Aku menghela napas kasar. Pernyataan suamiku membuatku terpancing.
"Mas, aku juga butuh kamu. Walau segala kebutuhan sudah kau penuhi, tapi aku merasa kosong jika kamu lebih mementingkan Seli daripada aku, Mas! Aku terluka," kataku jujur.
"Kania ... Selama ini ku lihat kamu wanita yang kuat, Kania. Berbeda dengan Seli yang mudah rapuh. Jadi maafkan atas kesalahanku. Mudah-mudahan aku bisa adil dengan kalian berdua. Kamu masih mencintaiku, kan Sayang?"
Aku diam, walau masih cinta, untuk saat ini aku tak mau menjawab pertanyaannya. Harusnya Mas Radit tau dengan sikap seperti ini, berarti aku memang mencintainya.
Mas Radit mengulang pertanyaannya, "Apakah kamu masih mencintaiku, Dek? Jawab Kania, aku menunggu jawabanmu sekarang."
"Aku masih mencintaimu Mas, tapi sejak Selly ada, aku merasa kamu sudah berubah, tidak seperti dulu lagi," jelasku.
"Sayang, aku tak mau kehilanganmu. Aku janji, kalau hal kemarin tak membuatmu bahagia, aku kan memperbaikinya. Sekarang, kamu buka pintunya. Biar aku memelukmu. Aku takkan menyakitimu lagi, Dek!" Mas Radit terus membujukku.
"Baiklah, Mas. Aku buka pintunya. Tapi, kamu janji ya jangan seperti kemarin lagi, aku tak sanggup ditinggalkan olehmu, Mas!" Aku membuka pintu kamar, lalu berhambur memeluknya. Mas Radit memelukku erat.
"Mas janji takkan pernah meninggalkanmu, kecuali memang jadwal Mas di sana. Meski ada Seli, Mas tetap mencintaimu. Cinta ini tak berkurang, Dek. Kamu percaya, kan?" Mas Radit mengangkat daguku dengan kedua telapak tangannya.
Mata kami saling bertemu, terlihat kejujuran dari pancaran kedua matanya. Aku percaya itu.
Mas Radit mengec*pku lembut, lalu kami sama-sama merengkuh manisnya cinta. Mas Radit sangat manis memperlakukanku. Ya, dia memang orang yang lembut.
***
Seusai menunaikan ibadah bersama, kami saling bercerita dibalik selimut.
"Mas, semalam perutku mengalami kontraksi palsu. Tolonglah, Mas harus menjadi suami siaga saat aku hamil besar seperti ini." Kutumpahkan uneg-unegku saat dia tak di sisiku.
"Bagaimana ya, cara mensiasatinya menurutmu, Dek? Atau kita cari ART saja, kalau aku sedang di kontrakan Seli, takutnya kamu seperti semalam. Gimana menurutmu? Aku nggak mau kamu dan bayiku kenapa-napa," kata Mas Radit.
"Mmm ... Boleh Mas. Tapi, Mas. Untuk pembagian jadwal itu bagaimana? Mas sudah dua malam di sana, berarti Mas juga harus dua malam di sini. Atau justru aku yang harus lebih diperhatikan, Mas! Dalam seminggu, Mas di sini lima malam, di sana hanya dua malam. Gimana?" usulku sambil memegang kedua pipinya.
"Duh, istri Mas manja sekali. Kayaknya rindu sekali dengan Mas. Baiklah sayang, karena kamu sedang hamil besar, aku ikuti maumu. Lagian kalau ditotal sudah empat malam kita tak bersama. Aku sangat kangen padamu," katanya sambil kembali mendekatiku.
"Kenapa, Mas?"
"Lagi, yuk!"
Saat kami akan memulai, perutku kembali kesakitan.
"Mas, aku kontraksi palsu lagi sepertinya. Perutku tegang, Mas." Aku merasa kesakitan.
Kusenderkan badanku di ranjang, lalu mengatur napas sehingga lebih teratur. Mas Radit ke dapur, katanya mau mengambilkan air hangat untuk diminum.
Aku meminum air hangat tersebut. Mas Radit membawakan juga cemilan. Alhamdulillah semua mereda dan lebih lega.
"Makasih, Mas. Udah mendingan sekarang," kataku.
Mas Radit lalu mengelus perutku.
"Dedek Sayang, udah nggak sabar ya mau melihat Ayah dan Bunda? Sabar ya sayang, sekarang belum waktunya. Insya Allah nanti kita ketemu, ya!" Ternyata sang bayi merasakan sentuhan Ayahnya. Ia bergerak-gerak di dalam, menyundul tangan Mas Radit hingga dia merasa bahagia direspon bayi kami.
"Dek, dia gerak-gerak. Katanya iya." Mas Radit semringah.
"Iya, Mas. Dia selalu merespon apa yang kita katakan."
Mas Radit lalu mengingat sesuatu.
"Dek, hari ini kita USG ya, kan waktu bulan kemarin belum jelas laki-laki atau perempuan. Yuk kita ke dokter!" ajaknya.
"Iya, Mas. Aku buat jadwal dulu ya sama dokter. Mudah-mudahan dokter Farah praktek hari ini."
"Iya, Mas mandi duluan, ya!"
"Iya, Mas."
Aku tak tinggal diam, aku langsung ke dapur menyiapkan makan siang untuk kami. Hari ini hari Jumat, jadwal libur di toko. Jadi, kami akan kontrol nanti sekitar pukul satu siang.
***
"Sepertinya bayinya perempuan nanti, Bu, Pak. Tuh lihat di sini tak ada tanda kalau dia laki-laki," kata Dokter Farah yang sedang meng-USG.
"Masya Allah, Alhamdulillah. Terima kasih, Dok! ucapku. "Gimana, Mas?" Aku menoleh pada Mas Radit.
"Eh, oya perempuan ya? Iya ... Nggak apa-apa, yang penting sehat," kata Mas Radit.
"Iya, Dok. Kata suami saya yang penting sehat."
"Bu, kontrolnya seminggu sekali ya kalau menjelang persalinan seperti ini! Alhamdulillah posisi dedek sudah pas. Mudah-mudahan dia nggak muter lagi," ucap Dokter Farah.
"Iya, Dok. Terima kasih, ya!"
"Sama-sama, Bu. Jangan lupa diminum vitaminya agar HB-nya tinggi, karena HB ibu ketika tes tadi rendah." Dokter menasehatiku.
"Baik, Dok. Kami permisi dulu, ya!"
Saat menunggu obat, Mas Radit menerima telepon. Ia terlihat resah setelah menerimanya.
"Dek, habis ini kita ke kontrakan Seli dulu, ya. Dia katanya nggak bisa pasang gas dan galon. Biar aku ajarin dulu dia." Mas Radit akhirnya mengungkapkan keresahannya.
"Bukannya dari kemarin sudah Mas urusin?"
"Udah, Dek. Tapi sepertinya udah habis air galon dan gasnya," jawab Mas Radit.
Aku berpikir sejenak, lalu aku menganggukkan kepalaku. Ia tersenyum dan berterima kasih.
'Huh sampai segitunya Seli. Bisa-bisanya hubungi Mas Radit buat hal sepele seperti itu,' batinku.
Tak lama, namaku dipanggil. Obat sudah kudapatkan. Lalu kami pergi menuju kontrakan Seli.
Ketika dijalan, aku merasa perut ini keroncongan. Sudah laper lagi rasanya, padahal baru tadi siang diisi.
"Mas, cari tempat makan dulu, yuk!"
"Nanti saja makan di kontrakan Seli. Katanya dia habis masak."
"Gasnya habis gitu kok habis masak, Mas?"
"Iya, justru habisnya setelah dia selesai masak, katanya, Dek!"
Aku tak asing sekali ke daerah ini. Kontrakannya ternyata dekat dengan salah satu toko Mas Radit.
'Pantas saja, dia biar sekalian mampir ke sini,' batinku.
Kamipun tiba di kontrakan Seli. Mas Radit turun lebih dulu, aku masih mencari sandalku yang kulepaskan saat duduk tadi.
Kulihat Seli langsung berhambur memeluk Mas Radit. Mas Radit tak berlama-lama memeluknya, ia lepaskan. Lalu kembali ke mobil, untuk membuka pintu mobil untukku.
Seli terbelalak karena aku ikut dengan Mas Radit. Sepertinya suamiku tak bilang padanya kalau aku akan ikut. Lalu kugandeng tangan suamiku untuk masuk ke dalam kontrakan lumayan besar itu.
"Bagus juga kontrakan ini!" kataku. "Berapa setahun ini, Mas?"
"Dua puluh juta," jawabnya.
"Wow ... Mahal juga, ya!"
"Silahkan duduk, Kania, Aa Radit!" katanya.
"Kamu dipanggil Aa, Mas?" Aku tersenyum mendengar panggilan Seli.
"Iya, biar nggak sama," jawab suamiku.
"Okey." Aku mengangguk.
Kulihat barang-barang di rumah Seli bagus-bagus. Kursi, lemari, nakas, televisi, sampai penanak nasi menggunakan barang-barang berkualitas. Luar biasa Seli ini seleranya.
Saat Seli sedang bersama kami, tiba-tiba dia muntah-muntah ke belakang.
"Mas, kenapa Seli? Hamil? Kan baru nikah seminggu ini sama Mas?" tanyaku.
Mas Radit melebarkan matanya.
Bersambung
Bab 7POV RaditSeli muntah lagi, semalam dia juga muntah. Tapi memang saat ku mengerik punggungnya, warnanya menjadi merah. Berarti dia memang masuk angin, karena memang perjalanan Bandung-Bogor memang melelahkan."Dia masuk angin, Dek. Mas tau karena semalam dia juga muntah," kataku.Tak lama Seli datang, dia menyambung pernyataanku."Iya, Mas Radit mengerik punggungku. Lihat saja sendiri hasilnya, Kania." Seli memperlihatkan punggungnya pada Kania. Aku tak sempat melarangnya, takutnya Kania cemburu lagi.Kania melihatku dengan sorot matanya yang tajam, matanya membulat. Tapi ia tak mau mengatakan apapun saat ini. "Seli, katanya kamu sudah masak. Mana masakanmu? Kita makan bareng saja," ucapku."A, kok panggilnya nama? Katanya mau panggil Neng," timpal Seli padaku.'Duh, Seli kenapa sih. Banyak tingkah saat ada Kania,' batinku."Eh, iya. Aku lupa soalnya udah terbiasa panggil nama, jadi aku butuh adaptasi," ucapku sambil membawanya ke belakang.Di dapur aku menegurnya agar tak bany
Bab 8Tapi saat ini Angga menyuruh Seli kembali padaku saat aku sudah punya Kania. Aku tak punya waktu untuk menghubungi istriku, bicara padanya. Semua begitu cepat, hingga akhirnya aku lupa harus menghubunginya.Akad nikahpun terjadi, Angga senang dan tersenyum puas. Ia menyalamiku dengan perban, infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya."Kalian segera melaksanakan resepsi. Aku tidak apa-apa," katanya.Seli yang masih menangisi Angga harus kembali ke gedung pernikahan untuk melakukan resepsi bersamaku.Aku menghibur wanita itu. Wanita yang pernah mengisi hariku dulu, hatiku merasa sakit saat melihatnya terluka seperti ini. Dulu kulepaskan ia, walau hati ini sakit, yang terpenting kebahagiaannya."Sabar, Seli. Sehabis resepsi, kita kembali ke rumah sakit, ya!" Aku menghiburnya kembali.Ternyata takdir berkata lain, Angga harus pergi untuk selamanya setelah sejam kami tiba di gedung pernikahan.Beruntung resepsi hanya dua jam saja. Setelah itu, kami ikut menyemayamkan jenazah Angga
Bab 8"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah."Beneran kamu nggak mau makan di sini?" "Iya lagian bajumu basah.""Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar. "Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku."Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini.""Iya, kan aku tau seleramu, Dek."Aku langsung memesan masakan Sund
Bab 10Rencana nanti akan kucek perputaran modal di bagian keuangan.Saat bergumam sendiri, tiba-tiba ingat kalau sekarang sudah awal bulan."Mas, mana gajimu bulan ini?" Pagi-pagi di awal bulan aku sudah bertanya mengenai gaji bulanannya."Sebentar ku transfer, ya!" Katanya sambil duduk di sampingku.Dia mentransfer gaji yang didapatnya sebagai pimpinan toko. Lalu aku mengecek m-bankingku.Aku memicingkan mataku ketika melihat angka yang tertera di m-bankingku."Aku dapat segini, Mas?Jangan dikurangi banyak gini dong, Mas! Harusnya Mas cari saja tambahan lain buat nafkahin Seli, bukannya memotong jatahku." Aku kecewa dibuatnya."Maaf, Dek. Kan tau sendiri, kemarin sudah terpakai buat sewa rumah dan beli isi rumah. Aku pinjam sebagian ke toko, makanya sekarang tinggal sisanya." "Duh, Mas. Pokoknya bulan depan jatahku harus sama. Nggak boleh dikurangi. Kalau buat Seli, pakai saja jatahmu. Mulai sekarang aku akan memikirkan diriku dan anakku, Mas!""Kamu nggak memikirkanku?""Masih, ha
Aku kenal suara yang datang. Ternyata Ibu Mertua yang datang. Dia datang sendiri diantar sopir. Ibu mertuaku kaya, suka sombong, tapi pelit. Makanya Mas Radit selalu nampak sederhana. Tak pernah menggunakan uang darinya.Orang tua Seli pun dulu tak percaya kalau Radit anak orang kaya, karena penampilan dia selalu sederhana. Taunya Angga yang kaya, sehingga hubungan mereka tak direstui."Assalamualaikum. Radit, Kania. Aku datang ini." Ibu Mertua selalu terlihat rempong."Iya, Bu. Sebentar." Radit membukakan pintu untuknya."Owalah kamu, Nak. Lama sekali bukanya. Mana Kania menantu Ibu yang cantik dan baik hati?" "Ini, Bu. Ibu gimana kabarnya, sehat?""Alhamdulillah sehat. Kamu gimana kehamilanmu?""Alhamdulillah sehat juga, Bu."Terlihat ibu sejak datang tak menyapa Mas Radit. Dia malah mencariku. Entah apa yang dipikirannya.Bu Rani, nama Ibunya Mas Radit. Sekarang Ibu duduk di sebelahku. Dia mengelus kandunganku. "Duh, ibu sudah nggak sabar nunggu kelahiran bayi ini. Mudah-mudahan
"Kamu sakit kepala gara-gara Ibuku kan?"Aku mengangguk. Mas Radit memelukku. "Maaf ya, Sayang. Ibuku memang gitu selalu saklek. Nanti kucoba komunikasikan lagi padanya.""Baik, Mas." Aku menyetujuinya."Sekalian Mas mau bilang pada Ibu kalau Mas sudah menikah lagi. Takutnya Ibu tau dari orang, nanti malah marah padaku.""Ya udah, Mas. Gimana baiknya saja." Aku setuju.Kuberharap Ibu Mertua menolak pernikahan kedua suamiku.***Malam ini, kami sedang bercengkrama di ruang TV. Mas Radit akan memulai percakapan serius dengan Ibunya."Bu, maaf Radit mau jujur sama Ibu.""Ada apa, Nak?""Radit sudah menikah lagi, Bu."Ibu yang terlihat sudah mengantuk, tiba-tiba matanya terbuka lebar kembali. Ia memandang anaknya dengan tatapan tak percaya."Kenapa bisa seperti itu? Ibu nggak setuju! Dimana muka ibu simpan nanti kalau orang-orang tau anak Ibu poligami?"Radit menelan salivanya. Ia gugup untuk melanjutkan bicaranya, tapi ia mengumpulkan semua kekuatannya."Bu, poligami yang Radit lakukan
Siang ini, Ibu Mertua mengajakku ke rumah Seli. Lalu aku mengantarnya ke sana. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam, walau sama-sama Bogor, tapi perjalanan dari Kota ke Kabupaten cukup jauh.Di sini, Bu rumahnya. Yang cat warna kuning itu." Aku menunjuk salah satu rumah tak jauh dari kami. "Eh, udah ada mobil Mas Radit. Kok jam segini sudah pulang aja dari toko?" Aku melihat jam yang masih menunjukkan pukul dua siang."Keterlaluan ya Radit! Memangnya tokonya dekat dari sini, Kania?"Iyaa, dekat. Mungkin Mas Radit langsung ke sini.""Yuk, kita turun!" ajak Ibu.Ibu Mertua membukakan pintu mobilku untuk segera turun. Sebenarnya aku tak mau berurusan dengan Seli, apalagi ada Mas Radit di sana, mereka pasti sedang bermesraan. Tapi berhubung Ibu memaksaku, aku ikut mengetuk rumahnya."Assalamualaikum." Kami mengucapkan salam di depan, tak ada jawaban."Sepertinya di dalam, suamimu sedang bercanda dengan perempuan itu," sahut Ibu sambil memasang kuping di tembok rumah Seli.Kami pun mencoba
"Mas, kamu tega menceritakan semua pada Seli. Apa maksudmu menceritakannya pada dia? Kamu puas, Mas?" Aku bicara pada Mas Radit yang memperlihatkan wajah marahnya.Aku melihat ke arah ibu."Bu, Kania tak bermaksud membohongi Ibu. Ini semua rencana Mas Radit. Kemarin saat ibu bertanya, Kania sudah mau menjawab jujur kalau hasil USG anak kami perempuan. Tapi, Mas Radit yang meyakinkan Ibu kalau anak kami laki-laki. Maafkan Kania, ya, Bu!"Ibu masih diam mematung. Aku menghampirinya, lalu berjongkok di hadapan Ibu. Ibu tetap bergeming."Jika memang Ibu tak mau menerima anakku sebagai cucu, maka mulai saat ini aku akan mengajukan cerai padamu, Mas! Bolehkah?"Mas Radit mengambil kedua tanganku untuk berdiri. Aku tak mau, tetap berjongkok, meminta maaf pada Ibu agar Ia memaafkanku.Kemudian posisi kami sejajar, ia menatapku dalam. Aku pun demikian."Tidak, aku takkan pernah menceraikanmu!"Aku tak terima, aku pun berlari ke luar. Mas Radit belum bisa mengejarku. Ia harus berpakaian dulu. S
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
Aku mengekor langkah Bang Haris dengan tangan yang saling bergandengan. Ketika tiba di rumahnya, aku terkejut rumahnya lumayan rapi untuk ukuran jomblo seorang dokter."Kanda, aku suka di sini. Lebih adem dari rumahku.""Ya udah, kita tinggal di sini aja kalau gitu. Rumahmu dikontrakkan saja." "Boleh. Bisa jadi," kataku sembari melihat-lihat ke beberapa ruangan.Kemudian Bang Haris mengajakku ke kamarnya. Ternyata di sana rapi juga. Ranjang dengan seprey berwarna biru motif polkadot, dinding kamar berwarna abu-abu muda."Dinda, aku mencintaimu," katanya sembari menatapku penuh cinta."Sama, Kanda. Aku juga cinta padamu," balasku."Dinda, kamu ke sini, Sayang." Bang Haris menarikku ke ranjangnya."Gimana ranjangnya? Kamu suka di sini atau di rumahmu?""Di sini aja, Kanda. Aku suka.""Makasih ya, Sayang."Lalu Bang Haris mengecupku lembut, kami pun merengkuh manisnya cinta bersama."Dinda, terima kasih atas pelayananmu. Kanda sangat beruntung menjadikanmu sebagai istriku.""Sama-sama,
Hari ini kami kembali ke Bogor, kota tercinta yang menjadi kediamanku dan Bang Haris selama ini. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Begitu berbunga-bunga saat berada di samping Bang Haris--suamiku saat ini.Bang Haris mengendarai mobilku, mobilnya Bang Haris ada di Bandung. Jadi mungkin nanti adiknya yang mengantar ke rumah.Belum ada kepastian kami akan tinggal di mana. Rumah kami yang bersebelahan, bisa saja nanti dikontrakkan atau mungkin dijual. Eh tapi sayang kalau harus dijual."Dinda, ada hadiah dari kanda yang mau kanda kasih liat sama Dinda," kata suamiku. Duh, hadiah apa ya kira-kira? Cukup penasaran dengan apa yang dikatakannya."Ya udah kapan mau dikasih lihat sama aku?" tanyaku."Secepatnya. Kita pulang dulu ke rumah, nanti Dinda ikut Kanda ya!" katanya. "Baik, Kanda. Pasti nanti aku ikut dirimu, Kanda!" Aku menoleh pada suamiku yang sedang fokus menyetir.Bang Haris melirikku sebentar, lalu fokus lagi ke depan. Wajah gantengnya kupandangi dari samping. Masya Allah, aku
Tak lama Bang Haris datang. Tapi bersama Kyra. Aku jadi senang, kami mengasuh bersama di dalam kamar.Kami mengobrol hal-hal yang ringan, yang bisa membuat kami sesekali tertawa. Atau bahkan membuat kami menitikan air mata."Kanda, aku mau berterimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku benar-benar terbantu dengan semua hal yang kau berikan.""Dinda, aku ikhlas menolongmu. Tak ada maksud apa-apa. Aku memang mencintaimu saat itu. Tapi ku berpikir, jikapun kamu jodohku, kita pasti kan bersama.""So sweet banget, Kanda. Aku jadi malu jadinya.""Nggak usah malu, Dinda. Aku sekarang suamimu loh! Bisakah kamu mendekat padaku?" Bang Haris melirik pada Kyra yang tertidur."Ehm ... Kanda, sebentar lagi magrib, lalu Isya, dan nantinya subuh."Bang Haris terkekeh. "Dinda pinter ngeles deh. Mau magrib atau apapun itu, jika sudah terjadi, maka terjadilah. Hehe ... Becanda aku, Dinda! Yuk bersiap salat subuh dulu!""Hayuk, Bang!"Kami sudah mandi tadi sebelum ashar, saat menjelang magrib, kami hany
"Kania ... Ayo sini, calon pengantin harus meng-Aminkan doa-doa ibu Ustadzah." Salah seorang tanteku berkomentar. Aku mengangguk tanda setuju padanya."Iya, benar. Kania diam di sini, jangan kemana-mana," sahut sepupuku."Insya Allah besok lancar ya, Kania. Kami berdoa untuk kalian nanti," timpal sepupuku yang lain.Alhamdulillah mereka semua mendukungku. Tak ada yang nyinyir dengan statusku. Mungkin semua karena kebaikan mamaku juga, ia benar-benar baik pada Tante dan para sepupuku."Terima kasih semua, aku sangat terharu dengan semua. Semoga Tante, kakak dan adik juga dilancarkan urusannya," timpalku pada mereka.Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sehingga aku bisa selalu berpikiran positif. Walau kadang terbersit rasa insecure kalau diri ini seorang janda yang akan menikahi lelaki ganteng plus mapan. Ah, kalau berpikir ke situ, rasanya tak sebanding.***"Kania, kamu cantik sekali. Walau kamu pernah juga seperti ini, aku menyukai riasanmu saat ini," kata Mama. Mama terus saja
"Kamu bisa mengunjungi Kyra kapanpun, Mas. Aku tak akan menghalanginya. Tapi aku tak mungkin kembali padamu. Maaf ya, Mas Radit. Aku doakan semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.""Mas Radit beranjak dari duduknya. Lalu berjalan ke arah Bibik, ia menggendong Kyra. Aku melihat kerinduan dari pancaran matanya.'Maaf, Mas. Aku benar-benar tak bisa bersamamu.' gumamku."Kyra baik-baik sama Mama. Nanti kalau udah besar jagain Mama ya!" Mas Radit berbicara dengan Kyra."Mas, aku harus segera berangkat sekarang." Ku lihat jam tanganku, sudah hampir setengah jam Mas Radit di sini."Baik, maaf ya Kania. Aku jadi mengganggu waktumu.""Iya, Mas. Nggak apa-apa.""Maaf juga aku tak bisa berangkat ke sana. Aku doakan dari sini, ya. Semoga kamu bahagia dengan Haris.""Aamiin, insya Allah. Terima kasih doanya."Kami sama-sama menuju depan rumah. Mas Radit pamit pulang. Ia menggunakan ojeg, karena mobilnya sudah dijual. Bik Susi mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku. Kunci dibe
Bang Haris mengatakan kalau Seli dan laki-laki yang memasang bom jadi buronan polisi. Bisa-bisanya mereka merencanakan hal yang buruk padaku."Kamu hati-hati kalau dijalan. Apa perlu aku yang antar jemput kamu?" tanya Bang Haris khawatir. Aku bisa merasakan kekhawatirannya."Nggak usah, Bang. Lagian pasienmu nanti pada nunggu, Bang," sahutku. Kasihan dia kalau terlalu memikirkanku."Baiklah, hati-hati kalau mau ke kantor. Oya, besok kan kamu harus ke Purwakarta. Kalau aku Insya Allah ke Bandung lusa," terang Bang Haris. "Aku juga tak tinggal diam, aku mencari info juga tentang Seli dan orang suruhannya." "Iya, Bang. Semoga bisa segera di tangkap. Sekarang aku sadar, tidak semua orang menanggapi atas keinginan kita untuk berhubungan baik dengannya," sahutku."Iya, Kania. Untuk saat ini tak perlu lagi kamu berhubungan lagi dengan seorang Seli," ucap Bang Haris."Iya, Bang. Terima kasih, ya!" jawabku.Bang Haris berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan aku sebentar lagi akan ke toko, kar
Mereka langsung menatapku. Salah satu dari mereka mendekat."Maaf, Bu. Jangan laporkan kami. Kami tak akan mengulanginya lagi," katanya.Aku berdehem. "Yang lainnya bagaimana?"Mereka saling berpandangan, lalu mendekat ke arahku agar jangan membocorkan ini."Baiklah, saya terima semua janji kalian. Tapi ingat, tak baik membicarakan seseorang seperti itu.""Baik, Bu," kata mereka serempak."Ya sudah silahkan bekerja kembali!" Aku kembali duduk menunggu obat. Pasien lain yang ada di sekitar memperhatikan ke arahku. Peduli amat sama mereka, toh aku peduli dengan rumah sakit ini, agar tenaga kerja di sini tak sembarangan bergosip. "Aku tak menyangka kamu bisa setegas itu?" Suara Bang Haris mengagetkanku."Eh, Bang. Maaf ya aku bikin gaduh di sini."Kemudian dia duduk di sampingku."Enggak kok kamu hebat, Kania. Maaf ya kalau kamu jadi bahan gunjingan jadinya," katanya dengan suara yang pelan."E-eng-enggak, kok. Aku cuma nggak mau aja kamu menjadi bahan olok-olok mereka. Mereka pantas