Ting!Mas Arman kembali mengirimkan pesan. Ck, kirain sudah bunuh diri.[Kamu tega, Dik. Kamu sudah benar-benar tidak mencintaiku lagi. Selamat tinggal!]Halah, gitu doang. Palingan cuma gertakan. Cuma kecelakaan motor aja kesakitan kerjaannya meraung-raung tak jelas setiap malam.[Selamat tinggal. Aku tunggu hantumu kelayapan!] Balasku dan dalam hitungan detik dibaca dong! Ha ha Mas Arman tingkahmu makin seperti orang hilang akal.~K~U🌸🌸🌸Aku tertegun ketika sampai ruko kok, sudah dipasang banner? Cepat sekali kerjanya Susanti. Terus ini yang masang banner siapa? Bannernya juga cantik, sesuai ekspektasiku. Terus itu pintu kacanya juga sedang dipasang sama tukangnya. Susanti benar-benar bisa diandalkan.“Mbak, maaf ongkosnya belum?” tegur kang ojek.“Eh, iya, maaf, Mas. Lupa.” Kuberikan uang dua puluh ribuan.“Enggak usah disusukin Mas, kembaliannya ambil aja,” kataku seraya berlari masuk ke ruko.“Assalamualaikum! Susanti, San!” panggilku.“Wa’alaikumsalam! Lagi di toilet Mbak, m
“Siapa Mbak yang telepon?”“Citra, sepupunya Mas Arman. Katanya ibuku ditemukan pingsan di ruang tengah.”“Kasihan, ih, emang di rumah enggak ada orang?”“Enggak ada kayaknya soalnya Mas Arman enggak jadi bunuh diri, pasti dai pergi kerja. Intan kuliah dan Bapak mungkin sudah pulang ke kontrakannya" jawabku.“Rumit he he ... aku yang cuma lihat aja rumit apa lagi kalian yang jalani.”“Ya, begitu deh. Kalau tidak mengalami langsung memang orang hanya bisa berkomentar hebat dan kuat, tapi percayalah orang yang mengalaminya justru jauh lebih rapuh. Mereka hanya berusaha untuk tegar. Apalagi korban seperti aku ini dan Ibu. Mau melakukan apa pun jadi serba salah," jelasku.“Iya, Mbak. Makanya itu aku nanti sebelum menikah akan buat perjanjian tidak ada yang boleh selingkuh kalau ada yang selingkuh langsung out jangan bawa harta apa pun. Soalnya aku belajar dari pernikahan Mbak Fatki dan Mas Arman.”“Jamu berhak menentukan arah kehidupan yang menurutmu baik, San, tapi jangan juga kamu jadik
“Ya elah, Mbak, kenapa juga dikasih namanya tanah bukan dikasih nama orangnya.”“Maklum, San. Aku lupa.”Santi turun ke bawah aku segera salat. Tak henti-hentinya aku bersyukur atas pencapaian ini.Kalau ibuku dan juga kakakku tahu pasti mereka senang. Aku si bungsu akhirnya bisa mewujudkan cita-cita yang aku impikan sejak gadis dulu.“Mbak, udah selesai belum salatnya? Ada yang nyari, nih!” teriak Santi dari bawah. Itu anak volume suaranya ngalahin TOA masjid. Menggelegar ke segala arah.Tapi siapa ya, yang nyari aku? Kalau orang rumah tidak mungkin, deh! Mereka belum ada yang tahu aku di sini.“Siapa, San? Eh, loh, kok, Mas Fawas?” Dia tersenyum padaku. Aku jadi deg-degan jangan-jangan dia ke sini mau nagih kekurangan dari pembayaran ruko kemarin.“Silakan duduk, Mas, seadanya, ya?” Kusuguhkan minum Aqua gelas padanya. Tanpa rasa canggung Mas Fawas langsung meminumnya hingga tandas. Ini orang aneh. Haus apa doyan?“Lagi, Mas?” tawar Susanti.“Boleh,” jawabnya singkat.“Haduh, kalau
“Em, aku permisi dulu ya, Mbak Fatki, Mbak Santi, sudah sore nanti takut dicariin Ibu,” pamitnya lalu buru-buru pergi.Aku dan Susanti saling pandang saja kemudian makan sampai habis tanpa bicara sepatah kata pun.“Itu Mas Fawas otaknya lagi konslet kali ya, Mbak. Kelakuannya aneh gitu” tebak Susanti. Kami sedang mengawasi pemasangan kipas angin.“Sepertinya iya, aku juga jadi bingung sendiri,” jawabku asal.“Tapi, lumayan sih, Mbak, kita jadi makan gratis. Uang kita utuh. Ha ha ....”Ya ampun dasar Susanti. Bikin malu aja untung orangnya sudah tidak ada.“Mbak, Mbak ... cantik-cantik kok, ketawanya kayak genderowo,” tegur Mas-mas yang sedang masang kipas.“Biarin ah, berisik!” jawab Susanti sewot, tapi sejurus kemudian dia lari ke ruang ganti yang kami sekat pakai gorden.“Mbak, emang aku cantik, ya?” tanya Susanti seraya mengamati wajahnya. Aku mengiyakan. Memang Susanti cantik kok, wajahnya mirip artis Lesti Kejora.“Em, maaciiihh ... baru dua orang yang bilang aku cantik selain Em
“Fatki, jangan kurang ajar sama ibuku!” hardik mas Arman. “Kurang ajar? Sepertinya otakmu dengan otak ibu sudah sama-sama konslet jadi tidak bisa membedakan mana yang kurang ajar dan mana yang tidak,” jawabku santai dan itu sukses membuat Mas Arman kesal. Ditariknya tanganku hingga ke luar dari ruangan ibu. “Jangan buat malu, ya, Dik, kalau tidak mau bantu bayar biaya rumah sakit ibu ya sudah tidak apa-apa, tapi jangan permalukan ibuku di depan banyak orang. Aku masih mampu kalau hanya bayar biaya rawat ibuku,” ucap Mas Arman jumawa. “Oh, iya? Syukurlah kalau begitu. Permisi!” Aku pulang dengan perasaan lega. Mas Arman dan ibu setelah pulang dari rumah sakit pasti akan lebih syok, karena rumah kosong melompong. Ya semua perabot yang ada di rumah akan aku angkut ke ruko termasuk TV 42” yang aku beli 5 bulan yang lalu. “Susanti malam ini tidur di rumahh Mbak, bisa? Mbak butuh bantuanu untuk packing barang-brang yang akan kita bawa ke ruko,” tanyaku pada Susanti. “Bisa, Mbak. A
“Ha ha ... kamu tahu aja, San, tapi tenang aja aku bawa kunci serep kok, jadi aman. Lagi pula sepertinya Mas Arman tidur di rumah sakit sama Bapak. Mungkin yang di rumah Reni sama Intan,” jawabku.Kulirik jam tanganku, ternyata sudah jam 10 malam. Pantas saja sudah lumayan sepi.Setelah belokan lapangan adalah rumahku. Aku dan Susanti memang tetanggaan, tapi tetangga jauh dan rumah Susanti sudah tidak masuk blok perumahan yang aku tempati.“Nah, kan, Mbak, itu rumah Mbak lampunya enggak dinyalain. Apa memang enggak ada orang?”“Sepertinya begitu, San. Pada minep di ruang sakit semua.”Kubuka pintu rumah, tapi di ruang tamu ada moto sports sepertinya aku kenal ini motor milik siapa.“Mbak, ini kan, motor bocah culun itu. Ternyata dia minep di sini, Mbak. Wah, enggak bener ini! Pasti mereka lagi main kuda-kudaan,” ujar Susanti lagi.Kami masuk ke ruang tengah yang gelap. Kubuka kamar Reni, ada dia sudah tidur pulas. Lalu pindah ke kamar Intan. Dikunci, tapi tidak ada suara apa pun. Aku
“Aku enggak tahu sumpah! Tapi, wajar aja lah, Fatki. Mereka kan, pacaran sudah gitu saling suka. Anak muda zaman sekarang udah biasa begitu. Banyak loh, di luar sana yang justru sewa hotel. Makanya gaul, biar tahu!” jawab Reni.Aku dan Susanti seperti dikomando menoyor kepala Reni berbarengan.“Otak, dipakai. Sudah sana Tan, ambil motor pacarmu di rumah Pak RT, ajak sekalian itu pacarmu enggak usah takut palingan juga dinikahin,” ucapku.“Enggak mau! Pokoknya Mbak Fatki yang ambil, titik!” teriak Intan dia panik dan ketakutan.“Ogah, ambil aja sendiri.”“Assalamu’alikum ....”“Nah, itu dia Pak RT datang!” pekik Susanti. Intan makin panik.Brug!Pacar Intan jatuh pingsan.“Ya elah ini cowok benar-benar enggak berbobot. Tidak berani menghadapi kenyataan. Baru ketemu Pak RT saja sudah pingsan apa lagi ketemu bulian orang sejagat raya. Untung aku sudah putus denganmu,” ucap Susanti.~K~U 🌸🌸🌸Intan akhirnya disusul oleh Citra dan abang-abangnya. Setelah sebelumnya kami susah sekali mem
Bantu follow akunku ya, Guys. Wajib like dan komentar biar aku semangat update 💕Happy reading ❤️🌸🌸🌸“Mbak, bangun, sudah jam 7!” teriak Susanti.Aku tersentak kaget langsung mengingat-ingat apakah tadi sudah salat subuh atau belum.“Mbak, sadar! Buruan ayok, turun!” ucap Susanti lagi.Otakku masih ngebleng kupejamkan mata. Alhamdulillah ... aku tadi sudah salat subuh dan ketiduran lagi saat membereskan bajuku ke dalam kardus dan koper.“Kamu juga baru bangun, San?” tanyaku.“Mbak pikir? Lihat saja aku masih awut-awutan gini ya, berarti aku belum mandi, dan berati aku juga baru bangun!” jawab Susanti sambil menyisir rambutnya yang panjang dan lurus.“Ya, sudah gegas sana kamu mandi aku bereskan kasur dulu,” titahku.“Enggak mau, ah, aku malu. Tadi aku buka pintu mereka semua sedang sarapan.” Tumben ini anak tahu malu. Biasanya juga malu-maluin.“Ayok, Mbak juga mau mandi!" ajakku.Kami ke luar kamar. Di meja makan sudah ada Mas Arman, Intan, dan juga Reni.Tunggu dulu, itu kenapa