POV Risa.Hhhh ... Mas Fais, semakin kamu jauh dari hidupku kenapa aku semakin ingat padamu. Semakin aku melupakanmu, semakin aku cemburuan padamu. Apa ada yang salah ya, dengan hatiku?Lagi pula si Fatki juga sepertinya tidak mau melepaskan tambang emasnya. Cih, aku tidak menyangka kalau perempuan kampung seperti Fatki pun bisa menggenggam erat emas di tangannya. Ini berarti Mas Fais tidak akan pernah lepas dari Fatki. Apalagi Mas Fais terlihat sekali bucin padanya.Ditambah lagi ke dua orang tuaku masih saja menyalahkanku padahal mereka juga kan, mendukung pernikahanku dengan Mas Dafa. Sudah aku bilang kalau harta Mas Dafa juga banyak, tapi mereka tetap saja ngeyel. Apalagi ibu yang selalu saja menuntut untuk bertemu keluarga Mas Dafa. Katanya beliau malu anaknya punya suami, tapi tidak kenal dengan besannya. Ruwet sekali hidupku ini. Bapak dan ibu harusnya lebih bersabar dulu apalagi sekarang Mak mertuaku itu sedang sakit pasti cerewetnya akan berlipat-lipat kalau mereka bertemu te
POV Risa.“Loh, Mas, kok, ke rumah sakit? Kita enggak pulang dulu?”“Nanti saja ini darurat,” jawab Mas Dafa seraya berlari masuk ke rumah sakit.“Pak, ada apa, sih?” tanyaku pada supir.“Tidak tahu, Nyah. Saya sejak kemarin kan, ikut Nyonya sama Tuan ke kota.”“Ya, sudah!” Aku pun gegas masuk ke dalam menyusul Mas Dafa.Duh, di mana, ya? Di ruangan emak apa bapak? Mereka kan, dirawat terpisah.Lebih baik aku ke ruangan emak dulu biasanya kalau anak laki-laki kan, selalu kangen ibunya.Rupanya sampai ruangan emak pun Mas Dafa tidak ada yang ada hanya emak sama si bidah udik itu.“Kayla! Kamu kok, aneh, sih, emak jedutin kepala begitu dibiarkan saja!” bentakku pada Kayla. Aku ini seorang dokter meski aku kesal pada mereka, tapi kalau tahu mereka meregang nyawa begitu tentu saja aku tidak bisa tinggal diam. Ini yang ada Kayla malah asyik main HP.“Em, bukan gitu. Memang emak jadi sering begitu sebentar lagi juga tidak lagi,” jawab Kayla. Wajahnya pucat pasi pasti dia ketakutan karena ke
POV Fawas.Sampai malam bakda isya aku mendapat dua kantong darah dari anak buah bapak dan dari Susanti. Ck, kenapa sih, harus berurusan lagi dengan Susanti? Aku kira setelah pulang dari markas sudah beres tidak bertemu lagi dengan gadis itu, tapi nyatanya malah dia berjasa menyelamatkan hidupku. Memberiku darahnya dengan suka rela. Apa suatu kebetulan golongan darah kami sama?Susanti terlihat biasa saja dan masih ceria padahal kan, harusnya lemas, tapi ada satu yang membuatku heran sih, porsi makannya banyak sekali. Bakso, nasi goreng, sate kambing masuk di perutnya. Hingga malam ini dia berhasil menghabis itu semua. Aku sampai bergidik ngeri melihat dia rakus begitu.“Kamu belum pulang apa nunggu diusir?” tanyaku padanya, tapi dia malah cuek dan asyik mengunyah makanannya.“Hei, ini kuping apa cantelan wajan?” kataku lagi. Kutarik sedikit ujung jilbabnya. Dia menoleh padaku dan langsung melotot.“Kamu tanya sama siapa, Mas? Aku?” Ya, ampun ini bocah kok, enggak nyambungan. Ya, dial
POV Fawas.“Alhamdulillah kenyang. Malam ini bisa tidur nyenyak sekali,” ujar Susanti.“Aku juga!”“Aku juga!” sahut Biru dan Jingga bersamaan. Dasar anak kecil memang pantasnya main dengan anak kecil.“Kalian sikat gigi terus bobo ya, besok kan, sekolah ini sudah jam 8 malam,” titah Susanti. Hebatnya anak-anakku langsung menurut.“Bu Hajjah, Mbak Wulan, aku pamit ya, pulang dulu. Besok kita jadi kan, ke butik beli gamis?” Ya, ampun, itu anak masih ingat saja dengan gamisnya.Ibu dan Wulan tertawa pasti mereka heran ada manusia seperti Susanti.“Jadi, dong, insya Allah. Nanti kita berkabar saja, ya, kan, aku sudah ada nomormu,” jawab Wulan.“Baiklah, kalau begitu aku pamit.”“Aku antar sampai bawah, sampai kamu dapat ojek, ya, Mbak.” Susanti mengangguk.“Ikutttt!” teriak anak-anakku.“Boleh, ayo!” ajak Susanti.Saat mereka hendak membuka pintu bersamaan dengan tamu datang. Ternyata itu bulek dan ada Ilham juga. Yang pertama aku lihat adalah ekspresi Susanti. Dia sampai melongo. Past
POV Fawas.“Astaga! Bukan begitu Markonah. Dia minta kamu mengulangi ucapanmu bukan berbisik-bisik,” kataku seraya Kulempar Susanti pakai bekas minumku barusan.“Apaan sih, Mas. Resek, deh! Orang Mas Ilham saja tidak protes,” jawab Susanti ketus. Eyalah dikasih tahu malah nyolot!“Aku tidak apa-apa, Mas, namanya juga baru bertemu dan Mbak Susanti pasti belum paham,” sahut Ilham sok, bijak! Halah bilang saja dia senang bisa sedekat itu dengan perempuan. Dua-duanya sama-sama norak!“Iya, itu dasar Mas Fawas norak! Tidak bisa memahami orang lain,” sela Susanti. Halah terserah kalian sajalah.“Sebenarnya aku sudah kenyang, Mbak, tapi kalau Mbak Susanti menawariku ya, dengan senang hati aku terima,” ucap Ilham lagi.Susanti mengambil donat di meja lalu diberikannya pada Ilham.“Tante, aku juga mau donat!” seru Jingga. Susanti gesit mengambil lagi donat yang hendak dimakan oleh Ilham dan diberikan ke Jingga.“Mas, maaf ya, donatnya tinggal satu dan Jingga mau. Orang dewasa sebaiknya mengal
POV Fawas.“Biru marah sama Papah?” Dia menggeleng.“Tidak, Pah. Biru jadi merasa bersalah sama Papah.”“Hei, boy! Ayolah, tersenyum. Papah senang kalau Biru tanya seperti itu.” Biru melihatku dan tersenyum manis sekali. Anak lelakiku ternyata sudah besar.“Aku juga mau Mamah baru. Bosan main dengan Mbak terus. Kalau ada Mamah kan, aku bisa melakukan apa pun berdua,” sahut Jingga. Aku mengangguk saja. Bingung mau jawab apa.Tak lama Wulan datang membawakan makanan untuk kami. Semalam kami tidur bertiga hanya ada orangku yang ikut menjagaku di sini. Lagi pula kasihan juga orang tuaku jika harus setiap hari menjagaku. Sedang Biru dan Jingga semalam sudah tertidur jadi tidak diajak pulang. Tumben Wulan sendirian biasanya sama si cewek enggak jelas itu atau dia belum masuk, ya? Aku celingukan mencari dia.“Cari siapa, Mas?” tanyanya mengagetkanku.“Em, i—tu enggak cari siapa-siapa,” jawabku gugup. Wulan mencebikkan bibirnya.“Heleh, kamu cari Susanti, ya?” Duh, kok, Wulan bisa tahu, sih!
POV Fawas.“Apa lihat-lihat!” tegurku pada Susanti. Dia diam saja hanya menegur Wulan dan anak-anakku.Berarti tadi saat berbalas WA dia sudah dalam perjalanan ke sini. Duh, dia ember enggak, ya? Kalau sampai dia bilang pada Wulan, hancurlah sudah harga diriku bisa dibuli terus aku oleh Wulan.“Bete banget pagi-pagi itu muka sudah ditekuk,” ucap Wulan. Susanti langsung menoleh padaku diikuti Wulan. Aku buru-buru pura-pura lihat video tik tok.“Apa dia bikin masalah lagi denganmu, Mbak?” tanya Wulan pasti yang dia maksud adalah aku.“Iya, Mbak. Masa dia ngatain aku bod*h kalau tidak ingat dia sedang sakit sudah kuhajar lagi seperti kemarin,” jawab Santi. Nah, kan, sudah mulai dia merendahkan aku.“Kemarin?” tanya Wulan.“Iya, waktu kalian ke bawah kuhajar Mas Fawas, habisnya dia semena-mena sih, sama aku.”“Lanjutkan, Mbak. Kalau Mas Fawas macam-macam lagi sama kamu. Aku ikhlas dunia akhirat,” jawab Wulan. Dasar adik tidak tahu belas kasih ya, begitu malah belain orang lain.“Kalau Pap
“Kok, Mbak Wulan tertawa? Benar kan, Mbak?” tanya Susanti.“Iya, benar. Makanya Mas, kamu itu jadi orang lurus-lurus aja jadi enggak begini ceritanya.”“Sudah lurus itu kok, Mbak. Kan, sudah rindu istrinya. Biar si Roy juga mental Mas. Dia harus dibumi hanguskan. Orang seperti itu jangan dikasih panggung.”“Benar itu. Aku pun kesal sekali dengan si Roy itu. Amit-amit jabang bayi masa dia nangisin Mas Fawas sudah kayak nangisin bininya. Lebai badai,” jawab Wulan.Ooh, si Roy ini. Pantas saja Susanti negatif thinking terus padaku. Memang benar-benar itu b*nci satu harus kukasih pelajaran.“Aku ikut Pah, aku juga rindu pada Mamah,” sahut Jingga.“Pasti dong, Sayang! Nanti kita ke makam Mamah sama-sama, ya?” jawabku.Kasihan putri kecilku dari dulu belum pernah merasakan belaian seorang ibu. Hampir saja itu terjadi, tapi Sintia berkhianat dan meninggal. Aku jadi berpikir apakah wanita-wanita yang dekat denganku akan berakhir tragis. Meisya dan Sintia meninggal aku takut juga kalau dikasih
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p