"Bapak tidak apa-apa?" sapa seorang jamaah yang kebetulan hendak ikut shalat berjamaah juga di mushalla tersebut.Aku menatap pria yang mungkin seumuran dengan Azriel itu, tersenyum kepadanya dan anak remaja tersebut membantu memapahku masuk ke dalam surau."Terima kasih, Nak," ucapku kemudian, setelah berada di dalam rumah Allah dan merasakan ada kenyamanan serta keteduhan di tempat ini."Sama-sama, Pak. Tapi Bapak tidak apa-apa kan?" tanyanya lagi."Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing saja!""Yasudah. Saya ke barisan dulu. Soalnya sudah qomat."Aku menjawab dengan anggukan kepala lalu ikut masuk ke dalam barisan, melaksanakan ibadah shalat dzuhur secara berjamaah walaupun tubuh terasa berat seperti ada sesuatu sedang menaiki badan.***Selepas ashar, aku berkeliling jalan raya tidak jauh dari tempatku tinggal, berniat mencari ruko yang akan dijual atau disewakan unt
"Azriel, Papa minta maaf. Tolong jangan berkata seperti itu kepada Papa, karena itu sangat menyakiti hati Papa," ujarku lagi, seraya terus menatap wajah tampan anakku."Saya sudah memaafkan Bapak, karena Mama selalu mengajarkan kepada saya untuk tidak menyimpan dendam kepada orang yang sudah menyakiti saya," jawabnya lagi."Kalau begitu, tolong terima Papa di kehidupan kalian lagi. Papa ingin kita kembali hidup bersama seperti dahulu, Nak. Menjadi imam kalian, dan...""Sudahlah, Pak Haris. Memaafkan bukan berarti harus menerima Anda kembali!" potong Azriel. "Anda sudah memiliki kehidupan yang baru, pun dengan kami bertiga.""Azriel, Papa mohon...""Aku juga pernah memohon seperti itu ketika meminta Anda pulang dan meninggalkan tante Devi, juga pernah memohon kepada Anda agar berhenti menyakiti hati Mama. Tapi apa yang Anda lakukan terhadap diri saya, Pak? Anda malah menampar saya dan memukuli saya hingga babak belur. Apa Anda masih ingat
Semenjak mengetahui alamat rumah Ambar, hampir setiap hari aku mendatangi rumah mantan istri, memantau dari kejauhan untuk melepas rasa rindu yang membelenggu kalbu.Senyum terkembang di bibir ketika melihat Azriel begitu rajin membantu sang bunda mengirimkan pesanan catering kepada pelanggan, dan usaha Ambar sepertinya semakin maju karena hampir setiap hari terlihat kesibukan di rumah tempat tinggalnya. Bahkan aku lihat kalau mantan istri juga sudah memiliki beberapa orang karyawan.Namun, aku juga tidak bisa membendung air mata yang terus saja memaksa untuk memburai dari balik kelopak saat melihat keharmonisan anak-anak bersama ibunya, bahkan mereka terlihat selalu mengembangkan senyuman, tertawa lepas tanpa beban juga seakan lupa kepada diriku yang sudah menggores luka begitu dalam di dinding hati kepada orang-orang yang teramat kucintai.Ting!Sebuah pesan singkat masuk ke aplikasi berwarna hijau milikku. Dari salah seorang tetangga, yang aku
Sore hari, aku memutuskan untuk menemui Roy di perusahaan barunya, yang dulu aku banggakan karena Haris Mulyadi, seorang laki-laki yang berasal dari sebuah kampung bisa memiliki perusahaan sebesar itu di Jakarta, dan bahkan Roy saja yang sudah terlebih dahulu menggeluti bisnis yang sama sepertiku masih berkantor di sebuah ruko kecil dengan hanya memiliki karyawan sebanyak tiga orang saja.Tetapi sekarang, semua yang kumiliki justru berpindah ke tangan sahabatku itu, padahal aku pikir roda tidak akan pernah berputar dan keberuntungan akan terus menemani diriku.Namun nyatanya salah. Sekarang aku sedang benar-benar berada di bawah, dan dia yang tengah naik di atas puncak kesuksesan.Bahkan, sepertinya lambat laun bukan hanya perusahaan yang berpindah ke tangan dia, anak-anak serta istri pun bisa jadi akan ditaklukan oleh dia.Ya Allah... Pasti rasanya sakit sekali jika melihat dia bersanding dengan Ambar, menjalani rumah tangga bersama mantan istri
"Ayo! Kita jalan sekarang, Ris. Mumpung masih siang. Soalnya aku ada jadwal pengajian nanti habis isya!" ajak Roy sembari beranjak dari kursi.Aku mengikuti dia dari belakang, masuk ke dalam mobil miliknya dan meneguk saliva ketika melihat ada boneka Syaqila di dalam jok belakang mobilnya.Kenapa boneka kesayangan anakku ada di dalam mobilnya? Apa jangan-jangan selama ini Ambar dan anak-anak sering bepergian dengan Roy, atau malah...Ah, tidak. Ambar tidak mungkin menikah secara diam-diam dengan Roy yang notabene adalah sahabatku. Pasti kalau pun mereka sampai menikah, baik Ambar maupun Roy akan mengabari."Kemarin Qila nginep di rumah aku, Ris. Dan bonekanya ketinggalan. Makanya niatku nanti pulang dari pengajian mau mampir nganterin boneka itu, soalnya kata Ambar Qila nggak bisa tidur kalau nggak ada boneka itu!" ucap Roy seolah mengerti apa yang sedang aku pikirkan."Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dan Ambar, Roy?""Ka
"Abang setuju kok, kalau Mama menikah dengan om Roy. Asal Mama bahagia dan om Roy juga bisa menjaga Mama, menyayangi aku dan Qila juga!""Apa hubungannya dengan om Roy?""Tadi mama bilang sudah menemukan pengganti papa?""Maksud Mama itu kamu, Bang. Kamu yang akan melindungi Mama. Mama ini sudah tua. Sudah tidak lagi memikirkan pendamping hidup yang baru. Yang terpenting dalam hidup Mama sekarang hanya Abang dan dek Qila.""Oh, kiran!" Azriel menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.Aku menggelengkan kepala melihat tingkah lucu pemuda berusia delapan belas tahun itu.***Denting jam terdengar begitu nyaring. Aku membuka mata, menyibak selimut kemudian turun dari tempat tidur, mengayunkan kaki menuju mushalla rumah setelah mengambil wudhu untuk melakukan qiyamullail seperti biasa.Lekas menggelar sajadah, bertafakur diri memohon ampun kepada
Aku duduk melungguh di trotoar, memegangi lutut yang terasa lemas seperti tidak memiliki tulang. Membaca istighfar berkali-kali, apalagi kala si korban menatap wajahku seperti meminta pertolongan."Pak, tolong gotong korban ke mobil saya saja. Biar kita bawa ke rumah sakit!" titahku kepada orang-orang yang tengah menyemut mengerubuti tubuh Mas Bayu yang sudah terlihat begitu memprihatinkan. Darah terus mengalir dari hidung serta mulut, dan sepertinya kaki suami Devi mengalami patah tulang juga."Maaf, Bu. Kami tidak berani!" jawab salah seorang dari mereka."Tapi kasihan dia, Pak. Dia butuh pertolongan. Kalau tidak segera ditolong takut nyawanya tidak bisa diselamatkan.""Sekali lagi kami minta maaf, Bu. Kita nunggu polisi datang saja!"Aku menghela napas berat. Berjalan gontai menuju mobil, mengambil ponsel yang berada di dalam tas kemudian menghubungi nomer Mas Roy, memberitahu kalau suami Devi mengalami kecelakaan di depan gapura komplek. Aku juga meminta dia datang menggunakan s
"Kalau masalah itu saya tidak tahu. Pokoknya saya tidak mau mengeluarkan uang sama sekali untuk membiayai pengobatan Mas Bayu. Aku hanya punya tabungan lima juta, dan itu pun akan saya pergunakan untuk mendaftarkan sekolah anak saya bulan depan. Saya tidak mungkin menggunakan uang itu untuk membiayai orang yang tidak pernah perduli kepada saya!"Terdengar helaan napas panjang Mas Roy. Dia terlihat mengusap wajah gusar, mungkin ikut bingung dengan biaya operasi Bayu. Mudah-mudahan nanti ada bantuan dari pemerintah karena Mas Bayu termasuk keluarga tidak mampu."Apa Mbak Septi sudah denger kabar kalau Devi sudah meninggal?" tanyaku kemudian."Oh, dia sudah mati? Biarin lah. Saya tidak perduli. Soalnya semenjak dia punya uang dia jadi sombong dan tidak pernah menganggap saya sebagai saudara. Oh iya, Mbak. Coba Mbak Ambar apa si masnya yang hubungi istrinya Bayu, soalnya kalau saya yang nelepon di-reject terus sama dia." Sepeti menjawab seraya menyodorkan ponselnya, menyuruh aku dan Mas R