Kaki jenjang berkulit keemasan itu tampak rapuh dan gemetar, ketika sedang berdiri di hadapan sebuah bangunan megah bertingkat dua. Ia tahu jika sudah seharusnya sekarang bergegas memasuki Mansion mewah di depannya itu, namun entah kenapa serangan gugup dan panik mendadak melanda dirinya. "Miss Maura?" Gadis itu pun sontak terkejut dan menoleh, ketika sebuah suara pria menyapa dirinya yang tengah melamun. Sosok pria paruh baya berbusana formal serba hitam tersenyum kepada dirinya, namun gadis itu masih diam tak membalas senyumnya. "Perkenalkan nama saya Alberto. Mari ikut dengan saya untuk masuk ke dalam, karena kehadiran Anda telah sangat ditunggu," ucap pria paruh baya yang masih tetap murah senyum meski Maura tak bergeming. Tak lagi bisa mengelak, gadis bergaun merah selutut itu pun mau tak mau mengikuti langkah Alberto yang berjalan di depannya, menuntun dirinya memasuki Mansion bercat putih yang terlalu mewah untuk menjadi nyata. Lagi pula, bagaimana ia bisa mengel
Maura pun menguatkan batinnya yang mulai goyah, untuk tetap tegak dan terus melangkah. Ia sangat membutuhkan uang itu untuk lepas dari keluarganya yang toxic. Ia butuh uang yang sangat banyak untuk bisa menata kehidupan baru di luar negeri, jauh dari ayahnya yang ringan tangan dan orang-orang sekelilingnya yang hanya ingin merusaknya.. Gadis bersurai panjang itu pun mengepalkan kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya dengan kuat. Ya, itulah tujuan awalnya mendaftarkan diri di situs gelap perdagangan wanita yang tanpa sengaja ia temui di internet. Virginity For Sale, itu namanya. Sebuah agensi gelap yang menjual gadis-gadis yang masih perawan dengan harga tinggi, kepada pria-pria kaya hidung belang yang ingin merasakan tubuh murni belum pernah tersentuh. "Sebaiknya Anda segera naik ke lantai atas, Miss Maura. Tuan adalah pria yang sangat tidak suka menunggu," tegur Alberto, yang melihat Maura sejak tadi hanya berdiam diri mematung di tempatnya berdiri. "Oh iya. Maaf," gum
Raven King... RAVEN KING??? Pria bersurai coklat gelap itu pun sedikit memiringkan kepalanya, kala melihat wajah cantik Maura yang tampak sedikit memucat ketika menatapnya. "Apa kamu mengenalku?" Leher Maura terasa kaku ketika mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Raven. Ia masih tampak shock, benar-benar tidak menyangka jika pria yang akan ia layani adalah sosok fenomenal dan sangat, sangat terkenal di dunia. 'Sial. Raven King? For real? Untuk apa pria setampan dan terkenal seperti dia menyewa jasa agensi Virginity For Sale??''Ya ampun... benar-benar tidak disangka jika pria ini mengincar keperawanan para gadis! Apa jangan-jangan dia memiliki semacam kelainan?!' Ribuan pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiran Maura, tak pelak ikut tergambar pula di wajahnya meski tak jua ia ucapkan dari bibirnya. Raven tampak menyeringai samar melihat bayang-bayang asumsi yang tampak dari ekspresi gadis bersurai hitam panjang ini. Manik abu-abu pria itu sejenak mengamati kes
Suara maskulin yang mengalun berat dan maskulin itu serta merta membuat Maura merinding. Untuk sejenak, manik gelapnya menatap lekat bola mata abu-abu berkilau dengan efeknya yang seolah mampu menghipnotis itu. Memandikan? Ya ampun, apa dia anak kecil yang belum bisa mandi sendiri? Tapi Maura pun segera kembali menyadari posisinya di hadapan pembelinya, dan merasa tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala. "Ikuti aku," titah Raven sembari membalikkan tubuhnya dan berjalan mendahului Maura. Pria itu mendekato sebuah pintu yang terletak di dinding di samping salah satu lemari buku, lalu membukanya. Manik Maura pun spontan mengerjap. 'Oh, ternyata itu adalah connecting door,' pikir gadis itu. Sebuah pintu yang langsung menghubungkan antara ruang kerja dan... kamar pribadi Raven, sepertinya. Maura mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan bernuansa gelap aesthetic itu. Dindingnya dicat dengan warna taupe yang menimbulkan efek kilau redup. Bahkan gorden
'Huuft... akhirnya aku bisa bernapas dengan lega juga,' batin Maura dalam hati ketika Raven telah menghilang dari balik pintu. Aura dominan pria itu telah membuatnya serasa tercekik dan sulit untuk menghirup udara, lalu bagaimana caranya Maura melayani Raven jika sikapnya malah begini?? "Relax, Maura," guman gadis itu kepada dirinya sendiri. Wajar saja jika dia gugup setengah mati kan? Bukan cuma karena Maura akan memberikan kesuciannya kepada pria itu, tapi juga karena dia adalah Raven King. Desahan napas pelan kembali menguar dari bibirnya, untuk yang kesekian kalinya hari ini. Sebaiknya sekarang ia cepat mengenakan lingerie putih ini, sebelum Raven marah karena terlalu lama menunggu. Gadis itu pun segera membuka gaun merahnya tanpa menanggalkan pakaian dalamnya yang senada dengan warna gaunnya. Lingerie putih menerawang itu ternyata sangat pas di tubuhnya. Maura melangkah menuju ke arah cermin panjang yang memperlihatkan seluruh tubuhnya. Bra yang ia gunakan adalah je
"Mmh..." Maura hanya bisa mendesah, saat jemari panjang Raven telah merengkuh bulatan lembut di dadanya, dan meremasnya dengan lembut. Pria itu masih menyesap bibirnya, dan perpaduan dari kedua perbuatannya itu membuat Maura serasa melayang. Begitu cepatnya Maura terhanyut dalam cumbuan bibir dan godaan jemari mahir Raven, tak bisa untuk tak mengakui bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang tengah berdenyut dan hidup. "Buka bibirmu," titah Raven dengan suara berat dan serak yang telah dipenuhi oleh letupan gairah. Dan pria itu pun menggeram puas kala dua bibir ranum Maura yang lezat itu kini telah terpisah, memberinya akses untuk menjulurkan lidah ke dalam kehangatan dunia Maura. Maura pun sadar jika dia tidak bisa lagi menjadi pihak yang pasif, karena pria yang ada di depannya ini sangat mahir berciuman. Gadis itu pun meniru gerakan lidah Raven, membelit lidahnya dengan lidah pria itu dengan gerakan yang provokatif dan sama intensnya "Not bad," komentar Raven sambil meny
"Aahh... there you go. Kamu pintar sekali, Moora." Raven memejamkan kedua matanya rapat-rapat, seraya mendesahkan pujian untuk Maura yang sedang duduk berlutut di bawahnya. Tak sulit mengajarkan gadis itu bagaimana cara untuk memuaskannya, karena Maura tipe yang cepat belajar dan mudah mengerti. Gadis itu juga pintar berimprovisasi, jika Raven boleh menambahkan. Ah, damned! Mulut Maura yang mungil itu ternyata terasa sungguh nikmat sekali ketika sedang memanjakan miliknya seperti ini. "Fuck. This is so good..." Kembali Raven meracau dengan suara berat yang telah sesak dan membara oleh gelora. Pria itu pun merenggut rambut panjang Maura yang dicepol hingga helai-helainya berantakan mencuat kesana kemari, lalu menyentak kepala gadis itu lebih kuat hingga miliknya pun semakin terbenam sempurna ke dalam mulutnya yang lembut dan manis. Meskipun merasakan sulit bernapas serta tenggorokannya seperti disumbat oleh benda yang sangat besar, namun Maura tetap berusaha untuk tet
Dengan mata yang masih terpejam antara setengah sadar, Maura sedikit mengernyit ketika merasakan seseorang mengusap-usap tali bra yang melintang di punggungnya. Gerakan provokatif itu rasanya tidak mungkin dilakukan oleh Emma, terutama juga karena Maura dapat merasakan tangan yang sedang merayap di punggungnya sekarang terasa jauh lebih besar dan kekar dibandingkan tangan Emma Dan Maura pun makin terkesiap serta sontak membuka kedua matanya, saat tangan tersebut tiba-tiba saja menarik kaitan bra-nya hingga terbuka. Gadis itu membalikkan wajah ke sisi kanan, lalu seketika bertemu tatap dengan manik kelabu serupa kabut asap tipis yang kini memandangnya balik dengan sorot datar tak terbaca. Emily sudah pergi entah kemana, dan kini hanya ada pria bersurai coklat yang hanya mengenakan swimming trunks (sejenis celana untuk renang dengan bahan yang tidak menyerap air, namun tidak terlalu ketat) di sana. Pria itu kini berbaring menyamping di samping Maura, bersempit-sempitan di ku
Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu
Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri
"Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada
Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “
Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa
"Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,
Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura
Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang
Di dalam kamar yang diterangi cahaya remang dari lampu di sudut ruangan, Maura berbaring di atas ranjang dengan tubuhnya diselimuti dalam kehangatan Raven. Napas pria itu berhembus dan terasa panas di lehernya, sementara jemarinya dengan lembut mengusap kulitnya yang terasa seperti sutra. Setiap sentuhan Raven membuat Maura tersentak dalam sensasi yang membakar, dengan desahannya yang penuh mengisi ruang di antara mereka. Raven menatap wajah Maura yang merona karena tak berdaya dalam gairah, lalu bibirnya pun melengkung membentuk senyuman puas. "Apa kamu tahu, Moora? Aku bisa menghabiskan seluruh hidupku hanya untuk memujamu seperti ini," bisiknya seraya mengecup lembut bibir Maura, yang dengan pasrah menerima ciumannya. Maura merintih lirih saat bibir panas Raven kini berpindah untuk mencium dadanya dengan penuh nafsu, lalu menggelitik lekukan lembut itu dengan usapan lidahnya. Ia sungguh tergila-gila oleh rasa manis serta aroma kulit Maura yang selalu terasa memabukkan.