Tiba-tiba saja Ibu datang ke rumahku sambil menangis. Aku memintanya untuk duduk terlebih dahulu, lalu menenangkannya. "Bik, tolong buatkan teh manis dua, ya!" Aku setengah berteriak memanggil Bibik."Iya, Bu." katanya dari arah dapur.Aku mengusap-usap punggung Ibu agar tenang. Tapi tetap ku biarkan Ibu menangis, agar lega nantinya.Minuman pun datang. Kuberikan secangkir teh pada Ibu, ia mengambil, lalu meminumnya."Kania ... Ibu nggak habis pikir sama Radit. Dia lebih percaya Seli dibanding Ibu. Seli telah memfitnah Ibu mencuri perhiasannya. Dia berhasil, Kania. Huhuhu." Ibu menangis sesenggukan. Aku jadi kasihan melihat Ibu disia-siakan oleh Mas Radit dan Seli."Sabar, Bu. Nanti Kania balaskan ya, Bu. Seli benar-benar licik. Dia ingin menguasai semua, tanpa terkecuali.""Iya, Kania. Ibu tak menyangka Radit memiliki Istri licik seperti Seli.""Ya sudah, habis ini Ibu bisa istirahat di kamar, ya! Biar aku siapkan dulu kamar untuk Ibu." Lalu Ibu menyeruput tehnya lagi. Terlihat rau
"Kania, ini tak ada hubungannya dengan itu. Bukti yang berbicara, Kania. Coba kamu posisikan ada di posisiku!"Aku terdiam. Baiklah, Mas. Jika kamu masih belum sadar, aku tak memaksamu."Mas, untuk kiriman tikus matinya, terima kasih banyak. Sampaikan pada istrimu tercinta. Akan ku cari bukti, dialah pelakunya." Aku langsung menutup pembicaraan dengan Mas Radit. Percuma, dia pasti membela Seli dan itu membuatku muak.***"Bu, jangan lupa hari ini sidang lanjutan di pengadilan." Suara Bu Marisa mengejutkanku. Aku lupa jadwal hari ini gara-gara tikus itu."Baik, Bu. Nanti saya ke sana."Kyra masih terlelap setelah aku memberinya ASI tadi. Dia sangat manis dan menggemaskan saat tidur, membuatku ingin selalu bersamanya.Aku pun mendekat padanya dan berbisik menenangkannya sebelum ku berangkat."Kyra sayang, Mama mau berangkat dulu. Kamu baik-baik di rumah. Ada Nenek juga di sini," ucapku pada Bayi yang sedang tertidur di box bayi.Setelah siap, aku pamit pada Ibu."Ibu jagain Kyra, kamu b
Mas Radit buru-buru meninggalkan restoran itu. Aku yang mengejarnya pun tak bisa terkejar. Mobilnya melesat kencang meninggalkan tempat ini.Aku tak tega melihat Seli terjatuh, lalu berusaha mencari pertolongan untuk memapah Seli masuk ke dalam mobilku. Beruntung ada beberapa orang lewat di sana.Aku segera membawa Seli ke rumah sakit. "Sakit, Kania!" Seli terus saja mengatakan sakit."Sabar ya, sebentar lagi sampai." Akhirnya sampai juga. Aku memanggil perawat untuk menolong kami. Mereka yang mengeluarkan Seli dari mobil. Seli dipindahkan ke atas ranjang rumah sakit. Setelah itu di dorong menuju IGD.Aku jadi membayangkan kejadian yang menimpaku beberapa bulan lalu. Saat aku pun terjatuh dan harus dilarikan ke rumah sakit pula. Saat itu dokter langsung mengeluarkan bayiku.Aku mengikuti langkah perawat yang membawa Seli di belakang mereka. Mereka mengambil tindakan dibantu seorang bidan. Mengecek kodisi Ibu dan Bayi di kandungan.Aku menjaga jarak dengan mereka, tapi aku dipanggil
"Karena aku telah melepaskanmu. Aku menyesal, Kania. Menyesal telah melepaskan wanita seistimewa dirimu."Aku berdehem. "Itu sudah masa lalu, Mas. Tak sepatutnya kamu bicara seperti itu. Semoga aku dan kamu menemukan kebahagiaan kita masing-masing."Mas Radit menoleh padaku."Jadi, selama ini kamu nggak bahagia bersamaku?"Aku menghela napas kasar."Tidak, Mas. Bukan seperti itu. Kondisinya berbeda, sekarang aku sadar kita tidak bisa seperti dulu saat kita saling menyayangi," kataku."Baiklah, Kania. Aku mengerti. Aku doakan kamu bisa memperoleh kebahagiaan.""Baiklah, Mas. Terima kasih doanya. Aku pamit, ya. Kasian Kyra kalau aku kelamaan di sini," kataku."Aku kangen sama Kyra. Kapan-kapan aku ke sana, ya!"Hanya bisa diam. Teringat kejadian terakhir saat Mas Radit datang."Aku nggak bakal seperti itu lagi, Kania. Aku janji!" katanya, seakan tau perasaanku.Aku tersenyum dan mengangguk."Terima kasih, Kania!" ucap Mas Radit.Kemudian kami berpisah ke tujuan masing-masing.'Semoga k
Setelah menerima telepon dari Mamanya Lia, aku masih diam. Bang Haris bertanya siapa yang menelepon, tapi aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya.Setelah minum sedikit, baru bisa menjawab pertanyaan. "Tante menyuruhku dan Kamu ke Bandung. Lia sakit kena DBD, Bang!""Baik. Kita mau ke sana kapan?""Abang bisanya kapan?""Besok paling, aku cuti.""Baik, Bang. Kita berangkat bareng. Aku bawa Kyra sama Bik Susi ya!""Ok, boleh."Setelah bersepakat, Bang Hasan kembali ke rumah sakit, sementara aku harus ke toko cabang yang lain. ***Saat berjalan menuju mobil, tiba-tiba tasku ada yang mencopet dari depan. Orang itu melesat cepat tak terlihat lagi. Sementara aku bersyukur yang diambil itu tak berisi gawai ataupun surat-surat penting. Isinya hanya struk belanja dan sedikit uang. Mudah-mudahan bermanfaat bagi pelaku.Sepanjang jalan , aku memikirkan apakah yang mencopetku barusan juga suruhan orang. Tak biasanya di daerah ini ada copet yang berkeliaran.'Apa mungkin ini suruhan dia? Ah
"Ini, Tan. Bang Haris yang tante minta datang."Tante melihat ke arah kami, lalu mempersilahkan kami masuk."Lia!" Aku berhambur ke arahnya, mencoba memeluk sepupuku yang sedang sakit ini.Aku duduk di samping ranjang. Bang Haris pun menarik kursi ke dekat kami."Kania ... Bang Haris. Syukur kalian sudah sampai. Aku kangen pada kalian.""Sama, Li. Aku juga kangen banget.""Doakan aku ya, Kania." Lia tak kuasa menahan air matanya."Iya. Cepat sehat ya, Lia!" jawabku."Iya Pasti. Kamu pasti sehat lagi." Bang Haris menambahkan.Lalu salah satu tangan Lia mengambil tanganku."Kania ... Aku harap kamu bisa menikah dengan Bang Haris. Aku tau Bang Haris sangat menyukaimu."Aku bergeming. Hal itu belum kupikirkan."Belum tau, Li. Aku masih belum bisa memikirkan hal itu. Aku baru bercerai dengan Mas Radit. Biar kamu saja dengan Bang Haris," kataku.Lia tersenyum tipis."Tidak. Ketika ku ke sana, aku hanya memastikan perasaanku. Ketika aku dan Bang Haris makan malam, ku lihat Bang Haris sedang
Kami tak ikut ke pemakaman Lia. Tapi kami kembali ke rumah sakit untuk memberi salam perpisahan padanya."Tan, maaf aku sama Bang Haris harus segera kembali ke Bogor. Tante yang sabar. Semoga Allah menerima segala amal perbuatan Lia," kataku pada Tante sembari memeluknya erat."Aamiiin. Terima kasih doanya, Kania. Tante insya Allah sudah ikhlas. Kamu dan Haris tolong bisa memaafkan kesalahan Lia, ya!""Iya, Tan. Lia nggak salah apa-apa, Tante. Kami pergi sekarang ya, Tan. Takut kemaleman nanti. Kyra dan Bibik menunggu di mobil.""Baik, Kania. Hati-hati di jalan, ya!"Kami saling melambaikan tangan. Insya Allah Tanteku kuat dalam menghadapi masalah ini.***Sepanjang perjalanan rasanya begitu sesak bagiku. Aku tak mood untuk makan atau melakukan hal lainnya selain melamun di samping Bang Haris."Kania, kamu nggak usah seperti itu. Lia pasti nggak suka lihat sahabatnya sedih seperti ini. Kamu harus belajar menerima, Kania. Setiap pergerakan pasti akan ada perpisahan." Bang Haris menaseh
"Iya, Kania. Aku sudah mengusirnya dari rumah. Selain selingkuh, dia juga menjadikan sertifikat rumah sebagai jaminan pinjamannya. Dan ternyata pinjaman lima puluh juta kemarin jadi berbunga. Bunganya sangat besar, sehingga aku harus membayar total seratus juta rupiah, Kania!""Astagfirullah sampai sebesar itu hutangnya?""Iya, Kania. Makanya aku mau menggadaikan tokoku dulu padamu untuk membayar hutang dan mengambil sertifikat rumahku, Kania. Setelah dapat sertifikat, aku akan menjualnya. Sepertiga bagian dari penjualan rumah akan ku berikan padamu. Bagaimana, Kania?""Baiklah, Boleh. Oya, Mas. Kamu sudah dengar belum? Ada yang memfitnah kami saat ini. Mereka mengatakan kalau air zam-zam dari kami palsu. Dan saat ini kami sedang menyelidikinya," kataku."Apa? Aku baru dengar loh! Pantas, aku dengar sih selentingan ada supliyer zam-zam palsu. Tak tau ternyata ini menimpamu, Kania." Mas Radit pun baru tau."Baiklah kalau gitu. Akan kami tetap selidiki, Mas.""Harus itu. Oke, terima kas
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
Aku mengekor langkah Bang Haris dengan tangan yang saling bergandengan. Ketika tiba di rumahnya, aku terkejut rumahnya lumayan rapi untuk ukuran jomblo seorang dokter."Kanda, aku suka di sini. Lebih adem dari rumahku.""Ya udah, kita tinggal di sini aja kalau gitu. Rumahmu dikontrakkan saja." "Boleh. Bisa jadi," kataku sembari melihat-lihat ke beberapa ruangan.Kemudian Bang Haris mengajakku ke kamarnya. Ternyata di sana rapi juga. Ranjang dengan seprey berwarna biru motif polkadot, dinding kamar berwarna abu-abu muda."Dinda, aku mencintaimu," katanya sembari menatapku penuh cinta."Sama, Kanda. Aku juga cinta padamu," balasku."Dinda, kamu ke sini, Sayang." Bang Haris menarikku ke ranjangnya."Gimana ranjangnya? Kamu suka di sini atau di rumahmu?""Di sini aja, Kanda. Aku suka.""Makasih ya, Sayang."Lalu Bang Haris mengecupku lembut, kami pun merengkuh manisnya cinta bersama."Dinda, terima kasih atas pelayananmu. Kanda sangat beruntung menjadikanmu sebagai istriku.""Sama-sama,
Hari ini kami kembali ke Bogor, kota tercinta yang menjadi kediamanku dan Bang Haris selama ini. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Begitu berbunga-bunga saat berada di samping Bang Haris--suamiku saat ini.Bang Haris mengendarai mobilku, mobilnya Bang Haris ada di Bandung. Jadi mungkin nanti adiknya yang mengantar ke rumah.Belum ada kepastian kami akan tinggal di mana. Rumah kami yang bersebelahan, bisa saja nanti dikontrakkan atau mungkin dijual. Eh tapi sayang kalau harus dijual."Dinda, ada hadiah dari kanda yang mau kanda kasih liat sama Dinda," kata suamiku. Duh, hadiah apa ya kira-kira? Cukup penasaran dengan apa yang dikatakannya."Ya udah kapan mau dikasih lihat sama aku?" tanyaku."Secepatnya. Kita pulang dulu ke rumah, nanti Dinda ikut Kanda ya!" katanya. "Baik, Kanda. Pasti nanti aku ikut dirimu, Kanda!" Aku menoleh pada suamiku yang sedang fokus menyetir.Bang Haris melirikku sebentar, lalu fokus lagi ke depan. Wajah gantengnya kupandangi dari samping. Masya Allah, aku
Tak lama Bang Haris datang. Tapi bersama Kyra. Aku jadi senang, kami mengasuh bersama di dalam kamar.Kami mengobrol hal-hal yang ringan, yang bisa membuat kami sesekali tertawa. Atau bahkan membuat kami menitikan air mata."Kanda, aku mau berterimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku benar-benar terbantu dengan semua hal yang kau berikan.""Dinda, aku ikhlas menolongmu. Tak ada maksud apa-apa. Aku memang mencintaimu saat itu. Tapi ku berpikir, jikapun kamu jodohku, kita pasti kan bersama.""So sweet banget, Kanda. Aku jadi malu jadinya.""Nggak usah malu, Dinda. Aku sekarang suamimu loh! Bisakah kamu mendekat padaku?" Bang Haris melirik pada Kyra yang tertidur."Ehm ... Kanda, sebentar lagi magrib, lalu Isya, dan nantinya subuh."Bang Haris terkekeh. "Dinda pinter ngeles deh. Mau magrib atau apapun itu, jika sudah terjadi, maka terjadilah. Hehe ... Becanda aku, Dinda! Yuk bersiap salat subuh dulu!""Hayuk, Bang!"Kami sudah mandi tadi sebelum ashar, saat menjelang magrib, kami hany
"Kania ... Ayo sini, calon pengantin harus meng-Aminkan doa-doa ibu Ustadzah." Salah seorang tanteku berkomentar. Aku mengangguk tanda setuju padanya."Iya, benar. Kania diam di sini, jangan kemana-mana," sahut sepupuku."Insya Allah besok lancar ya, Kania. Kami berdoa untuk kalian nanti," timpal sepupuku yang lain.Alhamdulillah mereka semua mendukungku. Tak ada yang nyinyir dengan statusku. Mungkin semua karena kebaikan mamaku juga, ia benar-benar baik pada Tante dan para sepupuku."Terima kasih semua, aku sangat terharu dengan semua. Semoga Tante, kakak dan adik juga dilancarkan urusannya," timpalku pada mereka.Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sehingga aku bisa selalu berpikiran positif. Walau kadang terbersit rasa insecure kalau diri ini seorang janda yang akan menikahi lelaki ganteng plus mapan. Ah, kalau berpikir ke situ, rasanya tak sebanding.***"Kania, kamu cantik sekali. Walau kamu pernah juga seperti ini, aku menyukai riasanmu saat ini," kata Mama. Mama terus saja
"Kamu bisa mengunjungi Kyra kapanpun, Mas. Aku tak akan menghalanginya. Tapi aku tak mungkin kembali padamu. Maaf ya, Mas Radit. Aku doakan semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.""Mas Radit beranjak dari duduknya. Lalu berjalan ke arah Bibik, ia menggendong Kyra. Aku melihat kerinduan dari pancaran matanya.'Maaf, Mas. Aku benar-benar tak bisa bersamamu.' gumamku."Kyra baik-baik sama Mama. Nanti kalau udah besar jagain Mama ya!" Mas Radit berbicara dengan Kyra."Mas, aku harus segera berangkat sekarang." Ku lihat jam tanganku, sudah hampir setengah jam Mas Radit di sini."Baik, maaf ya Kania. Aku jadi mengganggu waktumu.""Iya, Mas. Nggak apa-apa.""Maaf juga aku tak bisa berangkat ke sana. Aku doakan dari sini, ya. Semoga kamu bahagia dengan Haris.""Aamiin, insya Allah. Terima kasih doanya."Kami sama-sama menuju depan rumah. Mas Radit pamit pulang. Ia menggunakan ojeg, karena mobilnya sudah dijual. Bik Susi mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku. Kunci dibe
Bang Haris mengatakan kalau Seli dan laki-laki yang memasang bom jadi buronan polisi. Bisa-bisanya mereka merencanakan hal yang buruk padaku."Kamu hati-hati kalau dijalan. Apa perlu aku yang antar jemput kamu?" tanya Bang Haris khawatir. Aku bisa merasakan kekhawatirannya."Nggak usah, Bang. Lagian pasienmu nanti pada nunggu, Bang," sahutku. Kasihan dia kalau terlalu memikirkanku."Baiklah, hati-hati kalau mau ke kantor. Oya, besok kan kamu harus ke Purwakarta. Kalau aku Insya Allah ke Bandung lusa," terang Bang Haris. "Aku juga tak tinggal diam, aku mencari info juga tentang Seli dan orang suruhannya." "Iya, Bang. Semoga bisa segera di tangkap. Sekarang aku sadar, tidak semua orang menanggapi atas keinginan kita untuk berhubungan baik dengannya," sahutku."Iya, Kania. Untuk saat ini tak perlu lagi kamu berhubungan lagi dengan seorang Seli," ucap Bang Haris."Iya, Bang. Terima kasih, ya!" jawabku.Bang Haris berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan aku sebentar lagi akan ke toko, kar
Mereka langsung menatapku. Salah satu dari mereka mendekat."Maaf, Bu. Jangan laporkan kami. Kami tak akan mengulanginya lagi," katanya.Aku berdehem. "Yang lainnya bagaimana?"Mereka saling berpandangan, lalu mendekat ke arahku agar jangan membocorkan ini."Baiklah, saya terima semua janji kalian. Tapi ingat, tak baik membicarakan seseorang seperti itu.""Baik, Bu," kata mereka serempak."Ya sudah silahkan bekerja kembali!" Aku kembali duduk menunggu obat. Pasien lain yang ada di sekitar memperhatikan ke arahku. Peduli amat sama mereka, toh aku peduli dengan rumah sakit ini, agar tenaga kerja di sini tak sembarangan bergosip. "Aku tak menyangka kamu bisa setegas itu?" Suara Bang Haris mengagetkanku."Eh, Bang. Maaf ya aku bikin gaduh di sini."Kemudian dia duduk di sampingku."Enggak kok kamu hebat, Kania. Maaf ya kalau kamu jadi bahan gunjingan jadinya," katanya dengan suara yang pelan."E-eng-enggak, kok. Aku cuma nggak mau aja kamu menjadi bahan olok-olok mereka. Mereka pantas