Bab 7
POV Radit
Seli muntah lagi, semalam dia juga muntah. Tapi memang saat ku mengerik punggungnya, warnanya menjadi merah. Berarti dia memang masuk angin, karena memang perjalanan Bandung-Bogor memang melelahkan.
"Dia masuk angin, Dek. Mas tau karena semalam dia juga muntah," kataku.
Tak lama Seli datang, dia menyambung pernyataanku.
"Iya, Mas Radit mengerik punggungku. Lihat saja sendiri hasilnya, Kania." Seli memperlihatkan punggungnya pada Kania. Aku tak sempat melarangnya, takutnya Kania cemburu lagi.
Kania melihatku dengan sorot matanya yang tajam, matanya membulat. Tapi ia tak mau mengatakan apapun saat ini.
"Seli, katanya kamu sudah masak. Mana masakanmu? Kita makan bareng saja," ucapku.
"A, kok panggilnya nama? Katanya mau panggil Neng," timpal Seli padaku.
'Duh, Seli kenapa sih. Banyak tingkah saat ada Kania,' batinku.
"Eh, iya. Aku lupa soalnya udah terbiasa panggil nama, jadi aku butuh adaptasi," ucapku sambil membawanya ke belakang.
Di dapur aku menegurnya agar tak banyak tingkah di depan Kania.
"Kasian Kania sedang hamil, dia jangan dibebankan pikiran yang aneh-aneh!" Aku menasehati istri keduaku ini.
"Iya, Aa. Maaf."
"Ya sudah. Sini aku bantu, apa yang mesti ku bawa?" Aku menawarkan bantuan padanya.
"Sudah siap semua di meja makan," katanya.
"Oke. Oya sini kamu, Neng. Galonnya kamu buka dulu, lalu angkat saja langsung." Aku membimbingnya memasang galon, tapi belum kuangkat galon itu. Biar Seli yang mencoba mengangkatnya.
"Aku yang angkat?"
"Iya," jawabku.
Seli mengangkatnya, tapi dia kehilangan keseimbangan. Akhirnya dia terjatuh, menindihku yang ada di depannya. Airnya tumpah, ruangan menjadi becek. Kami basah semua.
Saat posisi aku seolah bermesraan dengan Seli, Kania datang. Ia langsung menjerit dan meninggalkan dapur. Ia lari, aku mengejarnya.
"Kania, tunggu! Kamu salah paham. Tunggu aku, jangan lari, kasian bayi kita," cegahku melihatnya berlari lumayan kencang.
Aku dapat menangkapnya. Matanya sudah basah, aku menghapus air mata istriku.
"Maaf, Sayang. Kamu salah pengertian. Tadi saat kuajarkan Seli pasang galon, ia kehilangan keseimbangan saat mengangkatnya. Lalu menubrukku, Kania."
"Aku nggak apa-apa, Mas. Aku mau pulang saja, takutnya aku mengganggu kalian," ucapnya.
Aku tetap memberi pengertian pada Kania, jangan terlalu membawa perasaan.
"Sayang, kamu nggak usah baper, ya! Itu hanya kecelakaan. Lihat saja di dapur, pasti becek semua. Seli pasti sedang mengepelnya." Aku meyakinkan Kania untuk kembali ke kontrakan Seli.
"Iya, Mas. Aku mengerti." Akhirnya Kania mau ikut denganku kembali.
Benar saja Seli sedang membersihkan air yang menggenang. Tapi perutnya kesakitan.
"Kamu sih nggak hati-hati, Neng! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku.
"Nggak, A. Cuma sakit aja perutnya," kata Seli. "Kania, kamu kalau sudah laper, makan duluan aja!" Seli menyarankan pada Kania.
"Nggak ah, aku nunggu kamu aja," jawab Kania.
Aku menoleh pada Istriku yang memang sudah mengajakku makan sejak perjalanan ke sini.
"Dek, kita makan duluan saja. Biar Seli beres-beres dulu," ajakku pada Kania yang sepertinya ia menahan rasa laparnya. Aku tau kalau wanita berbadan dua pasti lebih cepat lapar.
"Iyaa, nggak apa-apa kalian duluan saja."
Sebenarnya kasihan juga Seli harus membersihkan sendiri. Aku tak tega juga melihatnya, tapi ada Kania, aku takut perhatianku jadi melukainya nanti. Biarlah Seli sibuk sendiri, nanti aku kan minta maaf padanya.
***
"Radit, kamu harus menikahi Seli! Aku hanya percaya padamu. Hanya kamu yang bisa membahagiakannya," ucap Angga saat memintaku menikah dengan mantan kekasihku dulu.
Aku sudah tak ada perasaan dengan Seli. Saat ini hanya mencintai Kania. Tapi, saat itu sangat darurat, hingga akhirnya aku menyetujui usul sahabatku itu.
Walau Angga dan Seli sudah mengkhianatiku dulu, akhirnya aku melepaskan Seli untuk Angga dan tetap berhubungan baik dengan keduanya. Menurutku, cinta tak bisa dipaksakan. Jika Seli memang lebih mencintai Angga, kenapa tidak?
Bab 8Tapi saat ini Angga menyuruh Seli kembali padaku saat aku sudah punya Kania. Aku tak punya waktu untuk menghubungi istriku, bicara padanya. Semua begitu cepat, hingga akhirnya aku lupa harus menghubunginya.Akad nikahpun terjadi, Angga senang dan tersenyum puas. Ia menyalamiku dengan perban, infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya."Kalian segera melaksanakan resepsi. Aku tidak apa-apa," katanya.Seli yang masih menangisi Angga harus kembali ke gedung pernikahan untuk melakukan resepsi bersamaku.Aku menghibur wanita itu. Wanita yang pernah mengisi hariku dulu, hatiku merasa sakit saat melihatnya terluka seperti ini. Dulu kulepaskan ia, walau hati ini sakit, yang terpenting kebahagiaannya."Sabar, Seli. Sehabis resepsi, kita kembali ke rumah sakit, ya!" Aku menghiburnya kembali.Ternyata takdir berkata lain, Angga harus pergi untuk selamanya setelah sejam kami tiba di gedung pernikahan.Beruntung resepsi hanya dua jam saja. Setelah itu, kami ikut menyemayamkan jenazah Angga
Bab 8"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah."Beneran kamu nggak mau makan di sini?" "Iya lagian bajumu basah.""Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar. "Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku."Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini.""Iya, kan aku tau seleramu, Dek."Aku langsung memesan masakan Sund
Bab 10Rencana nanti akan kucek perputaran modal di bagian keuangan.Saat bergumam sendiri, tiba-tiba ingat kalau sekarang sudah awal bulan."Mas, mana gajimu bulan ini?" Pagi-pagi di awal bulan aku sudah bertanya mengenai gaji bulanannya."Sebentar ku transfer, ya!" Katanya sambil duduk di sampingku.Dia mentransfer gaji yang didapatnya sebagai pimpinan toko. Lalu aku mengecek m-bankingku.Aku memicingkan mataku ketika melihat angka yang tertera di m-bankingku."Aku dapat segini, Mas?Jangan dikurangi banyak gini dong, Mas! Harusnya Mas cari saja tambahan lain buat nafkahin Seli, bukannya memotong jatahku." Aku kecewa dibuatnya."Maaf, Dek. Kan tau sendiri, kemarin sudah terpakai buat sewa rumah dan beli isi rumah. Aku pinjam sebagian ke toko, makanya sekarang tinggal sisanya." "Duh, Mas. Pokoknya bulan depan jatahku harus sama. Nggak boleh dikurangi. Kalau buat Seli, pakai saja jatahmu. Mulai sekarang aku akan memikirkan diriku dan anakku, Mas!""Kamu nggak memikirkanku?""Masih, ha
Aku kenal suara yang datang. Ternyata Ibu Mertua yang datang. Dia datang sendiri diantar sopir. Ibu mertuaku kaya, suka sombong, tapi pelit. Makanya Mas Radit selalu nampak sederhana. Tak pernah menggunakan uang darinya.Orang tua Seli pun dulu tak percaya kalau Radit anak orang kaya, karena penampilan dia selalu sederhana. Taunya Angga yang kaya, sehingga hubungan mereka tak direstui."Assalamualaikum. Radit, Kania. Aku datang ini." Ibu Mertua selalu terlihat rempong."Iya, Bu. Sebentar." Radit membukakan pintu untuknya."Owalah kamu, Nak. Lama sekali bukanya. Mana Kania menantu Ibu yang cantik dan baik hati?" "Ini, Bu. Ibu gimana kabarnya, sehat?""Alhamdulillah sehat. Kamu gimana kehamilanmu?""Alhamdulillah sehat juga, Bu."Terlihat ibu sejak datang tak menyapa Mas Radit. Dia malah mencariku. Entah apa yang dipikirannya.Bu Rani, nama Ibunya Mas Radit. Sekarang Ibu duduk di sebelahku. Dia mengelus kandunganku. "Duh, ibu sudah nggak sabar nunggu kelahiran bayi ini. Mudah-mudahan
"Kamu sakit kepala gara-gara Ibuku kan?"Aku mengangguk. Mas Radit memelukku. "Maaf ya, Sayang. Ibuku memang gitu selalu saklek. Nanti kucoba komunikasikan lagi padanya.""Baik, Mas." Aku menyetujuinya."Sekalian Mas mau bilang pada Ibu kalau Mas sudah menikah lagi. Takutnya Ibu tau dari orang, nanti malah marah padaku.""Ya udah, Mas. Gimana baiknya saja." Aku setuju.Kuberharap Ibu Mertua menolak pernikahan kedua suamiku.***Malam ini, kami sedang bercengkrama di ruang TV. Mas Radit akan memulai percakapan serius dengan Ibunya."Bu, maaf Radit mau jujur sama Ibu.""Ada apa, Nak?""Radit sudah menikah lagi, Bu."Ibu yang terlihat sudah mengantuk, tiba-tiba matanya terbuka lebar kembali. Ia memandang anaknya dengan tatapan tak percaya."Kenapa bisa seperti itu? Ibu nggak setuju! Dimana muka ibu simpan nanti kalau orang-orang tau anak Ibu poligami?"Radit menelan salivanya. Ia gugup untuk melanjutkan bicaranya, tapi ia mengumpulkan semua kekuatannya."Bu, poligami yang Radit lakukan
Siang ini, Ibu Mertua mengajakku ke rumah Seli. Lalu aku mengantarnya ke sana. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam, walau sama-sama Bogor, tapi perjalanan dari Kota ke Kabupaten cukup jauh.Di sini, Bu rumahnya. Yang cat warna kuning itu." Aku menunjuk salah satu rumah tak jauh dari kami. "Eh, udah ada mobil Mas Radit. Kok jam segini sudah pulang aja dari toko?" Aku melihat jam yang masih menunjukkan pukul dua siang."Keterlaluan ya Radit! Memangnya tokonya dekat dari sini, Kania?"Iyaa, dekat. Mungkin Mas Radit langsung ke sini.""Yuk, kita turun!" ajak Ibu.Ibu Mertua membukakan pintu mobilku untuk segera turun. Sebenarnya aku tak mau berurusan dengan Seli, apalagi ada Mas Radit di sana, mereka pasti sedang bermesraan. Tapi berhubung Ibu memaksaku, aku ikut mengetuk rumahnya."Assalamualaikum." Kami mengucapkan salam di depan, tak ada jawaban."Sepertinya di dalam, suamimu sedang bercanda dengan perempuan itu," sahut Ibu sambil memasang kuping di tembok rumah Seli.Kami pun mencoba
"Mas, kamu tega menceritakan semua pada Seli. Apa maksudmu menceritakannya pada dia? Kamu puas, Mas?" Aku bicara pada Mas Radit yang memperlihatkan wajah marahnya.Aku melihat ke arah ibu."Bu, Kania tak bermaksud membohongi Ibu. Ini semua rencana Mas Radit. Kemarin saat ibu bertanya, Kania sudah mau menjawab jujur kalau hasil USG anak kami perempuan. Tapi, Mas Radit yang meyakinkan Ibu kalau anak kami laki-laki. Maafkan Kania, ya, Bu!"Ibu masih diam mematung. Aku menghampirinya, lalu berjongkok di hadapan Ibu. Ibu tetap bergeming."Jika memang Ibu tak mau menerima anakku sebagai cucu, maka mulai saat ini aku akan mengajukan cerai padamu, Mas! Bolehkah?"Mas Radit mengambil kedua tanganku untuk berdiri. Aku tak mau, tetap berjongkok, meminta maaf pada Ibu agar Ia memaafkanku.Kemudian posisi kami sejajar, ia menatapku dalam. Aku pun demikian."Tidak, aku takkan pernah menceraikanmu!"Aku tak terima, aku pun berlari ke luar. Mas Radit belum bisa mengejarku. Ia harus berpakaian dulu. S
"Bang Haris." Aku memanggilnya. "Iya, Kania. Ini aku. Selamat ya, anakmu cantik. Aku sudah lihat tadi di ruang bayi. Ini kubawakan buah-buahan untukmu biar cepat sehat." Bang Haris menyimpan buah-buahannya di atas nakas."Terima kasih, Bang. Nggak usah repot-repot.""Aku bersalah padamu. Maaf aku tak lihat-lihat saat itu." Bang Haris menarik kursi untuk ia duduki di samping ranjang."Iya, Bang. Nggak apa-apa. Sudah semestinya terjadi." Kukatakan apa yang ada dalam pikiranku saat ini.Bang Haris seperti mencari sesuatu. Matanya menyapu ke semua sudut ruangan."Kenapa, Bang?" Aku bertanya karena penasaran dengan sikapnya. Ia mencari apa kira-kira?"Suamimu mana, Kania?" tanyanya. Ternyata ia mencari Mas Radit. Mungkin ia kasihan padaku saat ini."Nggak tau, Bang. Mungkin sedang keluar," jawabku."Kamu sedih? Harusnya senang karena mendapat seorang putri yang cantik." Bang Haris berceloteh.Aku mengulas senyum. Tak mungkin kuceritakan kalau aku tak bahagia. Bisa-bisa orang tuaku tau dar
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
Aku mengekor langkah Bang Haris dengan tangan yang saling bergandengan. Ketika tiba di rumahnya, aku terkejut rumahnya lumayan rapi untuk ukuran jomblo seorang dokter."Kanda, aku suka di sini. Lebih adem dari rumahku.""Ya udah, kita tinggal di sini aja kalau gitu. Rumahmu dikontrakkan saja." "Boleh. Bisa jadi," kataku sembari melihat-lihat ke beberapa ruangan.Kemudian Bang Haris mengajakku ke kamarnya. Ternyata di sana rapi juga. Ranjang dengan seprey berwarna biru motif polkadot, dinding kamar berwarna abu-abu muda."Dinda, aku mencintaimu," katanya sembari menatapku penuh cinta."Sama, Kanda. Aku juga cinta padamu," balasku."Dinda, kamu ke sini, Sayang." Bang Haris menarikku ke ranjangnya."Gimana ranjangnya? Kamu suka di sini atau di rumahmu?""Di sini aja, Kanda. Aku suka.""Makasih ya, Sayang."Lalu Bang Haris mengecupku lembut, kami pun merengkuh manisnya cinta bersama."Dinda, terima kasih atas pelayananmu. Kanda sangat beruntung menjadikanmu sebagai istriku.""Sama-sama,
Hari ini kami kembali ke Bogor, kota tercinta yang menjadi kediamanku dan Bang Haris selama ini. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Begitu berbunga-bunga saat berada di samping Bang Haris--suamiku saat ini.Bang Haris mengendarai mobilku, mobilnya Bang Haris ada di Bandung. Jadi mungkin nanti adiknya yang mengantar ke rumah.Belum ada kepastian kami akan tinggal di mana. Rumah kami yang bersebelahan, bisa saja nanti dikontrakkan atau mungkin dijual. Eh tapi sayang kalau harus dijual."Dinda, ada hadiah dari kanda yang mau kanda kasih liat sama Dinda," kata suamiku. Duh, hadiah apa ya kira-kira? Cukup penasaran dengan apa yang dikatakannya."Ya udah kapan mau dikasih lihat sama aku?" tanyaku."Secepatnya. Kita pulang dulu ke rumah, nanti Dinda ikut Kanda ya!" katanya. "Baik, Kanda. Pasti nanti aku ikut dirimu, Kanda!" Aku menoleh pada suamiku yang sedang fokus menyetir.Bang Haris melirikku sebentar, lalu fokus lagi ke depan. Wajah gantengnya kupandangi dari samping. Masya Allah, aku
Tak lama Bang Haris datang. Tapi bersama Kyra. Aku jadi senang, kami mengasuh bersama di dalam kamar.Kami mengobrol hal-hal yang ringan, yang bisa membuat kami sesekali tertawa. Atau bahkan membuat kami menitikan air mata."Kanda, aku mau berterimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku benar-benar terbantu dengan semua hal yang kau berikan.""Dinda, aku ikhlas menolongmu. Tak ada maksud apa-apa. Aku memang mencintaimu saat itu. Tapi ku berpikir, jikapun kamu jodohku, kita pasti kan bersama.""So sweet banget, Kanda. Aku jadi malu jadinya.""Nggak usah malu, Dinda. Aku sekarang suamimu loh! Bisakah kamu mendekat padaku?" Bang Haris melirik pada Kyra yang tertidur."Ehm ... Kanda, sebentar lagi magrib, lalu Isya, dan nantinya subuh."Bang Haris terkekeh. "Dinda pinter ngeles deh. Mau magrib atau apapun itu, jika sudah terjadi, maka terjadilah. Hehe ... Becanda aku, Dinda! Yuk bersiap salat subuh dulu!""Hayuk, Bang!"Kami sudah mandi tadi sebelum ashar, saat menjelang magrib, kami hany
"Kania ... Ayo sini, calon pengantin harus meng-Aminkan doa-doa ibu Ustadzah." Salah seorang tanteku berkomentar. Aku mengangguk tanda setuju padanya."Iya, benar. Kania diam di sini, jangan kemana-mana," sahut sepupuku."Insya Allah besok lancar ya, Kania. Kami berdoa untuk kalian nanti," timpal sepupuku yang lain.Alhamdulillah mereka semua mendukungku. Tak ada yang nyinyir dengan statusku. Mungkin semua karena kebaikan mamaku juga, ia benar-benar baik pada Tante dan para sepupuku."Terima kasih semua, aku sangat terharu dengan semua. Semoga Tante, kakak dan adik juga dilancarkan urusannya," timpalku pada mereka.Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sehingga aku bisa selalu berpikiran positif. Walau kadang terbersit rasa insecure kalau diri ini seorang janda yang akan menikahi lelaki ganteng plus mapan. Ah, kalau berpikir ke situ, rasanya tak sebanding.***"Kania, kamu cantik sekali. Walau kamu pernah juga seperti ini, aku menyukai riasanmu saat ini," kata Mama. Mama terus saja
"Kamu bisa mengunjungi Kyra kapanpun, Mas. Aku tak akan menghalanginya. Tapi aku tak mungkin kembali padamu. Maaf ya, Mas Radit. Aku doakan semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.""Mas Radit beranjak dari duduknya. Lalu berjalan ke arah Bibik, ia menggendong Kyra. Aku melihat kerinduan dari pancaran matanya.'Maaf, Mas. Aku benar-benar tak bisa bersamamu.' gumamku."Kyra baik-baik sama Mama. Nanti kalau udah besar jagain Mama ya!" Mas Radit berbicara dengan Kyra."Mas, aku harus segera berangkat sekarang." Ku lihat jam tanganku, sudah hampir setengah jam Mas Radit di sini."Baik, maaf ya Kania. Aku jadi mengganggu waktumu.""Iya, Mas. Nggak apa-apa.""Maaf juga aku tak bisa berangkat ke sana. Aku doakan dari sini, ya. Semoga kamu bahagia dengan Haris.""Aamiin, insya Allah. Terima kasih doanya."Kami sama-sama menuju depan rumah. Mas Radit pamit pulang. Ia menggunakan ojeg, karena mobilnya sudah dijual. Bik Susi mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku. Kunci dibe
Bang Haris mengatakan kalau Seli dan laki-laki yang memasang bom jadi buronan polisi. Bisa-bisanya mereka merencanakan hal yang buruk padaku."Kamu hati-hati kalau dijalan. Apa perlu aku yang antar jemput kamu?" tanya Bang Haris khawatir. Aku bisa merasakan kekhawatirannya."Nggak usah, Bang. Lagian pasienmu nanti pada nunggu, Bang," sahutku. Kasihan dia kalau terlalu memikirkanku."Baiklah, hati-hati kalau mau ke kantor. Oya, besok kan kamu harus ke Purwakarta. Kalau aku Insya Allah ke Bandung lusa," terang Bang Haris. "Aku juga tak tinggal diam, aku mencari info juga tentang Seli dan orang suruhannya." "Iya, Bang. Semoga bisa segera di tangkap. Sekarang aku sadar, tidak semua orang menanggapi atas keinginan kita untuk berhubungan baik dengannya," sahutku."Iya, Kania. Untuk saat ini tak perlu lagi kamu berhubungan lagi dengan seorang Seli," ucap Bang Haris."Iya, Bang. Terima kasih, ya!" jawabku.Bang Haris berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan aku sebentar lagi akan ke toko, kar
Mereka langsung menatapku. Salah satu dari mereka mendekat."Maaf, Bu. Jangan laporkan kami. Kami tak akan mengulanginya lagi," katanya.Aku berdehem. "Yang lainnya bagaimana?"Mereka saling berpandangan, lalu mendekat ke arahku agar jangan membocorkan ini."Baiklah, saya terima semua janji kalian. Tapi ingat, tak baik membicarakan seseorang seperti itu.""Baik, Bu," kata mereka serempak."Ya sudah silahkan bekerja kembali!" Aku kembali duduk menunggu obat. Pasien lain yang ada di sekitar memperhatikan ke arahku. Peduli amat sama mereka, toh aku peduli dengan rumah sakit ini, agar tenaga kerja di sini tak sembarangan bergosip. "Aku tak menyangka kamu bisa setegas itu?" Suara Bang Haris mengagetkanku."Eh, Bang. Maaf ya aku bikin gaduh di sini."Kemudian dia duduk di sampingku."Enggak kok kamu hebat, Kania. Maaf ya kalau kamu jadi bahan gunjingan jadinya," katanya dengan suara yang pelan."E-eng-enggak, kok. Aku cuma nggak mau aja kamu menjadi bahan olok-olok mereka. Mereka pantas