"Saya tunggu secepatnya. Kalau Bapak tidak segera membayarnya, saya akan datang kembali dan menghancurkan semua yang Bapak miliki!" ancamnya sambil mengayunkan kaki keluar dari ruangan, membanting pintu dengan begitu keras hingga fotoku bersama Devi yang masih menggantung di bilik dinding jatuh dan pecah terbelah.
Aku berusaha bangkit, merapikan kemeja yang sudah berantakan lalu duduk memaku di kursi singgasana yang mendadak terasa begitu tidak nyaman di duduki.Bagaimana ini. Uang tabungan tinggal sedikit, hutang bertumpuk, sementara sertifikat apartemen sekarang berada di tangan Devi.Sial banget hidupku. Aku pikir Devi benar-benar tulus mencintai aku seperti yang selama ini dia ucapkan, ternyata semua kata yang keluar dari mulutnya hanya dusta belaka. Dia tidak ubahnya seperti lintah penghisap darah.Menjambaki rambut sendiri, benar-benar pusing dengan semua problema yang tengah kujalani. Sekarang, kepada siapa aku harus meminta pertolongan jugAku terus mengamati sepeda motor berwarna hitam yang masih terparkir di halaman sekolah. Terlihat masih baru dan bagus. Jika dijual sepertinya masih bisa menghasilkan uang yang lumayan.Namun, jika aku kembali melakukan itu, pasti Azriel akan semakin benci, karena dulu saja ketika Devi menyuruhku mengambil motor sport yang aku hadiahkan untuknya dia terlihat begitu marah. Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama lagi."Faza, sini, Nak!" teriakku memanggil teman sekelas Azriel, dan remaja seusia anakku itu segera berjalan menghampiri."Ada apa, Om?" tanyanya kemudian dengan nada sopan."Titip kunci motornya Azriel." Memberikan kunci motor yang sempat aku ambil dari si sulung kepada bocah berusia tujuh belas tahun itu."Iya, Om." Dia melekuk senyum sambil menatapku."Oh, iya. Kamu kan dekat dengan anak saya, tolong bujuk dia untuk mau menghormati saya sebagai ayahnya. Jangan jadi anak durhaka, karena biar bagaimanapun dalam dara
"Aku masih mencintai dia, Roy!" Lelaki yang usianya terpaut lebih muda dua tahun dariku itu tertawa renyah, seolah ada yang lucu dengan ucapan yang terlontar dari mulutku."Cinta? Cinta apa, Ris? Kalau cinta tidak akan pernah menyakiti. Kamu sudah menggores luka begitu dalam di dinding hatinya. Kamu sudah meluluhkan lantakkan perasaan dia, membuat perempuan itu menitikkan air mata karena pengkhianatan yang kamu lakukan. Sekarang, setelah kamu dicampakkan oleh Devi, kamu masih berani bilang soal cinta?"Aku menunduk diam mendengar ceramahnya. Dia memang lebih muda, akan tetapi entah mengapa aku tidak pernah berani mendebat dia. Hatiku selalu merasa luluh jika bersitatap dengan Roy."Kamu itu ibarat membuang berlian hanya demi sebongkah batu, Ris. Sekarang menyesal pun sudah tidak ada artinya," nasihatnya lagi, seperti belum puas menelanjangi diriku."Terus aku harus bagaimana, Roy?" Menatap mata sendu itu."Taubat, kamu juga
POV Devi.Memantas diri di depan cermin, menatap wajahku yang semakin cantik memesona juga tanpa cela. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menolak pesona Devi, termasuk si Haris, laki-laki yang sudah lama aku incar, tetapi selalu saja cuek dan terlalu bucin kepada Ambar.Bukannya tidak tahu berterima kasih karena dulu perempuan itu pernah menyelamatkan hidupku, ah, mungkin kata-kata menyelamatkan hidup itu terlalu berlebihan. Dia hanya memberikan setetes darah saja, masa iya aku harus bertekuk lutut dan selalu merasa berhutang budi kepadanya? Lagian, siapa suruh dia sok baik dan mendonorkan darah untuk aku. Kalaupun dia tidak mendonorkannya, sudah pasti pihak rumah sakit akan mencarikannya di PMI, walaupun golongan darahku itu tergolong langka dan hanya orang-orang tertentu yang bisa mendonorkannya. Tetapi kan tidak harus Ambar, supaya dia tidak besar kepala dan merasa kalau aku berhutang nyawa kepadanya.Entahlah. Sejak dulu hingga saat ini, menga
Wangi aroma maskulin tiba-tiba menguar di udara. Haris keluar dengan pakaian santai serta rambut basah juga harum, disusul oleh Azriel dan Syaqila yang terus saja memuji harumnya masakan Ambar yang sebenarnya menurutku biasa-biasa saja. Hanya saja mereka terlalu berlebihan dan takut ibunya marah jadi sok memuji seperti itu."Mas Haris apa kabar? Semakin tua semakin tampan saja?" sapaku kepada laki-laki yang tengah duduk di kursi paling ujung, membuat Ambar seketika langsung menatap ke arahku, sementara Mas Haris hanya menoleh beberapa detik kemudian kembali fokus kepada makanan yang mulai dituangkan di atas piring.Sok cool, sok tampan. Awas saja kamu nanti. Aku pastikan kamu akan bertekuk lutut kepadaku dan mencampakkan keluarga kecil kamu seperti sampah, dan setelah semuanya hancur aku akan pergi meninggalkan kamu.Seusai santap malam, aku lihat Haris membantu istrinya membawa perkakas kotor ke wastafel, sementara Syaqila mencuci piring dan Azriel m
"Ambar, aku permisi pulang dulu, suami aku nelepon dan nyuruh aku buru-buru pulang," pamitku kepada Ambar yang sedang duduk di ruang tamu bersama keluarga besarnya."Oh, ya sudah, Dev. Kamu hati-hati ya?" Dia melekuk senyum sok polos dan sok tulus.Aku segera keluar dari rumah tersebut, tersenyum miring sambil menatap perhiasan yang berhasil aku ambil dari kamar si tukang pamer. Biar tahu rasa. Lagian hanya satu buah kalung dan satu buah cincin mah nggak akan membuat dia mendadak menjadi miskin.Setelah dari rumah Ambar aku segera pergi ke pasar, menawarkan perhiasan tersebut ke toko emas dan ternyata penawaran dari si empunya toko benar-benar membuat aku syok luar biasa. Satu buah kalung ditawar dua puluh lima juta, dan cincin milik Ambar dihargai enam juta. Padahal sepertinya gramnya tidak terlalu besar, tetapi harganya luar biasa mahalnya.Ya, walaupun pada awalnya banyak toko yang menolak dengan alasan takut barang curian, tetapi akh
"Aku minta maaf, Ambar. Aku benar-benar nggak tahu. Aku khilaf. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi suami aku yang kasar dan suka main tangan. Ini aja aku masih dikejar-kejar rentenir karena masih ada hutang sama mereka, dan diancam akan dibunuh jika tidak segera melunasi hutang!" "Itu urusan kamu, bukan urusan aku. Aku nggak mau tahu, pokoknya besok kamu anterin aku ke toko tempat kamu menjual perhiasan aku, biar aku tebus barang-barang itu!" Dengan jumawa Ambar memutar badan, meninggalkan kediamanku tanpa permisi dan basa-basi. Lama-lama semakin menunjukkan sikap angkuhnya ini perempuan. Awas saja nanti kalau Haris sudah berada dalam pelukan aku. Akan kutendang jauh-jauh, dan akan kubalas semua sikap sombong kamu, Ambar!***Esok harinya, sebelum aku berangkat kerja ibu beranak dua itu sudah menunggu di halaman dan langsung mengajakku ke toko tempatku menjual kalungnya. Sepanjang perjalanan tidak ada sepatah kata pun yang kelua
Seminggu sudah aku berada di tempatnya Meta. Uang pun sudah terkumpul sebanyak tujuh juta, karena tidak setiap malam ada tamu yang datang menggunakan jasaku. Mereka lebih suka dilayani oleh Meta yang katanya lebih menjepit juga menggigit.Tepat di malam Selasa Kliwon, Meta mengajakku ke sebuah bangunan tua yang letaknya di pinggiran kota dan jauh dari pemukiman penduduk lainnya.Seorang laki-laki paruh baya keluar dengan totopong hitam menutup kepala. Kesan mistis begitu terasa ketika berada di rumah itu, apalagi suasana di sekitarnya terlihat begitu gelap dengan penerangan seadanya."Ada apa kamu datang ke tempat saya, Nyai?" tanyanya sambil menatap wajahku."Saya mau pasang susuk sekaligus ingin meminta bantuan Mbah, supaya laki-laki yang saya incar bisa bertekuk lutut kepada saya dan memberikan apa pun yang saya mau," jawabku yakin.Pria berkulit gelap itu mengusap janggutnya lalu kembali menatap wajahku tanpa berkedip."Kamu
Semenjak aku menggunakan susuk berlian, Haris menjadi begitu patuh kepadaku. Apa pun yang aku minta selalu dia turuti, dan semua yang kuperintahkan akan dia lakukan. Termasuk saat aku menyuruhnya untuk mengambil sepeda motor milik Azriel juga menyuruh memukuli anaknya. Bahkan darah dagingnya sendiri saja sampai hampir dibunuh oleh laki-laki itu. Aku sangat puas melihat Ambar sering menangis meratapi nasib rumah tangganya berantakan, juga kehilangan hampir semua yang dia miliki.Ya, walaupun aku tidak mendapatkan seluruh harta yang Haris miliki, tetapi setidaknya aku sudah dibelikan rumah, hampir semua uang Haris masuk ke dalam rekening dan sekarang aku akan membuangnya karena dia sudah tidak memiliki apa-apa.Incaranku sekarang adalah Andika, suami dari Rianti yang ternyata kekayaannya melebihi Haris, dan aku yakin suatu saat dia juga akan bertekuk lutut kepadaku, memberikan semua yang aku minta lalu membuang Rianti yang sombong itu persis seperti Haris membuang Am
Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur