Aplikasi hijauku berbunyi. Kubuka pesan yang masuk. Dari sepupuku di Bandung. Dia mengirimkan sebuah video padaku.
'Deg.' Aku tersentak saat melihatnya.
Video itu berisi akad nikah suamiku di sebuah ruangan, tapi entahlah itu ruangan apa. Ternyata sebuah kamar di rumah sakit.
'Ya Allah, Mas Radit. Kamu menikahinya!' sontak mulut ini ditutup oleh telapak tangan kananku.
Tak lama ia kirimkan lagi video Mas Radit sedang resepsi di pernikahan itu. Gawai ini tak kuasa terpegang lagi olehku, aku terkulai lemas menepi di pojok kamarku.
Hati ini terasa teriris melihat video itu. Pernikahan Mas Radit dengan Seli. Tapi ... bukannya Angga yang menikahi Seli? Kenapa malah suamiku yang jelas-jelas sudah punya istri.
Aku menangis tersedu sembari mengelus-elus jabang bayi yang ada di kandunganku. Saat ini aku sedang mengandung usia delapan bulan, dan ini anak pertama kami.
Suara telepon membuatku terperanjat.
"Halo, Kania. Kamu nggak kenapa-napa, kan?" suara Lia mengkhawatirkanku di sebrang sana.
Ku seka air mata ini, lalu menghela napas kasar.
"Aku nggak apa-apa, Li. Aku butuh penjelasan, Li! Mengapa bisa seperti itu?"
"Panjang kalau harus diceritakan, Kania. Aku juga bingung semua terjadi begitu cepat," katanya.
"Nggak apa-apa, kamu cerita aja. Aku sangat penasaran dengan video yang kamu kirimkan ini. Bagaimana mungkin Mas Radit menikahi Seli yang jelas-jelas mau menikah dengan Angga." Aku berusaha tegar saat bicara dengan Lia.
"Tadi mobil pengantin laki-laki kecelakaan, Angga mengalami luka parah. Ia meminta Radit untuk menikahi Seli. Radit tadinya menolak, tapi Angga merasa umurnya tak lama, akhirnya dia terima. Terjadilah akad nikah itu di rumah sakit. Angga menyuruh mereka kembali ke tempat resepsi. Mereka pun melakukan resepsi, saat itulah Angga meninggal dunia," cerita Lia.
Aku syok mendengar cerita Lia. Mas Radit sudah sah mempersunting Seli. Itu berarti, ah ... Aku tak kuat memikirkannya.
***
"Dek, aku pergi dulu ya!" Mas Radit pamit akan ke pernikahan Angga dan Seli di Bandung.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya!" ucapku sambil mencium tangannya. Ia pun mencium dahiku, lalu pergi meninggalkanku.
Aku tak bisa ikut karena kehamilanku sudah memasuki trimester ketiga. Aku disarankan banyak istirahat di rumah oleh Mas Radit.
Mas Radit ingin ikut rombongan pengantin laki-laki, jadi harus berangkat dari Bogor dini hari, saat semua masih terlelap. Semua kejadian tadi pagi terekam jelas di ingatanku.
Andai Mas Radit tidak pergi ke Bandung, mungkin pernikahan itu tidak akan terjadi. Aku hanya bisa berandai-andai, tanpa bisa mengembalikan semua.
Memoriku kembali ke masa lalu. Aku, Suamiku, Angga, Seli dan Lia adalah teman saat kami kuliah. Mas Radit dan Seli pernah menjalin hubungan spesial saat itu. Tapi, takdir menjadikanku sebagai istri Mas Radit.
Tak kusangka, sekarang mereka bersama kembali setelah takdir yang tadinya akan memberikan kami pasangan masing-masing, ternyata ia harus kembali pada suamiku.
'Ya Allah kuatkanlah aku,' batinku.
***
Seharian kemarin tak ada kabar dari Mas Radit. Mungkin dia sedang sibuk dengan istri barunya. Atau mengurus pemakaman sahabatnya? Hatiku bertanya-tanya. Sementara Lia juga masih belum bisa kuhubungi.
Kucoba menghubungi gawai Mas Radit terlebih dahulu. Nada sambung sudah terdengar, namun suamiku masih belum mengangkatnya. Hal ini membuatku memikirkan hal yang tidak-tidak tentangnya.
'Mungkin dia sedang memadu kasih dengan Seli.' Aku bergidik saat memikirkannya.
Bagaimana mungkin aku bisa membayangkannya membingkai kasih dengan wanita lain. Aku tak siap dengan hal itu, dan itu tak ada dalam kamus hidupku.
Bagaimana nanti pandangan orang tuaku, orang tuanya? Apakah mereka sudah tau tentang hal ini?
Aku mengirim pesan pada Lia agar ia menyembunyikan hal ini dari orang tuaku. Mereka bisa-bisa menyuruhku untuk berpisah nantinya. Lia setuju dengan usulku. Ia juga menyuruhku untuk tenang agar tidak terjadi apa-apa pada kehamilanku. Lalu Lia meneleponku karena merasa khawatir.
"Sabar ya, Kania. Kamu harus berpikir positif. Ingat, di sini Radit juga terpaksa. Ia melaksanakan keinginan Angga," jelas Lia.
"Iya Lia. Aku tau itu. Tapi, aku nggak tau bakal sanggupkah nanti menjalankan poligami ini. Kamu tau kan mereka pernah ada hubungan spesial? Hubungan masa lalu mereka bisa dibangun kembali. Gimana denganku nanti, Lia? Huhuhu." Aku menangis lagi setelah menahannya sedari tadi agar air mata ini tak tumpah.
"Udah ... udah Kania. Aku jadi merasa bersalah telah memberitahumu. Mana kita jauhan. Aku tak bisa memelukmu dari sini. Kamu harus kuat ya. Aku tau kamu bisa!"
"Iya, Lia. Terima kasih. Kamu nggak salah. Kamu sudah benar telah menghubungiku," jawabku.
"Ya sudah, kamu istirahat ya. Jangan mikir yang aneh-aneh. Tunggu saja berita dari suamimu nanti. Insya Allah Radit orang baik. Dia pasti bisa mengatasi masalah kalian." Lia menenangkanku.
Aku meng-iyakan nasehat Lia, lalu komunikasi kami akhiri. Setelah berbicara dengan Lia, aku mengeluarkan emosiku lagi dengan menangis.
Tak lama, ada suara mobil yang datang. Ternyata mobil Mas Radit sudah terparkir di depan rumah. Aku menyeka air mata ini, lalu bersiap bertemu dengannya.
Saat aku akan membuka pintu, ku lihat Mas Radit sedang berjalan bersama Seli untuk masuk ke rumah kami.
Apa yang harus kulakukan?
Bersambung
Mas Radit dan Seli berjalan menuju pintu. Aku menghela napasku terlebih dahulu agar merasa tenang. Ku seka sisa-sisa air mata ini agar tak terlihat aku habis menangis."Assalamualaikum, Dek!" Suamiku memanggil dari luar."Waalaikumsalam, iya Mas. Sebentar!" sahutku.Terlihat wajahnya yang redup, kurasa Mas Radit sedang capek.Ku pasang ekspresi sebiasa mungkin menghadapi mereka. Mas Radit menatap wajahku, kami saling berpandangan sesaat. Aku langsung tersadar, lalu mengambil tangannya untuk kusalami."Eh, kok Mas ke sini dengan Seli?""Sebentar, Dek. Biarkan Seli duduk dulu, ya. Kamu sekarang siapkan minum dan makanan buat Seli. Kasian dia sudah perjalanan jauh," kata Mas Radit.Aku menghela napas kembali. Dada ini rasanya gemetar, Mas Radit masih belum menjelaskan semua. Aku diminta memberinya makanan?Aku bergeming di tempatku."Dek, kamu kenapa? Tolong buatkan minum dulu. Aku juga capek," katanya lagi."B
Aku kembali ke kamar. Mas Radit ternyata sudah tertidur. Aku pandangi wajahnya yang biasa kujahili kalau dia tidur. Tapi sekarang, rasanya tak mood untuk melakukannya.Kutinggalkan saja dia sendiri di kamar, biar ku tidur di sofa saja. Di satu sisi aku kasihan padanya, di sisi lain rasanya ingin marah saja kalau berada di sebelahnya.Aku juga harus siap dengan pernyataan suamiku nanti dan mengambil keputusan apakah tetap di sisinya atau akan pergi meninggalkannya.***Aku terbangun karena merasakan sentuhan di kedua pipiku. Ternyata Mas Radit sudah bangun dan baikan."Eh, Mas. Udah sehat?" tanyaku."Alhamdulillah udah baikan. Kamu kenapa tidur di sini?" tanyanya."Oh ... Mungkin ketiduran setelah menerima telepon, Mas."Mas Radit mengambil kedua tanganku agar aku segera bangun. Aku menyambut tangannya, lalu bangkit dari sofa."Terima kasih, Mas," kataku tanpa senyuman."Kok kamu masih cemberut? Mas lihat dar
"Kania ... kamu nggak apa-apa kan?"Ketika ku buka pintu, Lia langsung menanyaiku."Ya Allah, Lia sepupuku yang baik hati. Sepagi ini kamu dah sampai Bogor. Aku nggak apa-apa, Lia! Hanya hatiku yang sakit. Ayo masuk!" ajakku pada Lia.Aku dan Lia duduk di ruang tamu, kami berdampingan.Iya. Aku beli ini makanan kesukaanmu. Sengaja beli, biar kamu ngemil. Kayanya kamu bakal nggak napsu makan," ujarnya sok tau."Iya, Lia. Makasih ya. Aku masih mau makan kok, Li. Hanya aku bingung ke depan seperti apa."Coba kamu ceritakan bagaimana Radit membawa Seli ke sini?""Sebentar, aku mau kasih kamu minum. Kamu pasti capek!"Nggak usah, aku ambil aja nanti ke belakang. Lagian ini ada air mineral gelas, aku minum ini aja!" katanya setelah melihat minuman itu di meja.Aku pun setuju, lalu mulai bercerita."Iya, kemarin Mas Radit membawa Seli ke rumah. Tapi mereka pergi lagi, Mas Radit mencarikan Seli kontrakan
Mas Radit tak pulang pagi-pagi. Mungkin dia langsung ke toko. Baiklah Mas, tak apa-apa, aku sangat tau kesibukanmu.Aku mencoba mengafirmasi kalimat-kalimat positif. Kalimat-kalimat itu kutulis di kertas, lalu kutempel di cermin. Saat memandang cermin di depanku, aku membaca semuanya dan mengafirmasi kalimat-kalimat itu."Kamu harus kuat, Kania!""Kamu berharga!""You are amazing!"Itulah kalimat-kalimat yang kutuliskan di cermin. Semoga menjadikan diri ini lebih baik dan lebih bisa menyingkirkan hal negatif.Saat sedang sibuk mengafirmasi diri, tiba-tiba gawaiku berbunyi."Halo Kania, Sayang. Maaf, Mas belum bisa pulang. Mas sudah di toko sekarang. Insya Allah nanti pulang lebih cepat, karena toko lainnya tak perlu Mas kunjungi hari ini," katanya penuh semangat."Iya, Mas.""Kamu tunggu ya, Sayang. Mas kangen deh sama kamu. Sehari nggak ketemu rasanya seperti setahun. Tunggu Mas di rumah ya, Sayang!""Iya, Mas."
Aku menghela napas kasar. Pernyataan suamiku membuatku terpancing."Mas, aku juga butuh kamu. Walau segala kebutuhan sudah kau penuhi, tapi aku merasa kosong jika kamu lebih mementingkan Seli daripada aku, Mas! Aku terluka," kataku jujur."Kania ... Selama ini ku lihat kamu wanita yang kuat, Kania. Berbeda dengan Seli yang mudah rapuh. Jadi maafkan atas kesalahanku. Mudah-mudahan aku bisa adil dengan kalian berdua. Kamu masih mencintaiku, kan Sayang?"Aku diam, walau masih cinta, untuk saat ini aku tak mau menjawab pertanyaannya. Harusnya Mas Radit tau dengan sikap seperti ini, berarti aku memang mencintainya.Mas Radit mengulang pertanyaannya, "Apakah kamu masih mencintaiku, Dek? Jawab Kania, aku menunggu jawabanmu sekarang.""Aku masih mencintaimu Mas, tapi sejak Selly ada, aku merasa kamu sudah berubah, tidak seperti dulu lagi," jelasku."Sayang, aku tak mau kehilanganmu. Aku janji, kalau hal kemarin tak membuatmu bahagia, aku
Bab 7POV RaditSeli muntah lagi, semalam dia juga muntah. Tapi memang saat ku mengerik punggungnya, warnanya menjadi merah. Berarti dia memang masuk angin, karena memang perjalanan Bandung-Bogor memang melelahkan."Dia masuk angin, Dek. Mas tau karena semalam dia juga muntah," kataku.Tak lama Seli datang, dia menyambung pernyataanku."Iya, Mas Radit mengerik punggungku. Lihat saja sendiri hasilnya, Kania." Seli memperlihatkan punggungnya pada Kania. Aku tak sempat melarangnya, takutnya Kania cemburu lagi.Kania melihatku dengan sorot matanya yang tajam, matanya membulat. Tapi ia tak mau mengatakan apapun saat ini. "Seli, katanya kamu sudah masak. Mana masakanmu? Kita makan bareng saja," ucapku."A, kok panggilnya nama? Katanya mau panggil Neng," timpal Seli padaku.'Duh, Seli kenapa sih. Banyak tingkah saat ada Kania,' batinku."Eh, iya. Aku lupa soalnya udah terbiasa panggil nama, jadi aku butuh adaptasi," ucapku sambil membawanya ke belakang.Di dapur aku menegurnya agar tak bany
Bab 8Tapi saat ini Angga menyuruh Seli kembali padaku saat aku sudah punya Kania. Aku tak punya waktu untuk menghubungi istriku, bicara padanya. Semua begitu cepat, hingga akhirnya aku lupa harus menghubunginya.Akad nikahpun terjadi, Angga senang dan tersenyum puas. Ia menyalamiku dengan perban, infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya."Kalian segera melaksanakan resepsi. Aku tidak apa-apa," katanya.Seli yang masih menangisi Angga harus kembali ke gedung pernikahan untuk melakukan resepsi bersamaku.Aku menghibur wanita itu. Wanita yang pernah mengisi hariku dulu, hatiku merasa sakit saat melihatnya terluka seperti ini. Dulu kulepaskan ia, walau hati ini sakit, yang terpenting kebahagiaannya."Sabar, Seli. Sehabis resepsi, kita kembali ke rumah sakit, ya!" Aku menghiburnya kembali.Ternyata takdir berkata lain, Angga harus pergi untuk selamanya setelah sejam kami tiba di gedung pernikahan.Beruntung resepsi hanya dua jam saja. Setelah itu, kami ikut menyemayamkan jenazah Angga
Bab 8"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah."Beneran kamu nggak mau makan di sini?" "Iya lagian bajumu basah.""Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar. "Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku."Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini.""Iya, kan aku tau seleramu, Dek."Aku langsung memesan masakan Sund
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
Aku mengekor langkah Bang Haris dengan tangan yang saling bergandengan. Ketika tiba di rumahnya, aku terkejut rumahnya lumayan rapi untuk ukuran jomblo seorang dokter."Kanda, aku suka di sini. Lebih adem dari rumahku.""Ya udah, kita tinggal di sini aja kalau gitu. Rumahmu dikontrakkan saja." "Boleh. Bisa jadi," kataku sembari melihat-lihat ke beberapa ruangan.Kemudian Bang Haris mengajakku ke kamarnya. Ternyata di sana rapi juga. Ranjang dengan seprey berwarna biru motif polkadot, dinding kamar berwarna abu-abu muda."Dinda, aku mencintaimu," katanya sembari menatapku penuh cinta."Sama, Kanda. Aku juga cinta padamu," balasku."Dinda, kamu ke sini, Sayang." Bang Haris menarikku ke ranjangnya."Gimana ranjangnya? Kamu suka di sini atau di rumahmu?""Di sini aja, Kanda. Aku suka.""Makasih ya, Sayang."Lalu Bang Haris mengecupku lembut, kami pun merengkuh manisnya cinta bersama."Dinda, terima kasih atas pelayananmu. Kanda sangat beruntung menjadikanmu sebagai istriku.""Sama-sama,
Hari ini kami kembali ke Bogor, kota tercinta yang menjadi kediamanku dan Bang Haris selama ini. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Begitu berbunga-bunga saat berada di samping Bang Haris--suamiku saat ini.Bang Haris mengendarai mobilku, mobilnya Bang Haris ada di Bandung. Jadi mungkin nanti adiknya yang mengantar ke rumah.Belum ada kepastian kami akan tinggal di mana. Rumah kami yang bersebelahan, bisa saja nanti dikontrakkan atau mungkin dijual. Eh tapi sayang kalau harus dijual."Dinda, ada hadiah dari kanda yang mau kanda kasih liat sama Dinda," kata suamiku. Duh, hadiah apa ya kira-kira? Cukup penasaran dengan apa yang dikatakannya."Ya udah kapan mau dikasih lihat sama aku?" tanyaku."Secepatnya. Kita pulang dulu ke rumah, nanti Dinda ikut Kanda ya!" katanya. "Baik, Kanda. Pasti nanti aku ikut dirimu, Kanda!" Aku menoleh pada suamiku yang sedang fokus menyetir.Bang Haris melirikku sebentar, lalu fokus lagi ke depan. Wajah gantengnya kupandangi dari samping. Masya Allah, aku
Tak lama Bang Haris datang. Tapi bersama Kyra. Aku jadi senang, kami mengasuh bersama di dalam kamar.Kami mengobrol hal-hal yang ringan, yang bisa membuat kami sesekali tertawa. Atau bahkan membuat kami menitikan air mata."Kanda, aku mau berterimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku benar-benar terbantu dengan semua hal yang kau berikan.""Dinda, aku ikhlas menolongmu. Tak ada maksud apa-apa. Aku memang mencintaimu saat itu. Tapi ku berpikir, jikapun kamu jodohku, kita pasti kan bersama.""So sweet banget, Kanda. Aku jadi malu jadinya.""Nggak usah malu, Dinda. Aku sekarang suamimu loh! Bisakah kamu mendekat padaku?" Bang Haris melirik pada Kyra yang tertidur."Ehm ... Kanda, sebentar lagi magrib, lalu Isya, dan nantinya subuh."Bang Haris terkekeh. "Dinda pinter ngeles deh. Mau magrib atau apapun itu, jika sudah terjadi, maka terjadilah. Hehe ... Becanda aku, Dinda! Yuk bersiap salat subuh dulu!""Hayuk, Bang!"Kami sudah mandi tadi sebelum ashar, saat menjelang magrib, kami hany
"Kania ... Ayo sini, calon pengantin harus meng-Aminkan doa-doa ibu Ustadzah." Salah seorang tanteku berkomentar. Aku mengangguk tanda setuju padanya."Iya, benar. Kania diam di sini, jangan kemana-mana," sahut sepupuku."Insya Allah besok lancar ya, Kania. Kami berdoa untuk kalian nanti," timpal sepupuku yang lain.Alhamdulillah mereka semua mendukungku. Tak ada yang nyinyir dengan statusku. Mungkin semua karena kebaikan mamaku juga, ia benar-benar baik pada Tante dan para sepupuku."Terima kasih semua, aku sangat terharu dengan semua. Semoga Tante, kakak dan adik juga dilancarkan urusannya," timpalku pada mereka.Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sehingga aku bisa selalu berpikiran positif. Walau kadang terbersit rasa insecure kalau diri ini seorang janda yang akan menikahi lelaki ganteng plus mapan. Ah, kalau berpikir ke situ, rasanya tak sebanding.***"Kania, kamu cantik sekali. Walau kamu pernah juga seperti ini, aku menyukai riasanmu saat ini," kata Mama. Mama terus saja
"Kamu bisa mengunjungi Kyra kapanpun, Mas. Aku tak akan menghalanginya. Tapi aku tak mungkin kembali padamu. Maaf ya, Mas Radit. Aku doakan semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.""Mas Radit beranjak dari duduknya. Lalu berjalan ke arah Bibik, ia menggendong Kyra. Aku melihat kerinduan dari pancaran matanya.'Maaf, Mas. Aku benar-benar tak bisa bersamamu.' gumamku."Kyra baik-baik sama Mama. Nanti kalau udah besar jagain Mama ya!" Mas Radit berbicara dengan Kyra."Mas, aku harus segera berangkat sekarang." Ku lihat jam tanganku, sudah hampir setengah jam Mas Radit di sini."Baik, maaf ya Kania. Aku jadi mengganggu waktumu.""Iya, Mas. Nggak apa-apa.""Maaf juga aku tak bisa berangkat ke sana. Aku doakan dari sini, ya. Semoga kamu bahagia dengan Haris.""Aamiin, insya Allah. Terima kasih doanya."Kami sama-sama menuju depan rumah. Mas Radit pamit pulang. Ia menggunakan ojeg, karena mobilnya sudah dijual. Bik Susi mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku. Kunci dibe
Bang Haris mengatakan kalau Seli dan laki-laki yang memasang bom jadi buronan polisi. Bisa-bisanya mereka merencanakan hal yang buruk padaku."Kamu hati-hati kalau dijalan. Apa perlu aku yang antar jemput kamu?" tanya Bang Haris khawatir. Aku bisa merasakan kekhawatirannya."Nggak usah, Bang. Lagian pasienmu nanti pada nunggu, Bang," sahutku. Kasihan dia kalau terlalu memikirkanku."Baiklah, hati-hati kalau mau ke kantor. Oya, besok kan kamu harus ke Purwakarta. Kalau aku Insya Allah ke Bandung lusa," terang Bang Haris. "Aku juga tak tinggal diam, aku mencari info juga tentang Seli dan orang suruhannya." "Iya, Bang. Semoga bisa segera di tangkap. Sekarang aku sadar, tidak semua orang menanggapi atas keinginan kita untuk berhubungan baik dengannya," sahutku."Iya, Kania. Untuk saat ini tak perlu lagi kamu berhubungan lagi dengan seorang Seli," ucap Bang Haris."Iya, Bang. Terima kasih, ya!" jawabku.Bang Haris berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan aku sebentar lagi akan ke toko, kar
Mereka langsung menatapku. Salah satu dari mereka mendekat."Maaf, Bu. Jangan laporkan kami. Kami tak akan mengulanginya lagi," katanya.Aku berdehem. "Yang lainnya bagaimana?"Mereka saling berpandangan, lalu mendekat ke arahku agar jangan membocorkan ini."Baiklah, saya terima semua janji kalian. Tapi ingat, tak baik membicarakan seseorang seperti itu.""Baik, Bu," kata mereka serempak."Ya sudah silahkan bekerja kembali!" Aku kembali duduk menunggu obat. Pasien lain yang ada di sekitar memperhatikan ke arahku. Peduli amat sama mereka, toh aku peduli dengan rumah sakit ini, agar tenaga kerja di sini tak sembarangan bergosip. "Aku tak menyangka kamu bisa setegas itu?" Suara Bang Haris mengagetkanku."Eh, Bang. Maaf ya aku bikin gaduh di sini."Kemudian dia duduk di sampingku."Enggak kok kamu hebat, Kania. Maaf ya kalau kamu jadi bahan gunjingan jadinya," katanya dengan suara yang pelan."E-eng-enggak, kok. Aku cuma nggak mau aja kamu menjadi bahan olok-olok mereka. Mereka pantas