“Apa! Bu, jangan gegabah. Kasihan Fatki, dia masih trauma biarkan saja dia menikmati kesendiriannya,” bela Mas Nanang.“Benar, Bu, jangan bertindak melakukan sesuatu yang tidak aku suka. Kalau Ibu tidak suka mereka aku bisa kok, menjauhi mereka.”“Bu—kan begitu, Nak, Ibu bukan tidak suka pada mereka Ibu takut terjadi sesuatu pada kamu,” jawab ibu.“Tetap saja, Bu. Menjodohkan Fatki dengan pilihan Ibu pun itu bukan keputusan yang tepat. Apa Ibu mau Fatki lebih tertekan lagi?”“Tidak, Nak, sudah lupakan saja ucapan Ibu barusan. Ibu tidak bermaksud membuat Fatki lebih tertekan lagi. Ibu hanya berujar saja. Kalau tidak mau juga tidak apa-apa,” jawab ibu.“Tidak, Bu, aku tidak mau! Aku masih ingin sendiri,” tegasku.Ibu menghela nafas. Sepertinya beliau memang tidak suka dengan jawabanku dan Mas Nanang. Biar sajalah, aku memang tidak mau dijodoh-jodohkan. “Menghindari masalah dengan menjodokanku dengan orang pilihan Ibu itu tentu saja bukan sesuatu yang baik,” ucapku mencoba membuka jala
“Kasihan, ya? Kok, Ibu jadi tidak tega.” “Sama, aku pun juga, Bu.” “Ini sudah jadi resiko dia dan jalan hidup dia, Nduk, Makanya kita harus jadi perempuan baik biar tidak bernasib seperti itu. Banyak sekarang contohnya perempuan-perempuan begitu.” “Iya, Bu.” Kami gegas pulang setelah membayar semuanya. Ketika kami sedang menunggu mobil, Ika memperhatikan kami. Sebenarnya aku ingin menyapa, tapi takut salah paham lagi. Dia itu kan, sifatnya sebelas dua belas sama Reni. “Dia memperhatikan kamu terus, Nduk, mungkin ingin bicara dengan kamu,” ucap ibu. “Iya, Bu, tapi biarlah kalau dia tidak menyapamu duluan aku tidak mau. Takut salah paham nanti malah terjadi keributan.” “Sepertinya dia sakit. Kurus dan pucat.” “Iya, Bu, waktu itu Intan lagi sakit aku bertemu Mbak Sulis, katanya memang Ika lagi sakit.” “Ya, Allah kasihan. Apa itu tadi majikannya lagi? Kok, enggak dikasih izin, sih, sakit diajak pergi saja.” “Mungkin, Bu.” Ibuku memang tidak tahu masalah rumah tangga Ika dengan al
***“Innalillahiwainnailaihiroji’un ....” Kubaca dengan gemetaran pesan WA dari Mbak Wulan. Dikirim tadi waktu Maghrib. Sedang dari tadi aku tidak membuka HP. Begitu selesai salat Maghrib langsung masuk ke bioskop dan sekarang jam 8 malam baru kubaca.“Siapa yang meninggal, Mbak?”“Mbak Sintia, San. Ini yang WA aku Mbak Wulan, adiknya Mas Fawas.”“Innalilahi waInnailaihiroji’uun ... kasihan banget. Berarti kecelakaan kemarin itu parah, Mbak?”“Sepertinya, iya, San.”“Berarti anaknya juga ikut meninggal, Mbak?”“Ya, jelas itu. Kan, masih dalam kandungan Mbak Sintia.”“Siapa, Dik?” tanya Mas Nanang.“Oh, ini, Mas kerabat Mas Fais meninggal,” jawabku. Meski Kujelaskan juga Mas Nanang tidak akan paham.“Gimana itu ya, Mbak. Kok, aku Kasihan, meski dia itu jahat.”“Ya, tidak gimana-gimana, San, sudah takdir. Semoga pas belum meninggal Mbak Sintia sudah sempat meminta maaf pada orang-orang di sekelilingnya dan juga sudah sempat bertaubat.”“Aamiin ... iya, Mbak.”“Kita takziah apa enggak, M
Assalamualaikum selamat pagi semuanya. Bantu follow akunku ya, teman-teman. Terima kasih.🌸🌸🌸“Mbak, di depan ada pangeran!” teriak Susanti. Aku yang sedang memakai jilbab tentu saja sudah paham pasti itu Mas Fais.“Kok, biasa aja sih, Mbak? Padahal kan, ada Mas Fais?” ujar Susanti lagi.“Katakan padanya kita berangkat sendiri saja,” kataku.“Oke, Bos!” jawab Santi, dia turun ke bawah.Aku membuka HP-ku barang kali ada kabar dari Citra tentang penyakit Mas Arman.Gara-gara itu pun aku jadi sering ke kamar mandi untuk mengecek dan aku cari informasi dari google tentang penyakit kelamin yang diderita Reni.“Takziah ke mana, Dik?” tanya Mas Nanang.“Ke rumah teman, Mas?”“Bareng Fais?” tanyanya lagi.“Enggak, Mas! Aku sama Susanti saja. Kan, lebih aman lagi pula aku masa Iddah.”“Hati-hati jaga diri, ya, Dik?”“Iya, Mas.”“Loh, San, kok, kamu pakai baju hitam-hitam begitu?” tanyaku heran.“Lahh, kan, melayat Mbak, berkabung. Jadi, ya, pakai baju hitam,” jawab Santi.“Mbak, Fatki, kok,
“Aamiin ... Mbak, semoga Allah ijabah doa-doa kita.”“Ngomong-ngomong gamisnya kurang berapa lagi, San?“20 stel, Mbak. Kemarin baju pesta sudah diambil uangnya sudah aku masukan laci sudah aku catat juga.”“Alhamdulillah ... kamu keren, San.”“Iya, kan, dibantuin Bulek juga. Kita butuh orang lagi deh, Mbak.”“Cari saja, San. Satu dulu, tapi yang pinter kayak kamu, ya?”“Siap, Bos! Alhamdulillah aku dibilang pinter.”“Iya, memang kok, biar kita enggak terlalu banyak ngajarin juga nanti malah waktunya habis. Kita nanti beli mesin jahit 1 lagi, San.”“Alhamdulillah ... Mbak, banyak uang, ya?”“Dari hasil jual tanah kemarin, San.”“Alhamdulillah ... semoga berkah untuk usaha Mbak Fatki, ya, Mbak?”“Aamiin ... San, berkah untuk kita semua.”“Mbak, tengok ke belakang deh, mobil itu ngikutin kita enggak, sih?”Aku langsung menoleh ke belakang. Benar saja itu, mobil yang tadi terparkir tidak jauh dari ruko.“Mungkin memang searah dengan kita, San.”“Iya, mungkin saja, Mbak. Palingan juga Mas
“Lepas! Atau kami tuntut! Anda tidak tahu siapa saya!” Mbak Wulan tiba-tiba merebut ponselnya dari tanganku.“Tuntut saja, Kak, kami pun tidak takut!” tantang yang punya salon.“Baik, siapkan pengacara terbaik kalian hadapi kami di pengadilan. Pemilik Mega Property yang tempatnya pun kalian sewa untuk membuka salon itu,” tegas Mbak Wulan lalu telepon itu dimatikan.“Bu, tolong panggil asisten rumah tangga Ibu, aku mau minta tolong sama dia,” titah Mbak Wulan.Tak lama art di rumah ini menghampiri kami.“Bibi, minta tolong cari tukang salon kecantikan di dekat rumah ini dan bawa ke mari. Berapa pun bayarannya bawa ke sini,” pinta Mbak Wulan. Bibi itu tetap berangkat meski terlihat bingung.“Ada apa ini? Ini tukang memandikan jenazahnya sudah datang. Sintia siap dimandikan, Bu,” tanya kakaknya Mbak Sintia.Ibunya Mbak Sintia menjelaskan duduk perkaranya pada anak laki-lakinya itu.“Memang wajib dilepaskah?”“Iya, Pak, betul memang harus dilepas. Kami akan periksa kondisi jenazah dulu, b
“San, kita cari Masjid dulu, yuk! Kita salat duha dulu,” ajakku pada Susanti. Meski, aku lemas sekali, tapi aku paksakan untuk berdiri dan berjalan.“Apa di dalam tidak ada Musholanya, Mbak? Di luar panas sekali. Mbak tahu kan, aku masih perawatan biar glowing,” jawab Susanti.Kujawil hidungnya. “Tidak ada, San, ini kan, rumah sakit milik umat Kristen. Sekali pun ada pasti ngantre. Sudahlah jalan sebentar di depan pasar sana ada masjid besar lebih nyaman.”“Baiklah, Mbak Farki sudah baikan?”“Alhamdulillah sudah. Nanti dibawa salat pasti akan lebih baik lagi. Ayok!”Kami jalan beriringan, saat melawati tempat pendaftaran kami bertemu lagi dengan Mbak Sulis. Apa dia membooking dokter untuk Ika lagi?“Mbak Sulis!” teriak Susanti. Mbak Sulis pun tidak kalah hebohnya menyambut panggilan Susanti.Mereka lalu saling berpelukan. Untung saja orang-orang di sekitar kami cuek, sibuk dengan tujuannya masing-masing kalau tidak pasti mereka berdua sudah dimarah karena mengganggu kenyamanan orang l
“Iya, dan Mas Arman pun sakit, tapi Citra belum kasih kabar lebih lanjut. Hanya memberi tahu kalau Mas Arman dirawat di rumah sakit,” jelasku.“Ya, Allah, ngeri banget sih, Mbak. Lalu ....” Mbak Sulis menatapku.“Aku tidak tahu Mbak, aku belum cek up. Aku takut sekali.”“Sabar Mbak, banyak berdoa. Hanya doa yang bisa merubah takdir kita.” Aku mengangguk.“Ika, apa sudah parah banget, Mbak?”“Kita dokter sih, kesehatan Ika membaik, tapi dia memang tidak boleh kecapekan. Kemarin kan, dia habis jalan-jalan itu, makanya kecapekan. Besok pasti kalau cek lagi dia dimarah dokternya. Kan, memang dia harus pola hidup sehat.” Aku mengangguk paham.“Mbak Sulis, hati-hati jangan pakai apa pun milik Ika.”“Iya, Mbak aku juga sudah tahu. Lagi pula aku sejak dulu tidak suka juga pakai barang-barang milik orang lain.”“Syukurlah kalau begitu. Kira-kira siapa ya, yang membawa virus itu?”“Ya, salah satu dari tiga orang itulah, Mbak.”“Iya, maksudnya kalau yang bawa adalah Mas Arman sudah pasti sejak
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p