "Apakah kamu membawa apa yang dijanjikan?"Raven mengangguk dan mengeluarkan kalung Dragon's Blood dari dalam saku. Kalung itu bersinar indah dalam cahaya, memberikan ilusi keaslian yang sempurna. "Ini dia benda yang kamu inginkan. Kalung Dragon's Blood."Victor mengambil kalung tersebut dan memeriksanya dengan saksama. "Sungguh luar biasa. Ini lebih baik dari yang aku bayangkan. Terima kasih padamu, Raven.""Senang bisa membantu," jawab Raven, berus
"Jadi... yang diambil oleh ibu adalah kalung yang palsu?" Maura menatap Raven dengan manik gelapnya yang membelalak lebar, membuat pria yang ada di depannya itu mengecup gemas ujung hidung mungilnya. "Ya, begitulah, Sugar Cookie. Maaf kalau aku tidak segera memberitahumu," ucap Raven, yang masih sibuk memasang syal tebal di leher Maura dan memakaikan gadisnya topi rajut yang nyaman untuk melindungi kepalanya dari serangan hawa dingin di Grindelwald. Maura memajukan bibirnya. Ia memang agak kesal karena merasa dibohongi, tapi di sisi lain juga merasa lega karena kalung Dragon's Blood yang asli ternyata berada di tempat yang aman. Tindakan Raven itu memang sangat tepat, menukar kalung asli dengan replika yang hampir serupa, sehingga berhasil mengelabui Helen. Raven menarik napas dalam dan memandang Maura yang sudah terbungkus hangat dengan syal tebal dan topi rajut. Meskipun ada kebekuan di udara Grindelwald, kehangatan yang mereka bagi mampu mengusir hawa dingin di sekitarnya.
“Kita akan langsung ke New York?” Maura bertanya kepada Raven yang berjalan di sampingnya. Mereka baru saja tiba di bandara, dan Maura pun baru saja diberitahu jika akan berangkat ke Kota itu. “Ya,” jawab Raven singkat. “Di sana kita punya akses dan keamanan lebih baik. Selain itu, aku perlu bertemu orang-orang yang akan membantuku mengakhiri permainan ini.” Raven mengangkat ponsel dan menekan tombol panggilan. “Lewis? Pastikan semua sudah siap setibanya kami di sana.” Tak lama, sebuah suara berat pun menjawab, "Sudah diatur, Tuan. Tapi ada perkembangan lain.” Suara Lewis terdengar ragu, yang segera menarik perhatian Raven. “Apa yang terjadi?” “Donny tampaknya bukan hanya ingin bekerja untuk Helen. Ada kemungkinan dia punya rencana sendiri untuk kalung itu.” Raven menyipitkan mata mendengar nama kriminal bayaran Helen yang memang kabarnya sudah mulai bergerak untuk mencuri kalung Dragon's Blood. Mereka semua mengira bahwa Raven masih menyimpannya, padahal telah ia serahk
"Uh..." Maura melenguh pelan ketika merasakan sesuatu yang hangat dan basah menggelitik dadanya, serta merasakan aroma napas hangat yang menerpa kulitnya. Gadis itu membuka sedikit celah di kelopak matanya, lalu sebuah senyum tipis pun kemudian terurai di wajahnya. "Raven..." Pria yang sedang asyik mengecup dada Maura itu pun seketika mendongakkan wajahnya saat sebuah suara renyah namun lembut menyebut namanya. "Kamu sudah bangun, Sugar Cookie?" Raven lalu segera merangkak perlahan di atas tubuh Maura untuk mensejajarkan wajahnya dengan gadis itu. Bibirnya pun tak pelak menyunggingkan senyum melihat wajah bantal Maura yang menggemaskan. "Uh-hum..." Maura menyahut, lalu melirik piyamanya yang terbuka lebar di bagian dada, serta beberapa kiss mark yang tercetak di sana. Oh, ternyata Raven sudah melakukannya sejak tadi. "Tidurmu lelap sekali." Raven mengulurkan punggung tangannya untuk mengusap lembut pipi Maura. Gadis itu pun meringis malu. "Maaf." "No need to say sorry,
"Raven?" Maura berucap, ketika ia melihat wajah Raven yang tampak berubah dingin ketika membaca pesan di ponselnya. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Tanya gadis itu kembali dengan nada cemas yang berusaha ia tutupi. Raven mengangkat wajahnya dari layar ponselnya untuk menatap seraut wajah jelita yang memandanginya. Ia tersenyum dan menaruh ponselnya kembali ke atas nakas, lalu mengecup ujung hidung Maura. "Tidak ada apa-apa, Moora. Justru aku menerima kabar baik dari Lewis," sahutnya seraya mengelus kulit di sepanjang tangan Maura yang mengalung di lehernya dengan usapan lembut. Maura seketika terdiam dan tampak berpikir untuk sesaat, sebelum kembali ia berucap. "Apa... Lewis mendapatkan kabar tentang ibuku?" tanyanya hati-hati. Raven menggeleng. "Jejak ibumu masih belum ditemukan. Orang-orangku masih berusaha mencari Helen." 'Tapi aku sudah menemukan ayahmu', batin Raven diam-diam menyeringai samar. "Moora. Apa boleh jika aku bertanya tentang sesuatu?" "Iya, boleh,
"AYAH!!" Seketika Maura terbangun dari tidurnya ketika tanpa sadar ia menjeritkan ayahnya, setelah sebuah mimpi buruk barusan yang ia alami. Dengan keringat yang bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, gadis itu pun mencoba untuk mengatur nafasnya yang berantakan. Dadanya terasa sesak, seperti ada beban berat tak kasat mata yang menghimpitnya. Ah, kenapa tiba-tiba saja ia memimpikan ayah? Maura pun memegang kepalanya yang mendadak berdenyut. Dengan tubuh gemetar menahan nyeri, Maura memejamkan mata mencoba untuk fokus menormalkan napas serta kinerja jantungnya. Mungkin saja penyebab sakit kepalanya ini karena kurang oksigen. Gadis itu lalu melirik sisi tempat tidur di sampingnya yang masih kosong, sama seperti ketika ia hendak tidur tadi. Kenapa Raven belum kembali juga? Maura merasakan kehilangan dan kedinginan sendirian di atas ranjang yang besar dan kamar mewah yang luas ini. Biasanya jika terbangun dan resah karena habis bermimpi buruk, Raven akan mendekapnya dengan er
Malam itu, New York City memancarkan keindahannya yang tak tertandingi. Lampu-lampu kota bersinar gemerlap, memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit. Di sebuah restoran mewah dan ikonik bernama The Glass Crown, yang terletak di puncak salah satu gedung tertinggi di Manhattan, suasana berbeda terasa begitu magis. Restoran ini terkenal dengan interiornya yang didominasi oleh dinding kaca, menawarkan pemandangan 360 derajat kota New York.Maura melangkah masuk dengan Raven yang menggenggam erat tangannya. Ia mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan yang disiapkan khusus oleh Raven. Sepanjang perjalanan ke restoran, Maura tidak tahu apa yang direncanakan pria itu. Yang ia tahu hanya Raven sangat pendiam sejak pagi, meskipun senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya.Saat tiba di depan pintu restoran, Maura pun sontak tertegun. Tidak ada tamu lain di sana, hanya pelayan-pelayan yang berdiri dengan sikap profesional, seperti sudah menunggu kedatangan mereka. Ia menoleh ke arah
Sepanjang perjalanan pulang, Maura yang tiba-tiba berubah menjadi sangat pendiam membuat Raven bingung serta bertanya-tanya. Padahal pria itu telah membayangkan hubungan mereka akan menjadi jauh lebih romantis lagi dari sebelumnya, setelah Raven melamar Maura untuk menjadi istrinya. Sambil menyetir, Raven melirik Maura yang sejak tadi terus melayangkan tatapan keluar jendela. Apa yang sebenarnya gadisnya itu sedang lamunkan? Saat hypercar mewah itu berhenti di lampu merah, Raven mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan paha Maura yang tertutup gaun, dan seketika membuat gadis itu menoleh ke arahnya. "Hei." Manik asap kelabu milik Raven tampak menyorot wajah Maura, meneliti setiap senti ekspresinya. Maura tersenyum. "Hei juga," sahutnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Raven bertanya. Maura mengerjap pelan, ragu untuk mengungkapkan. Namun di sisi lain ia pun penasaran. Tapi... tidak. Tidak mungkin jika Raven telah membunuh ayahnya. Ibunya pasti telah mendapatkan infor
Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m
Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas
Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena
"Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka
Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m
Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers
Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya ha
“Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau
"Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l