Aku duduk melungguh di trotoar, memegangi lutut yang terasa lemas seperti tidak memiliki tulang. Membaca istighfar berkali-kali, apalagi kala si korban menatap wajahku seperti meminta pertolongan."Pak, tolong gotong korban ke mobil saya saja. Biar kita bawa ke rumah sakit!" titahku kepada orang-orang yang tengah menyemut mengerubuti tubuh Mas Bayu yang sudah terlihat begitu memprihatinkan. Darah terus mengalir dari hidung serta mulut, dan sepertinya kaki suami Devi mengalami patah tulang juga."Maaf, Bu. Kami tidak berani!" jawab salah seorang dari mereka."Tapi kasihan dia, Pak. Dia butuh pertolongan. Kalau tidak segera ditolong takut nyawanya tidak bisa diselamatkan.""Sekali lagi kami minta maaf, Bu. Kita nunggu polisi datang saja!"Aku menghela napas berat. Berjalan gontai menuju mobil, mengambil ponsel yang berada di dalam tas kemudian menghubungi nomer Mas Roy, memberitahu kalau suami Devi mengalami kecelakaan di depan gapura komplek. Aku juga meminta dia datang menggunakan s
"Kalau masalah itu saya tidak tahu. Pokoknya saya tidak mau mengeluarkan uang sama sekali untuk membiayai pengobatan Mas Bayu. Aku hanya punya tabungan lima juta, dan itu pun akan saya pergunakan untuk mendaftarkan sekolah anak saya bulan depan. Saya tidak mungkin menggunakan uang itu untuk membiayai orang yang tidak pernah perduli kepada saya!"Terdengar helaan napas panjang Mas Roy. Dia terlihat mengusap wajah gusar, mungkin ikut bingung dengan biaya operasi Bayu. Mudah-mudahan nanti ada bantuan dari pemerintah karena Mas Bayu termasuk keluarga tidak mampu."Apa Mbak Septi sudah denger kabar kalau Devi sudah meninggal?" tanyaku kemudian."Oh, dia sudah mati? Biarin lah. Saya tidak perduli. Soalnya semenjak dia punya uang dia jadi sombong dan tidak pernah menganggap saya sebagai saudara. Oh iya, Mbak. Coba Mbak Ambar apa si masnya yang hubungi istrinya Bayu, soalnya kalau saya yang nelepon di-reject terus sama dia." Sepeti menjawab seraya menyodorkan ponselnya, menyuruh aku dan Mas R
POV Author.Setelah meminta data-data Bayu kepada Septi, Roy pergi mendatangi kantor asuransi kecelakaan untuk mengisi formulir pengajuan santunan supaya Bayu mendapatkan bantuan. Sebenarnya bisa saja dia membantu membiayai pengobatan Bayu, akan tetapi Roy memilih mengajukan santunan ke sebuah asuransi kecelakaan, tanpa harus mengeluarkan banyak uang untuk orang-orang yang sudah ikut andil dalam menyakiti hati Ambar.***Di rumah Haris.Ayah dua orang anak itu duduk tercenung di teras sendirian, masih memikirkan Ambar yang terlihat mulai tidak ada respect sama sekali kepada dirinya.Buktinya, ketika membutuhkan bantuan, bukan Haris yang dihubungi, tetapi justru Roy yang dia mintai pertolongan.Haris merasa begitu cemburu melihat kedekatan antara sahabat serta mantan istrinya, terlebih lagi Roy sudah meminta izin secara terang-terangan kepadanya untuk menjadi ayah sambung Syaqila juga Azriel.Terlalu menyakitkan baginya jika suatu saat harus melihat wanita yang masih begitu ia cinta
Malam kian merangkak larut. Haris masih duduk di atas sajadah, berzikir meminta ampunan sebanyak-banyaknya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena dulu pernah melakukan dosa zina. Walaupun dia merasa kalau dirinya berlumur dosa, akan tetapi sangat yakin jika Tuhan itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Tidak lupa juga ia meminta kepada Sang Pemilik Hati agar melembutkan hati anaknya, supaya bisa menerima maafnya sebelum nyawanya terlepas dari raga. Haris sangat khawatir jika suatu saat dia mati, akan tetapi Azriel tidak mau mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir, juga mentalkinkan dia seperti apa yang selalu dia bayangkan.Mengambil mushaf yang berada di atas meja, dengan deraian air mata Haris membaca ayat demi ayat dalam Alquran, hingga beberapa titik air bening membasahi halamannya.***Suara cericip burung terdengar saling bersahutan menyambut hari yang terlihat begitu cerah.Sang pemilik jampang tipis mengayunkan kaki samb
Haris membuka mata perlahan, mengedarkan pandangan, merasa bingung karena tiba-tiba sudah berada di dalam sebuah kamar yang terasa asing baginya."Alhamdulillah, Pak Haris sudah siuman?" tanya seorang yang sedang duduk di sebelahnya."Pak RT, kenapa saya bisa berada di sini?" Haris balik bertanya, masih merasa kebingungan, sebab yang dia ingat tadi ia hendak pergi ke surau."Tadi Bapak pingsan di jalan. Makanya warga membawa Bapak ke sini!"Mendengar jawaban dari lawan bicaranya, Haris menghela napas dalam-dalam, dan masih merasakan sesak serta sakit di bagian dada sebelah kiri."Ya Allah... Apa aku sakit? Apa sebentar lagi Engkau akan mengambil nyawaku? Kalau iya, aku ingin pergi dikelilingi orang-orang yang aku cintai. Hamba ingin ketika Engkau mengutus malaikat Izrail untuk mencabut nyawaku, anak-anak sudah memaafkan dan mau menemuiku," batinnya sambil menahan genangan air mata."Yasudah kalau begitu saya permisi pulang dulu, Pak Haris. Sudah jam sembilan malam, dan saya tidak bis
Ambar hanya menganggukkan kepala pelan, ingin mengatakan sesuatu kepada mantan suaminya, akan tetapi suaranya tercekat di kerongkongan.Sekuat tenaga juga dia menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk agar tidak tumbuh ruah di hadapan suami serta temannya. Ia tidak mau terlihat rapuh juga menunjukkan kalau sebenarnya masih ada rasa cinta yang tertanam dalam dada."Kamu ini bicara apa sih, Ris. Kenapa tiba-tiba malah ngomongin masalah kematian?" Roy bertanya seraya menatap wajah pucat sahabatnya."Karena semua yang bernyawa pasti akan mengalami yang namanya kematian, Roy. Dan aku merasa kalau sebentar lagi waktunya aku meninggalkan dunia ini!" jawab Haris dengan suara serak."Hanya Allah yang bisa menentukan kapan kita akan mati!"Haris terdiam tidak lagi mendebat. Bibirnya terkatup rapat, sementara matanya terus saja menatap lurus ke tembok yang ada di depannya.Mungkin akibat terbawa perasaan juga kesepian sehingga memb
"Apa kamu ada hubungan serius dengan Roy?"Ambar mengambil napas dalam-dalam mendengar pertanyaan dari ibu mertuanya, kemudian menggelengkan kepala perlahan."Tapi sepertinya Roy ada rasa sama kamu, Ambar. Ibu bisa melihat dari cara dia memperlakukan kamu juga kala menatap wajah kamu. Ibu setuju kok, kalau kamu menjalin hubungan dengan dia. Roy itu orang baik. Insyaallah dia bisa menjaga kamu, menjadi imam yang baik buat kamu juga cucu-cucu Ibu.""Ambar belum memikirkan untuk mencari pengganti Mas Haris, Bu. Masih ingin fokus mengurus anak-anak.""Yasudah ibu mah terserah kamu saja, Ambar. Ibu hanya ingin melihat anak kesayangan Ibu bahagia.""Terima kasih, Bu."Ambar kembali menatap wajah ibu mertuanya, terharu karena dia masih saja memberikan perhatian juga kasih sayang, walaupun kini dia sudah tidak lagi menjadi istri dari anaknya.***Sore harinya, mereka semua pergi berziarah ke makam Haeroni, juga ke makam
"Dia juga yang sedang saya kagumi, Gus." Tentu saja kata itu hanya Roy ucapkan dalam hati, tanpa berani mengutarakannya kepada Gus Fauzan. Rasanya segan jika sang pemuka agama sampai tahu kalau diam-diam mereka mencintai perempuan yang sama."Menurut sampeyan bagaimana, Roy? Kira-kira dek Ambar mau nggak ya sama saya? Kan sampeyan tahu sendiri, kalau dek Ambar masih muda, sedang saya sudah berumur. Saya sendiri merasa malu kalau hendak menyampaikan maksud baik saya. Takut ditolak!" Gus Fauzan terkekeh, memamerkan deretan giginya yang rapi, dan tawa itu bagai ujung belati yang Merobek-robek dinding hati lawan bicaranya. Sakit tetapi tidak berdarah.Tentu saja jika Ambar tahu pasti dia akan lebih memilih Gus Fauzan, karena walaupun sudah berumur tapi dia masih terlihat seumuran denganku dan terlebih lagi beliau seorang kyai besar. Aku diibaratkan sebutir debu di antara berlian nan berkilauan. Pikir Roy sambil menghela napas."Jujur, Roy. Saya tidak mau menam
Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur