POV Susanti.“Aku ikut boleh?” pintaku.“Kamu bukan anak-anak. Kamu tante-tante. Dilarang ikut!” sahut Mas Fawas lagi. Emang dasar dia ini biang kerok!“Boleh, kalau mau ikut, ayok!” jawab Mbak Wulan.“Aku ke toilet dulu ya, Mbak. Mau pipis.” “Jangan lama-lama ya, Tante!” seru Jingga. Aku segera masuk kamar mandi dan menuntaskan hajatku.Ya, ampun ini kamar mandi bagus sekali! Dulu aku pas dirawat di rumah sakit kamar mandinya tidak seperti ini. Kami menggunakannya bersama-sama sudah gitu bau pesing. Kamar mandi ini seperti kamar mandi hotel tempat aku menginap waktu nikahan Mbak Fatki.Memang ya, beda kelas beda juga fasilitas. Enaknya jadi orang kaya sakit pun masih bisa hidup enak. Kalau kayak aku sakit masih mikirin bagaimana bisa makan untuk besok jadi cepat sembuh.Klek!Begitu kubuka pintu dan keluar ternyata semua sudah pergi tinggal Mas Fawas sendiri yang sedang main HP.“Mas, kok, mereka tiggalin aku, sih?” protesku.“Gimana tidak ditinggal. Kamu di kamar mandinya lama bang
POV Susanti. Aku duduk di sofa melihat acara TV yang makin hari makin enggak jelas menurutku.Trk!Tek!Kepalaku dilempari kulit kacang oleh Mas Fawas. Ini orang cari perhatian banget pokoknya aku tidak akan mau menoleh ke arahnya. Jual mahal, dong!Ya, Allah, mana kulit kacangnya berantakan gini di lantai. Pasti nanti aku yang disalahkan oleh Mbak Wulan.“Ha ha ha ....”Tiba-tiba Mas Fawas tertawa terbahak-bahak.“Kesambet jin rumah sakit ini kamu, Mas?” “Sembarangan kalau ngomong. Lihat itu lucu banget!” tunjuk Mas Fawas ke arah TV.Eh, iya, benar juga. Lucu! Film Tom and Jerry. Acara favorit aku dari zaman SD dulu. Ternyata masih ada. Aku tadi asal pencet pindah channel sih, enggak tahunya nemu tayangan zaman kecil.“Hehh, kamu ngapain di sini! Awas sana-sana!” Usir Mas Fawas.Astagfirullah iya, juga, kenapa aku tiba-tiba sudah duduk di samping Mas Fawas sambil makan kacang kulit. Duh, keasyikan nonton jadi lupa daratan.“Jangan cari kesempatan dalam kesempitan ya, San. Mentang-
POV Susanti. “Assalamu’alaikum ....” Suara Biru dan Jingga memekakan telinga. Mereka datang tepat saat aku sudah melepaskan jambakanku.“Ya, Allah ... berantakan sekali. Pasti ini ulah Papah. Ya, kan?” ujar Jingga, Mas Fawas mengangguk.“Papah, ih, jorok, deh!” gerutu Jingga. Dia memunguti kulit kacang yang berserakan.“Kebangetan kamu, Mas. Kan, bisa di masukan ke plastik kulitnya ini jangan karena sakit jadi seenak sendiri!” omel Wulan. Mas Fawas diam saja. Dia berkali-kali mengerjapkan matanya. Haduh, jangan-jangan dia beneran kesakitan. Gawat, nih!“Mbak Susanti kenapa diam saja? Kamu kenapa? Apa kakakku ini buat masalah padamu?” tanya Mbak Wulan. Aku mengangguk. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sedih sekali rasanya mengingat ucapan Mas Fawas tadi.“Huuwaa!” Aku menangis sejadi-jadinya sampai mereka semua bingung.“Mbak, kenapa nangis gitu! Mas Fawas, kamu apain dia!” teriak Mbak Wulan. Dia pasti cemas sekali.“Tante kenapa? Apanya yang sakit sini biar Biru obatin!” ucap Biru. A
Assalamualaikum selamat semua. Semoga dalam keadaan sehat dan bahagia selalu.Happy reading 💕POV RISA.“Mas, pokoknya aku juga mau honey moon ke Paris. Titik!” Pintaku pada Mas Dafa.Dia diam saja fokus pada laptop di depannya padahal hari ini kami menginap di hotel malah dia fokus ke kerjaan aku dianggurin sudah seperti orang lain saja. Dari tadi pun aku ajak bicara Mas Dafa seperti tidak fokus. Entah apa yang sedang dia pikirkan andai saja aku bisa baca pikiran orang lain pasti aku bisa tahu.“Mas, kamu dengar tidak sih, aku ngomong apa?” rajukku.Aku tidak mau dong, kalah saing dengan si penjahit kampungan itu masa iya, dia honey moon ke Paris sedang aku hanya di sini saja di kota kecil. Aku lebih berkelas dari pada dia jadi aku harus lebih dari dia.Salahku juga sih, dulu waktu aku masih jadi istrinya Mas Fais diajak honey moon ke mana saja tidak mau padahal dia mau berangkat ke mana pun kalau aku yang tentukan tempatnya.Aku dulu emosi karena dijodohkan dengan dia, jadi sudah e
POV Risa.Mas Dafa tidak menyahut lagi. Dia kembali fokus pada laptop dan HP-nya. Aku jadi penasaran apa sih yang dikerjakan dia. Kenapa juga mesti pusing-pusing segala kan, ada anak buah biarkan saja mereka yang kerjakan. Bos tinggal duduk manis terima hasil.Mau main games apa lagi, ya? Semua sudah pernah. Bosan juga. Aku mau jalan-jalan ke sosmed ah, siapa tahu aku bisa sedikit terhibur.Sialnya begitu aku buka IG yang pertama kali muncul adalah postingan Mas Fais. Ya, ampun aku lupa kalau aku belum unfollow akun dia.Banyak sekali postingan ucapan selamat untuk dia dan istri kampungannya itu ditambah lagi mereka berlebihan memuji kecantikan si tukang jahit itu.Postingan terakhir dia lagi di bandara internasional Soekarno-Hatta untuk pergi ke Paris. Duuuh, nyesek lagi batiku lihat ini. Pokoknya aku pun harus pergi ke Paris.Huuffftt lama-lama dadaku sesak. Ingin menangis, tapi pantang bagiku untuk menangis. Aku jadi serba salah gini. Bawaanku ingin sekali marah-marah. Tuhan, kenap
POV Risa.“Aku pikirkan caranya dulu ya, Beb. Bukan aku tidak cinta padamu, tapi aku harus pastikan waktunya yang tepat juga.” Aku terpaksa mengangguk. Mau dipaksa juga untuk berangkat dalam waktu dekat ini susah.Setelah melakukan aktivitas dewasa kami malam ini. Aku mengambil foto kami berdua dan aku kirimkan ke Kayla. Dia harus tahu bahwa Mas Dafa hanyalah milikku dengan begini dia akan semakin bosan dan akhirnya mundur sendiri tanpa aku pinta. Kebetulan tadi dia telepon Mas Dafa, tapi sengaja tidak dijawab. Entah kenapa aku tidak tahu mungkin saja Mas Dafa pusing karena rengekan emak yang memintanya cepat kembali.[Maaf ya, Kay, tadi Mas Dafa tidak jawab teleponmu. Habisnya kami sedang memadu kasih.] Kirim dan langsung dibaca. Yes! Pasti Kayla kesal dan cemburu.[Oh, iya, tidak apa-apa. Tadi cuma mau bilang semalam ada yang masuk rumah dan mengacak-acak kamar. Tidak hanya kamarku saja, tapi kamarmu juga.]Apa! Cuma begini balasannya? Dia tidak kesal ataupun memakiku? Apa Kayla ben
POV Risa.Hhhh ... Mas Fais, semakin kamu jauh dari hidupku kenapa aku semakin ingat padamu. Semakin aku melupakanmu, semakin aku cemburuan padamu. Apa ada yang salah ya, dengan hatiku?Lagi pula si Fatki juga sepertinya tidak mau melepaskan tambang emasnya. Cih, aku tidak menyangka kalau perempuan kampung seperti Fatki pun bisa menggenggam erat emas di tangannya. Ini berarti Mas Fais tidak akan pernah lepas dari Fatki. Apalagi Mas Fais terlihat sekali bucin padanya.Ditambah lagi ke dua orang tuaku masih saja menyalahkanku padahal mereka juga kan, mendukung pernikahanku dengan Mas Dafa. Sudah aku bilang kalau harta Mas Dafa juga banyak, tapi mereka tetap saja ngeyel. Apalagi ibu yang selalu saja menuntut untuk bertemu keluarga Mas Dafa. Katanya beliau malu anaknya punya suami, tapi tidak kenal dengan besannya. Ruwet sekali hidupku ini. Bapak dan ibu harusnya lebih bersabar dulu apalagi sekarang Mak mertuaku itu sedang sakit pasti cerewetnya akan berlipat-lipat kalau mereka bertemu te
POV Risa.“Loh, Mas, kok, ke rumah sakit? Kita enggak pulang dulu?”“Nanti saja ini darurat,” jawab Mas Dafa seraya berlari masuk ke rumah sakit.“Pak, ada apa, sih?” tanyaku pada supir.“Tidak tahu, Nyah. Saya sejak kemarin kan, ikut Nyonya sama Tuan ke kota.”“Ya, sudah!” Aku pun gegas masuk ke dalam menyusul Mas Dafa.Duh, di mana, ya? Di ruangan emak apa bapak? Mereka kan, dirawat terpisah.Lebih baik aku ke ruangan emak dulu biasanya kalau anak laki-laki kan, selalu kangen ibunya.Rupanya sampai ruangan emak pun Mas Dafa tidak ada yang ada hanya emak sama si bidah udik itu.“Kayla! Kamu kok, aneh, sih, emak jedutin kepala begitu dibiarkan saja!” bentakku pada Kayla. Aku ini seorang dokter meski aku kesal pada mereka, tapi kalau tahu mereka meregang nyawa begitu tentu saja aku tidak bisa tinggal diam. Ini yang ada Kayla malah asyik main HP.“Em, bukan gitu. Memang emak jadi sering begitu sebentar lagi juga tidak lagi,” jawab Kayla. Wajahnya pucat pasi pasti dia ketakutan karena ke
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p