Sudah lebih dari satu pekan aku terus merasa kepanasan seperti ada yang terbakar. Sudah meminta bantuan kepada Meta, tetapi dia tidak bisa membantu mencari solusi. Ke rumah Mbah Suro pun orangnya entah kemana rimbanya. Tumben sekali dia tidak ada di tempat praktik, sebab biasanya laki-laki tua itu tidak pernah pergi kemana-mana.
Duh, mana sekarang wajahku juga mulai ditumbuhi jerawat pula. Harus didempul habis-habisan kalau begini jadinya."Devi, kamu lagi ngapain di sini?" Aku langsung menoleh ketika mendengar suara berat seorang laki-laki.Prima melekuk senyum seperti saat pertama bertemu, membuat hati ini berdebar tidak karuan, apalagi ketika tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut. Ini kali pertamanya aku merasakan perasaan seperti ini, dan sepertinya aku mulai jatuh cinta kepada pria di hadapanku."Lho, kok ditanya malah bengong? Kamu baik-baik saja kan?" Dia kembali bertanya."Oh, aku hanya kaget saja bisa bertemu dengan Mas diMenyalakan shower, mengguyur cairan tersebut lalu menyabuninya hingga terasa kesat, akan tetapi aromanya tidak juga pergi meski sudah hampir satu botol sabun cair aku habiskan.Astaga... Sebenarnya ada apa? Apa mungkin aku tertular penyakit kelamin, atau, karena aku melakukan hubungan dengan Prima atas dasar cinta?Meta pernah memperingatkan kalau aku harus menghindari itu, akan tetapi aku benar-benar khilaf dan terbuai oleh suasana, hingga tanpa kusadari sampai melakukan sejauh itu dengan Prima, laki-laki yang mulai mengisi kekosongan hati.Duh, bagaimana ini?Aku harus kembali ke rumah Mbah Suro dan meminta dia mengobati serta menghentikan ini. Aku tidak mungkin terus menerus menahan bau dari tubuh, juga mengeluarkan cairan aneh nan menjijikkan. Bagaimana nanti jika tiba-tiba Andika datang dan ingin mencumbu? Bagaimana juga jika Prima mengajak berkencan sedang keadaan diri sedang seperti ini.Arghh...!!Tuhan memang t
Sudah hampir satu bulan aku menderita penyakit aneh seperti ini. Uang di dalam rekening juga sudah mulai menipis, sedangkan Prima, laki-laki yang katanya begitu mencintai aku mendadak menghilang tanpa jejak, dan nomer ponselnya tidak dapat lagi dihubungi.Hanya Mas Bayu yang masih rajin berkunjung, dan itu pun hanya kala membutuhkan uang saja.Aku bagai manusia terbuang. Merana sendiri juga terasing dalam sepi. Ingin rasanya mengakhiri hidup, akan tetapi berkali-kali melakukannya tetapi nyawa ini tidak jua mau lepas dari raga, seolah Tuhan tengah mempermainkan aku dan memberiku hukuman secara berlebihan atas sedikit kesalahan yang aku perbuat.Tuhan terlalu berlebihan kepadaku, dan selalu mendatangkan ribuan cobaan tanpa ada akhirnya.***Sudah tidak tahan dengan rasa nyeri di area inti juga panas di sekujur tubuh, aku memutuskan untuk mendatangi dokter spesialis kelamin untuk memeriksakan keadaan.Tetapi bukannya kabar
Aku mengambil napas dalam-dalam. Sebenarnya kasihan juga mendengarnya. Tetapi biarlah. Itu jalan yang sudah diambil juga dipilih oleh dia. Coba saja dulu masih bisa menahan godaan, memperkuat iman dan tidak berani bermain api sampai berbuat zina. Mungkin hidupnya tidak akan blangsak seperti ini. Sebab berzina itu selain memutus rezeki juga membuat hidupnya tidak pernah barokah."Ngelamun lagi?" Mas Roy mengetuk-ngetuk meja menggunakan ujung telunjuk."Apa sekarang Devi sudah tidak bersama Mas Haris?" "Dia kabur bawa uang perusahaan dan lagi berusaha mendekati Andika, tetapi sebelum dia beraksi sudah ketahuan.""Iya, tadi Mbak Rianti cerita sama aku.""Bu Rianti dari sini?"Aku menjawab dengan anggukan."Devi itu mainnya pelet, Mbak. Makanya Haris jadi tergila-gila sama dia!""Itu karena dia juga lemah iman. Coba kalau imannya kuat, pasti tidak akan mudah kena gendam
Apa ini, Bang?" tanyaku seraya berjalan menghampiri remaja yang beberapa hari lagi usianya genap delapan belas tahun itu, menatap bekas luka yang sudah mulai sembuh kemudian menatap wajah Azriel menuntut jawaban sebenar-benarnya."Ini juga perbuatan Pak Haris. Dia menikam saya hanya gara-gara menegur pelakornya!" ungkap si sulung membuat diri ini menggeleng tidak percaya.Mas Haris tega berbuat sekejam itu kepada anak kandungnya?Astaghfirullahaladzim...Aku benar-benar tidak menyangka, hanya karena cinta sesaat dia bisa berbuat seperti itu. Azriel itu darah dagingnya. Orang yang seharusnya mati-matian dilindungi, ini malah berusaha dilenyapkan hanya karena membela orang yang baru dikenal. Keterlaluan.Aku tidak bisa memaafkan kesalahan Mas Haris yang satu ini. Keyakinanku untuk mengakhiri pernikahan kami semakin mantap melihat bukti yang terpampang di depan mata."Azriel, tolong maafin Papa. Papa melakukan itu tanpa se
Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan shalawat tarkhim di masjid terdekat. Aku segera turun dari tempat tidur, mengayunkan kaki menuju kamar mandi lalu membasuh tubuh dan membangunkan Azriel untuk melaksanakan ibadah wajib dua rakaat di masjid terdekat, supaya dia terbiasa melakukan shalat berjamaah dan tidak bermalas-malasan untuk melakukan ibadah.Belum juga aku mengangkat tangan mengetuk pintu biliknya, Azriel sudah terlebih dahulu keluar mengenakan sarung serta koko lengan pendek berwarna hitam, persis seperti yang dikenakan Mas Haris ketika terakhir berada di rumah ini dan mau melakukan ibadah wajib.Tertegun aku memandang wajahnya yang sama persis seperti sang ayah. Bagai pinang dibelah dua, hampir mirip menyerupai Mas Haris."Kenapa Mama liatin Abang terus? Abang ganteng ya?" selorohnya membuat aku tertawa, akan tetapi entah mengapa sudut netra malah memburaikan air mata."Ganteng, tampan dan soleh. Mama bangga sama Abang.
Aku segera turun dari mobil, sementara Azriel memarkirkan kendaraan roda empat milikku di halaman rumah tetangga sesuai instruksi hansip yang berjaga di depan rumah Ibu.Dengan langkah gontai kuayunkan kaki masuk ke dalam, mengucapkan salam dan lekas menghampiri Ibu yang sedang duduk di dekat jenazah Bapak dan langsung menghambur memeluk tubuh Ibu sambil menangis tersedu."Maafin semua kesalahan Bapak ya, Ambar. Karena selama ini kami sudah sering merepotkan kamu, bahkan kami gagal mendidik Haris sampai-sampai dia menyakiti kamu seperti ini," ucap Ibu di sela isak tangis, sambil terus mengusap punggung ini dengan penuh kasih dan sayang."Bapak tidak pernah memiliki kesalahan apa-apa sama Ambar, Bu. Bapak itu sosok panutan buat Ambar, ayah yang selalu ada buat Ambar juga karena dukungan dari Bapak lah Ambar bisa berdiri tegak hingga saat ini. Soal kesalahan Mas Haris, itu murni kesalahan mantan suami Ambar, bukan kesalahan Bapak ataupun Ibu.""Terima kasih, ya, Sayang.""Sama-sama, Bu.
Aku menghela napas berat. Sebenarnya betul juga apa kata Ibu. Mungkin karena akhir-akhir ini Mas Haris terlalu sering mengabaikanku yang selalu mengingatkan untuk melakukan ibadah wajib serta sunah, dan malah mengatai aku cerewet karena sering menanyakan apakah dia sudah shalat atau belum setiap waktunya."Kamu juga jangan terlalu sering melamun, ya, Nak. Nggak bagus. Takut ada syaitan yang menggunakan kesempatan itu untuk mengganggu kamu," pesannya kemudian dan aku jawab dengan anggukan.Kami pun mengakhiri obrolan karena azan ashar sudah berkumandang. ***"Ambar, hari ini ada acara haul almarhumah istrinya Gus Fauzan. Ibu boleh minta tolong anter kue ke pesantren? Soalnya Ibu nggak mungkin pergi ke sana, karena Ibu sedang menjalani masa iddah," titah Ibu dengan intonasi sangat lembut."Iya, Bu. Mana kue yang mau di antar?"Ibu menunjuk beberapa kotak kue yang tergeletak di atas meja. Aku segera memanggil Azriel, memi
Setelah dua orang debt kolektor itu meninggalkan ruangan, aku segera keluar, berniat ke dealer mobil menjual kendaraan satu-satunya yang masih aku miliki. Niatnya uang penjualan mobil itu akan kupakai untuk membayar hutang. Mau menjual apartemen, surat-suratnya masih berada di tangan Devi dan aku tidak tahu perempuan setan itu ada di mana saat ini. Apakah dia sudah tiada, atau masih hidup dan sedang menari-nari di atas lukaku aku tidak tahu. Yang pasti aku sudah meminta pihak dealer untuk menarik mobil sedan yang aku belikan saat terakhir kami bersama, dan soal kabar orangnya aku tidak tahu, karena dia menghilang begitu saja bagai ditelan bumi."Pak!" panggil Safia dan Patrick ketika aku melintas di hadapan mereka.Aku menghentikan langkah, menoleh ke arah kedua karyawan yang masih tersisa, menatap tajam wajah mereka sekaligus ingin tahu apa yang hendak mereka sampaikan."Ada apa?" tanyaku karena bukannya mereka berbicara, tetapi malah saling sik
Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur