Setelah dua orang debt kolektor itu meninggalkan ruangan, aku segera keluar, berniat ke dealer mobil menjual kendaraan satu-satunya yang masih aku miliki. Niatnya uang penjualan mobil itu akan kupakai untuk membayar hutang. Mau menjual apartemen, surat-suratnya masih berada di tangan Devi dan aku tidak tahu perempuan setan itu ada di mana saat ini.
Apakah dia sudah tiada, atau masih hidup dan sedang menari-nari di atas lukaku aku tidak tahu. Yang pasti aku sudah meminta pihak dealer untuk menarik mobil sedan yang aku belikan saat terakhir kami bersama, dan soal kabar orangnya aku tidak tahu, karena dia menghilang begitu saja bagai ditelan bumi."Pak!" panggil Safia dan Patrick ketika aku melintas di hadapan mereka.Aku menghentikan langkah, menoleh ke arah kedua karyawan yang masih tersisa, menatap tajam wajah mereka sekaligus ingin tahu apa yang hendak mereka sampaikan."Ada apa?" tanyaku karena bukannya mereka berbicara, tetapi malah saling sik"Ba--bapak? Kata siapa Bapak sudah meninggal, Mas?" tanyaku dengan suara tergagap sekaligus syok luar biasa."Kemarin saya sekeluarga pulang kampung dan ketemu Azriel sama Mbak Ambar di pesantren, dan mereka bilang kalau Bapak sudah meninggal. Kami sekeluarga juga sempat mampir ngucapin belasungkawa sebelum balik ke Jakarta, karena kebetulan kami pulang juga rombongan dengan Mbak Ambar dan anak-anaknya!" terang Mas Salim kemudian.Aku mengepal tangan di samping tubuh. Teganya mereka menyembunyikan kabar duka seperti ini dariku. Baik Ibu, Ambar juga yang lainnya, kenapa tidak ada yang mau mengabari. Memangnya selama ini aku dianggap apa?"Memangnya Mas Haris tidak tahu kalau Bapak sudah wafat?""Tidak ada yang mengabari saya, Mas. Entahlah. Mungkin mereka sudah tidak menganggap saya atau bagaimana, saya tidak tahu.""Mungkin nggak sempat, Mas. Namanya orang lagi kena musibah kan, terkadang suka lupa dengan orang-or
Aku mencebik bibir."Lilik heran sama kamu, Ris. Sifat kamu itu berubah seratus delapan puluh derajat semenjak menjalin hubungan dengan Devi. Sepertinya kamu harus segera diruqyah, karena sepertinya masih ada aura negatif yang menempel di tubuh kamu. Banyak syaitan yang mengikuti dan menetap di jiwa kamu, mungkin karena pengaruh gendam yang Devi berikan. Sepertinya jiwa kamu harus segera dibersihkan, Haris!""Sudahlah, Lik. Nggak usah mengada-ada. Saya capek, mau istirahat dulu!" Mengayunkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam kamar, menghempaskan bobot secara kasar di atas petiduran kemudian segera memejamkan mata menjemput lelap serta mengistirahatkan badan.***Samar-samar terdengar suara berisik orang-orang sedang bercengkrama di ruang tengah. Aku lekas membuka mata, melihat jam di pojok kiri layar ponsel dan ternyata sudah pukul enam pagi.Ah, jam segini suasana di rumah sudah berisik sekali seperti di pasar. Apa
POV Author.Pagi-pagi sekali, selepas subuh seperti biasa Sarni mengikuti kajian di masjid komplek tempat tinggal kakaknya. Kebetulan hari ini pengisi tausiyahnya adalah Gus Fauzan, seorang ulama yang terkenal dermawan juga bisa mengobati penyakit yang berhubungan dengan ilmu hitam.Karena merasa khawatir kepada sang keponakan, Sarni menghampiri guru ngajinya itu setelah dia selesai mengisi tausiyah, menceritakan semua yang menimpa juga keanehan yang ditunjukkan oleh Haris kepada sang kyai dan meminta Guz Fauzan untuk membantu menyembuhkan kemenakannya tersebut."Soalnya setahu saya Haris itu orangnya lemah lembut, sopan, baik, dan tidak pernah berbicara dengan nada meninggi kepada orang yang usianya lebih tua dari dia. Tetapi setelah terkena pengaruh gendam, terlihat sekali banyak perubahan yang dia tunjukkan, Gus. Masuk rumah saja nggak mau mengucapkan salam. Sama saya juga berani membentak!" beber Sarni setelah menceritakan semua yang terjadi.
Mata Gus Fauzan terus terpantik ke wajah Haris yang sudah sembab serta kuyu, membiarkan pria di hadapannya terus menangis dan mengingat segala kesalahan yang telah diperbuat oleh olehnya."Bertaubatlah sebelum semuanya terlambat, Mas Haris," ujarnya kemudian, setelah sekian lama terdiam memandangi pasiennya."Apakah Allah masih mau mengampuni dosa saya, Gus? Saya sudah sering berzina. Saya juga sudah menjadi orang tua durhaka, bahkan pernah hampir melecehkan Ambar, padahal saya sudah menjatuhkan talak kepadanya!" "Allah itu maha pengampun, Mas!""Tetapi dosa saya terlalu banyak. Saya juga sudah melakukan dosa besar yang mungkin sulit sekali untuk diampuni.""Tidak ada yang tahu pasti kadar atau jumlah pahala juga dosa dalam kehidupan manusia, kecuali Allah subhanu wa ta'ala yang Maha Mengetahui segalanya. Tugas manusia hanyalah untuk memahami baik dan buruk sesuatu. Menjalani segala hal baik, dan menjauhi yang buruk serta dilarang oleh a
"Sekarang Devi sudah lemah, tidak bisa berbuat apa-apa karena susuk serta ilmu hitam yang melekat di tubuhnya sudah lepas, dan bahkan mulai menyerang dirinya sendiri. Tetapi Mas Haris tetap harus antisipasi, karena pengaruh ilmu hitam masih mudah kembali ke tubuh sampeyan." Tiba-tiba ucapan Gus Fauzan ketika aku pamit pulang kembali terngiang di telinga. Apakah ini yang dimaksud oleh Gus Fauzan?"Kamu mau minum apa, Mas?" tanya Devi menyentakku dari lamunan.Ih, jangankan untuk minum. Hanya sekedar tinggal saja rasanya tidak mungkin. Tidak akan kuat mencium aroma tidak sedap yang terus saja mengganggu indra penciuman."Aku tidak haus. Aku ikut ke sini hanya ingin meminta sertifikat apartemenku. Kamu belum menjualnya bukan?" Menatap intens wajah keriputnya."Aku tidak mengambil sertifikat itu, Mas!" elaknya."Jangan bohong, Devi. Kalau bukan kamu siapa lagi?" berangku mulai terpancing emosi.
Seminggu setelah mengunggah foto unit apartemen milikku di situs jual beli rumah, akhirnya hari ini menemukan seorang pembeli yang mau membayar dengan harga cocok. Aku pun segera berkemas, mencari rumah baru walaupun ukurannya tidak sebesar rumah lama, namun sangat layak dihuni dan yang paling penting terasa nyaman.Toh, aku tidak membutuhkan rumah yang besar karena hanya tinggal sendirian saja. Aku hanya butuh rumah yang nyaman dan jauh dari jangkauan Devi. Sudah tidak mau lagi diganggu juga berurusan dengan perempuan itu.Karena rumah yang baru aku beli tidak memiliki perabot sama sekali, aku memutuskan untuk membeli sebuah kasur berukuran single untuk alas tidur, juga membeli beberapa peralatan lainnya.Keadaan ini mengingatkan aku ketika aku dan Ambar baru saja menginjakkan kaki di Jakarta dan saat itu kami tidak memiliki apa-apa. Hanya kasur lantai sebagai alas tidur, juga kain usang yang kami gunakan sebagai tirai untuk menutup jendela agar tidak terlihat dari luar.Dada ini ter
"Bapak tidak apa-apa?" sapa seorang jamaah yang kebetulan hendak ikut shalat berjamaah juga di mushalla tersebut.Aku menatap pria yang mungkin seumuran dengan Azriel itu, tersenyum kepadanya dan anak remaja tersebut membantu memapahku masuk ke dalam surau."Terima kasih, Nak," ucapku kemudian, setelah berada di dalam rumah Allah dan merasakan ada kenyamanan serta keteduhan di tempat ini."Sama-sama, Pak. Tapi Bapak tidak apa-apa kan?" tanyanya lagi."Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing saja!""Yasudah. Saya ke barisan dulu. Soalnya sudah qomat."Aku menjawab dengan anggukan kepala lalu ikut masuk ke dalam barisan, melaksanakan ibadah shalat dzuhur secara berjamaah walaupun tubuh terasa berat seperti ada sesuatu sedang menaiki badan.***Selepas ashar, aku berkeliling jalan raya tidak jauh dari tempatku tinggal, berniat mencari ruko yang akan dijual atau disewakan unt
"Azriel, Papa minta maaf. Tolong jangan berkata seperti itu kepada Papa, karena itu sangat menyakiti hati Papa," ujarku lagi, seraya terus menatap wajah tampan anakku."Saya sudah memaafkan Bapak, karena Mama selalu mengajarkan kepada saya untuk tidak menyimpan dendam kepada orang yang sudah menyakiti saya," jawabnya lagi."Kalau begitu, tolong terima Papa di kehidupan kalian lagi. Papa ingin kita kembali hidup bersama seperti dahulu, Nak. Menjadi imam kalian, dan...""Sudahlah, Pak Haris. Memaafkan bukan berarti harus menerima Anda kembali!" potong Azriel. "Anda sudah memiliki kehidupan yang baru, pun dengan kami bertiga.""Azriel, Papa mohon...""Aku juga pernah memohon seperti itu ketika meminta Anda pulang dan meninggalkan tante Devi, juga pernah memohon kepada Anda agar berhenti menyakiti hati Mama. Tapi apa yang Anda lakukan terhadap diri saya, Pak? Anda malah menampar saya dan memukuli saya hingga babak belur. Apa Anda masih ingat
Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur