“Oh, rupanya orang kaya bisa lapar juga kalau kondangan,” celetuk mereka. “Sebentar ya, Bu, saya ke belakang dulu untuk tanya ke panitia,” pamit ibuku. “Fatki, kamu kasih apa itu orang kota kok, mau beli kamu mahal begitu?” tanya ibunya Mas Dafa. Jujur aku sangat tersinggung, tapi aku harus cari cara agar bisa membalas ucapan beliau dengan elegan. “Saya bukan barang Bu, yang bisa diperjual belikan dan saya juga tidak kasih apa-apa. Takdir saya dapat calon suami yang baik dan memuliakan saya. Oh, iya, Bu, saya juga mau tanya, maaf ini Ibu ajarin jampi-jampi apa ya, ke anak Ibu sampai bisa punya dua wanita sekaligus? Malah waktu dengan si profesi dokter itu belum pisah sama suaminya yang dulu,” tanyaku telak. Bu juragan terlihat malu dan menahan marah sedang Mas Dafa melotot ke arahku. Istrinya terlihat sangat tidak nyaman berada di sini. Terserah saja apa peduliku, toh, bukan aku duluan yang bikin masalah. “Sebentar ya, Bu Juragan, masih disiapkan makan malamnya,” ucap ibu seraya m
Ibu hanya menanggapi dengan anggukan kepala saja. Saat rombongan Mas Dafa hendak pamitan pulang tiba-tiba ada kegaduhan di luar. Aku kaget sekali, kukira itu adalah pencuri. Untung saja ada banyak bapak-bapak yang rewang sekaligus ronda malam. “Ada apa sih, ribut-ribut? Masa maling masih sore begini? Biasanya kan, maling itu tengah malam nunggu sepi,” ucap Susanti. Dia beranjak ke depan. “Lepas! Aku bukan pencuri! Kalian tidak tahu siapa aku? Tidak sopan menyeret aku begini, lepas!” teriak seorang perempuan saat beberapa warga menyeret dia membawanya ke hadapan kami. “Ya, Allah Risa!” seru kami bersamaan. Benar ini Risa, ada apa dia malam-malam ke sini? “Lepas! Kalian ini apa-apaan! Ini Dokter Risa!” bentak Mas Dafa pada warga yang memegangi dokter Risa. “Ha ha ... pasti kamu ngintipin kami, ya, Dok! Awas loh, bintitan itu mata! Kenapa enggak bertamu baik-baik saja, Dok? Enggak usah gengsi. Kami tidak akan ngusir, kok? Gimana mantap kan, Mbak Fatki,” seru Susanti, di tertawa su
Assalamualaikum selamat pagi semua Alhamdulillah Fatki sudah tayang bab baru lagi. Bantu follow akunku, yuk! Bagi yang sudah follow aku ucapkan banyak terima kasih. Happy reading everyone 💕 POV Risa. 🌸🌸🌸 Sial*n! Persembunyiaku ketahuan padahal aku sedang asyik mendengarkan pembicaraan mereka. Fatki yang beruntung mendapatkan segalanya. Mana tadi pas aku ke sini lihat mobil impianku itu. Aku jadi curiga Mas Fais belum bisa move on sepenuhnya karena kalau sudah move on pasti dia tidak akan membelikan barang yang aku inginkan untuk istri barunya. Pasti dia beli itu agar terngiang-ngiang denganku. Dasar laki-laki munafik. Belum lagi berlian itu yang dipakai Fatki bagus banget kilaunya sampai terlihat dari tempat aku sembunyi. Pasti grade A. Duh, brengs*k dia mengambil segala yang aku inginkan. Ibunya Mas Dafa juga jadi orang kok kolot amat malu-maluin. Orang paling kaya di kampungnya kok, seperti gembel di jalanan yang belum makan berhari-hari. Cuma makanan begitu doang apa en
POV Risa. Aku upload foto kami berdua waktu di hotel kemarin. Tak lupa aku beri caption. Biar tambah panas si bidan udik ini. [Cintaku padamu seluas samudera.] Yes, langsung dibaca. Duh, awas tuh, meledak jantungnya. [Bukan levelku bersaing dengan sampah! You know sampah? Bau dan menjijikkan.] Kurang ajar aku disamakan dengan sampah! Br*ngsek! Wah, rupanya dia belum mau mengalah juga malah ngatain aku sampah lagi! Benar-benar ya, minta dikasih pelajaran! [Dunia hanya milik kita berdua. Jika, obat saja bisa dipatenkan masa kita enggak?] Sent. Ha ha pasti bidan udik itu tambah panas deh! [Bodoh, dipelihara. Mana ada wanita terhormat menjadi rendahan begitu!] Eeh, kurang ajar si Kayla masa dia bilang aku rendahan! Oke, akan aku balas lagi. [Walau CO dan CO2 lebih menarik perhatian Hb, tapi hanya O2 yang sanggup menjadi pensetabil Hb. Seperti aku yang sanggup menstabilkan jiwamu, sayangku!] Syukurin memang Mas Dafanya kok, yang merasa nyaman sekali denganku. Sudah lebih dari tig
POV Risa. “Tidak bisa begitu, dong, Pak! Kayla ini menantu kesayangan Emak. Pokoknya Emak tidak rela kalau di madu begitu,” protes emak. “Mau gimana lagi? Semua sudah terjadi diluar kendali kita. Anak kesayanganmu itu memang bebal otaknya, susah diatur!” jawab bapak sebelum benar-benar masuk ke dalam kamarnya. “Awas ya, kamu, Dafa, Risa. Selamanya Emak tidak akan pernah ridho. Emak akan terus awasi kalian! Sudah sana kalian pulang! Kayla kamu ikut pulang jangan mau ditinggal di sini!” titah emak. Duh, malas banget sih, kalau Kayla ikut nanti gimana kami mau bermesraan? Eh, tapi ini kesempatanku untuk memanas-manasi Kayla dengan begitu dia tidak akan betah dan akhirnya out dari rumah itu. Lagi pula rumah baru Mas Dafa yang sekarang ini kan, design luar dan dalamnya sesuai rancangan aku dulu itu sudah cukup bukti bahwa Mas Dafa tetap memprioritaskan aku. “Tidak bisa gitu dong, Mak. Ini masih malam pengantin kami masa iya, si udik ini ikut pulang!” protesku kesal. Kali aja kan,
POV Risa. “Iya, Mak. Assalamualaikum ....” ucap Kayla. Dia berjalan di belakang kami. Duh, sudah seperti babu saja. Kapok! Rasain! Sesampainya di rumah baru Mas Dafa yang jaraknya hanya 50 meter dari rumah emak aku segera masuk ke kamar utama. Ya, aku tahu sih, ini kamar sudah ditempati sama si udik ini, tapi mulai malam ini aku yang akan menempatinya aku ratu di sini, jadi dia harus menyingkir. “Tunggu! Ini kamarku, kalau kalian mau tidur sana tidur saja di kamar yang lain, masih ada tiga kamar kosong, kan!” cegah Kayla saat aku dan Mas Dafa sudah sampai ambang pintu mau masuk ke kamar. “Tidak bisa aku mau tidur di sini!” jawabku. “Mas, ini kan, masih malam pengantin kita, aku tidak mau tidur di kamar lain, kita tidur di sini saja, ya?” rengekku pada Mas Dafa. Dia mulai kebingungan antara pindah atau tidak. “Kay, Abang mohon ya, malam ini saja,” ucap Mas Dafa pada Kayla. “Tidak bisa, Bang! Ini kamarku kalau Abang tidak mau pindah lebih baik aku tidur di rumah emak saja biar Ab
POV Risa. “Mulai besok, kamu harus mandiri, Mas. Kamu tidak bisa ngandelin aku terus untuk melayani kebutuhan kamu semuanya. Aku pun capek harus bekerja belum lagi melayani kamu di ranjang. Jangan seperti anak kecil yang apa-apa diladeni,” ucapku kesal. Mas Dafa hanya diam saja, malah terkesan acuh. Dia buru-buru memakai bajunya. “Bang, aku berangkat duluan, ya, ada pasien mau melahirkan!” pamit si udik, dia menyalami Mas Dafa. Dih, sok, saliha sekali. “Baru juga jam 7, Kay. Berangkat bareng saja.” “Tidak, Bang. Aku buru-buru. Aku juga tidak mau bawa mobil biar cepat sampai.” “Sarapan sudah kamu siapin, Kay?” tanya Mas Dafa. Nah, iya, itu yang penting. “Sarapan?” ucap Kayla balik tanya seraya memicingkan matanya sebelah. “Iya, sarapan.” “Tidak ada sarapan, Bang. Aku sedang puasa. Kalau Abang mau sarapan ya, istri baru Abang lah yang suruh masak. Aku sih, ogah. Kan, sudah ada gantinya,” jawab Kayla. “Tidak bisa gitu, dong, Kay! Risa juga buru-buru mau berangkat kerja. Harusny
🌸🌸🌸 [Mbak Fatki, jangan lupa hari ini untuk imunisasi cantin. Nanti biar dikawal oleh Tupai] [Eh, Adinda ... maaf lupa, belum terbiasa.] Kubaca berulang-ulang WA dari Mas Fais. Padahal hanya WA sederhana begitu, tapi aku sudah merasa bahagia sekali. “Weeh, pagi-pagi masih gelap gulita sudah senyum-senyum awas loh, kesambet setan kredit!” tegur Susanti. “Males amat setan kredit, San! Untuk kamu ajalah,” jawabku. “Ogah! Lagi pula Mbak Fatki ini pagi-pagi kok, sudah bengong. Hayo, lagi mikirin Mas Fais, ya?” “Eh, apa? Sok tahu, deh!” elakku. “Bukan sok, tahu, Mbak. Tapi, memang kamu, kan, suka begitu kalau dapat WA dari Mas Fais seperti orang yang kehabisan obat,” kata Susanti lagi dan itu benar. “Sudah, sana salat, San. Nanti keburu subuhnya habis!” titahku. “Tunggu iqomat aja, Mbak. Aku mau salat di mushola sama Bulek,” jawab Susanti seraya berlalu ke luar kamar. [Iya, Mas, insya Allah aku tidak lupa. Terima kasih sudah mengingatkan. Aku nanti berangkat ditemani Susanti sa
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p