“Semua ini gara-gara kamu!” pekik Dokter Risa dan dia menyerangku, tapi aku berhasil menghindar, jadi dia jatuh tersungkur hingga gamisnya tersibak. Posisi jatuhnya tengkurap.Dia jadi pusat perhatian orang-orang bahkan ada yang menertawakannya. Pasti Dokter Risa sangat malu.“Aaaaa! Kurang ajar! Aku akan balas kamu, Fatki! Perempuan bodoh! ”teriaknya.Aku dan Mas Nanang pun menahan tawa sedang ibu terlihat panik. Dokter Risa bangun sendiri dari jatuhnya seraya mengibas-kibaskan bajunya yang mungkin kotor padahal kan, jatuhnya juga dilantai keramik.“Mau Dokter apa? Kita ini tidak saling kenal. Bukankah waktu Mas Fais memperkenalkan kita, Anda justru menolak? Lalu kenapa sekarang sepertinya sok akrab sekali dengan saya? Sampai Anda tahu segala tentang privasi dan tujuan saya ada di tempat ini. Atau jangan-jangan Anda ini penggemar rahasia saya?” kataku menanyakan keisengan Dokter Risa yang hari ini tahu betul tujuanku ke sini.“Enggak usah ge-er begitu, deh! Ngefens kok, sama perempua
bernilai tinggi dan bahkan akan ada manusia yang rela berkotor-kotor demi mendapatkannya. Ibu paham perasaanmu, lalu jika kita membalas apa membuat orang akan jera? Yang ada akan semakin menjadi dendam pada kita. Yakinlah, Nak, semua akan dibalas sama yang di atas tugas kita sebagai manusia hanya bisa mendoakan agar diberi kesadaran.” Nasihat ibu.Aku dan Mas Nanang hanya saling lirik saja. Yang dikatakan ibu pun benar, tapi naluriku sebagai manusia biasa jelas saja kesal dan emosi dikata-katai seperti itu. Mending kalau hanya sekali dua kali ini berkali-kali apa lagi kalau menghinanya depan ibu dan kakakku begitu. Siapa pun kalau imannya masih naik turun sepertiku pasti akan emsoi.Ooh ... ibu maafkan anakmu ini belum bisa jadi seperti yang ibu inginkan. Semoga lain kali aku lebih bisa mengontrol emosiku lagi.“Iya, Bu, maaf. Insya Allah lain kali aku tidak begitu lagi,” jawabku.Mas Nanang mengelus-elus bahuku. Aku yakin Mas Nanang pun setuju dengan yang aku lakukan.“Bu, sudahlah j
“Nak, maafin Ibu,” ucap beliau lirih.“Ya, Allah, Ibu. Iya, tidak apa-apa sudahlah aku pun justru makasih banget karena Ibu sudah selalu mengingatkan aku,” jawabku tulus.Kata Pak kiyai, apa pun pendapat orang tua kita yang tidak sejalan dengan pemikiran kita terutama ibu kita, selagi itu bukan menentang perintah Allah maka diam dan diamlah. Diammu itu akan menjadi keberkahan untukmu. Jadi, itulah yang aku terapkan saat ini dan berusaha membuat ibu nyaman karena aku tahu ibu jadi tidak enak hati padaku.“Ibu, habis ini aku mau shopping, boleh? Aku pingin beli gamis di butik kenalan aku. Bajunya bagus-bagus, Bu. Nanti aku belikan Ibu juga,” kataku mencarikan suasana.“Apa ada uang, Nak? Setahu Ibu, kalau beli baju di butik itu harganya mahal,” tanya ibu khawatir.“Ada dong, Bu! Kan, hasil penjualan tanah kemarin banyak Bu, dan sama sekali belum pernah aku pakai. Bayar kekurangan ruko pakai uang yang dibayar oleh Mas Arman. Kalau untuk beli baju kita insya Allah ada.”“Alhamdulillah, iy
“Sudah. Lihat ini Mas, sudah selesai tinggal Ibu saja.” Kulihat ibu baru setengah menyelesaikan makannya. Beliau memang sudah ada beberapa giginya yang ompong, jadi makannya susah dan ini membuat kami harus ekstra sabar. Kalau tidak ada Mas Dafa sih, tidak apa-apa.“Duduk dululah, Fatki, sepertinya kamu terburu-buru sekali kalau bertemu denganku,” sahut Mas Dafa.“Iya, itu tahu, Mas. Kenapa juga Mas Dafa ke sini?”“Sejak kapan aku ke warung bakso harus izin padamu? Lagi pula ini bukan warung bakso milikmu?” jawab Mas Dafa ketus. Mas Nanag air mukanya sudah berubah.“Tidak ada juga yang bilang kalau ini warung bakso milikku, Mas. Yang aku maksud kenapa kamu tidak cari tempat duduk lain saja? Kan, banyak itu yang kosong,” jawabku tak mau kalah.“Terserah aku lah mau duduk di mana. Kan, aku bayar,” ucapnya lagi.“Kami permisi duluan ya, Nak Dafa,” pamit ibu.“Loh, mau ke mana, Bu? Padahal aku ingin sekali ngobrol dengan Ibu dan juga dengan anak Ibu yang sepertinya sok benar ini,” jawa
“Kurang kerjaan, ya, kamu, selalu saja ganggu urusan orang lain!” bentak Mas Dafa, sementara Mas Fais hanya tersenyum saja.“Bukan urusan orang lain kalau itu menyangkut Mbak Fatki,” jawab Mas Fais. Itu semakin membuat Mas Dafa marah. Terlihat sekali dari giginya bergemeletuk dan deru napasnya yang kasar.“Dia bukan milik siapa-siapa dan siapa pun tidak akan pernah memilikinya kecuali aku.” Mas Dafa tak kalah sengit dia menatap Mas Fais dalam-dalam. Matanya merah.“Aku tahu itu. Tapi, sayangnya aku pun tidak bisa diatur siapa pun, jadi bagiku ya, dia milikku. Terserah saja, mau terima atau tidak. Setahuku Mbak Fatki sangat tidak nyaman denganmu.”“Kamu itu bak pungguk merindukan bulan, Is. Jangan mimpi bisa bersanding dengan Fatki. Sesuatu yang pernah jadi milikku tidak akan ada yang bisa memilikinya,” jawab Mas Dafa.“Terserah sajalah apa katamu, aku tidak mau meladeni anak kecil seperti kamu. Buang-buang waktu saja!”“Jaga ucapanmu wahai bapak doktor! Kamu punya istri saja diabaikan
“Apa! Bu, jangan gegabah. Kasihan Fatki, dia masih trauma biarkan saja dia menikmati kesendiriannya,” bela Mas Nanang.“Benar, Bu, jangan bertindak melakukan sesuatu yang tidak aku suka. Kalau Ibu tidak suka mereka aku bisa kok, menjauhi mereka.”“Bu—kan begitu, Nak, Ibu bukan tidak suka pada mereka Ibu takut terjadi sesuatu pada kamu,” jawab ibu.“Tetap saja, Bu. Menjodohkan Fatki dengan pilihan Ibu pun itu bukan keputusan yang tepat. Apa Ibu mau Fatki lebih tertekan lagi?”“Tidak, Nak, sudah lupakan saja ucapan Ibu barusan. Ibu tidak bermaksud membuat Fatki lebih tertekan lagi. Ibu hanya berujar saja. Kalau tidak mau juga tidak apa-apa,” jawab ibu.“Tidak, Bu, aku tidak mau! Aku masih ingin sendiri,” tegasku.Ibu menghela nafas. Sepertinya beliau memang tidak suka dengan jawabanku dan Mas Nanang. Biar sajalah, aku memang tidak mau dijodoh-jodohkan. “Menghindari masalah dengan menjodokanku dengan orang pilihan Ibu itu tentu saja bukan sesuatu yang baik,” ucapku mencoba membuka jala
“Kasihan, ya? Kok, Ibu jadi tidak tega.” “Sama, aku pun juga, Bu.” “Ini sudah jadi resiko dia dan jalan hidup dia, Nduk, Makanya kita harus jadi perempuan baik biar tidak bernasib seperti itu. Banyak sekarang contohnya perempuan-perempuan begitu.” “Iya, Bu.” Kami gegas pulang setelah membayar semuanya. Ketika kami sedang menunggu mobil, Ika memperhatikan kami. Sebenarnya aku ingin menyapa, tapi takut salah paham lagi. Dia itu kan, sifatnya sebelas dua belas sama Reni. “Dia memperhatikan kamu terus, Nduk, mungkin ingin bicara dengan kamu,” ucap ibu. “Iya, Bu, tapi biarlah kalau dia tidak menyapamu duluan aku tidak mau. Takut salah paham nanti malah terjadi keributan.” “Sepertinya dia sakit. Kurus dan pucat.” “Iya, Bu, waktu itu Intan lagi sakit aku bertemu Mbak Sulis, katanya memang Ika lagi sakit.” “Ya, Allah kasihan. Apa itu tadi majikannya lagi? Kok, enggak dikasih izin, sih, sakit diajak pergi saja.” “Mungkin, Bu.” Ibuku memang tidak tahu masalah rumah tangga Ika dengan al
***“Innalillahiwainnailaihiroji’un ....” Kubaca dengan gemetaran pesan WA dari Mbak Wulan. Dikirim tadi waktu Maghrib. Sedang dari tadi aku tidak membuka HP. Begitu selesai salat Maghrib langsung masuk ke bioskop dan sekarang jam 8 malam baru kubaca.“Siapa yang meninggal, Mbak?”“Mbak Sintia, San. Ini yang WA aku Mbak Wulan, adiknya Mas Fawas.”“Innalilahi waInnailaihiroji’uun ... kasihan banget. Berarti kecelakaan kemarin itu parah, Mbak?”“Sepertinya, iya, San.”“Berarti anaknya juga ikut meninggal, Mbak?”“Ya, jelas itu. Kan, masih dalam kandungan Mbak Sintia.”“Siapa, Dik?” tanya Mas Nanang.“Oh, ini, Mas kerabat Mas Fais meninggal,” jawabku. Meski Kujelaskan juga Mas Nanang tidak akan paham.“Gimana itu ya, Mbak. Kok, aku Kasihan, meski dia itu jahat.”“Ya, tidak gimana-gimana, San, sudah takdir. Semoga pas belum meninggal Mbak Sintia sudah sempat meminta maaf pada orang-orang di sekelilingnya dan juga sudah sempat bertaubat.”“Aamiin ... iya, Mbak.”“Kita takziah apa enggak, M
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p