Orang-orang memandang nyaris tak percaya pada mata mereka sendiri ketika Svida keluar dari pintu gudang pabrik itu. Ada percikan darah di sekujur tubuh Svida. Kulitnya yang mulus tampak lebam dan banyak luka tergores. Sebagian jins yang dikenakannya basah oleh darah, menempel ketat di pahanya. T-shirt yang dikenakannya tak lagi berbentuk, sangat kusut dengan noda darah bercampur debu.Namun yang membuat orang-orang kehilangan kata-kata adalah raut muka Svida yang merupakan perpaduan antara kepucatan dan kekejaman. Dengan heran mereka melihat wajah cantik itu bersaput dingin-beku kebrutalan yang belum seluruhnya luruh. Dan mata yang menyorot itu—merah, keras dan tajam—seakan mata yang telah melihat sesuatu yang belum pernah dilihat oleh siapapun di situ. Mata liar yang sorotnya dipertajam oleh pengalaman kegilaan dan petualangan yang tak pernah bisa dibayangkan.Bukan kali itu saja Papi melihat sorot mata Svida yang aneh. Jika melihat
Minggu yang gerah berlalu. Angin terasa makin kering ketika matahari mencapai puncaknya di tengah hari. Sam menatap bayangan pepohonan makin menipis dan debu beterbangan ketika angin menghempas di sela-sela semak. Di tengah ruang yang porak poranda itu, Sam berusaha memejamkan matanya. Namun cahaya dari luar mengusiknya.Dalam perasaannya bising lalu-lintas di balik bukit itu terdengar keras di telinganya. Kemana Rastri dan orang-orang pergi? Mengapa mereka meninggalkan rumah terbuka seolah-olah mereka pergi tergesa-gesa? Dengan malas Sam bangkit dan menutup tirai-tirai di sekitarnya. Ia kembali telentang di sofa tua di ruang tengah dengan desah letih, dan mulutnya komat-kamit seakan menghitung mundur dari seratus ke satu. Sebuah bayangan dari pintu membuatnya terbangun. Dalam kebingungannya Sam perlahan menyadari orang yang menatapnya di ambang pintu itu adalah Jani. Dengan refleks Sam meloncat dari sofa, akan tetapi entah bagaimana
Terkurung di kamarnya, Sonia seharian berusaha menentramkan dirinya yang terguncang. Kamarnya menjadi terasa sangat pengap, namun sebaliknya ia menemukan sedikit ketentraman yang aneh, yang hilang-timbul seirama gundah gelisah hatinya yang tak kunjung henti. Hentikan. Hentikan. Hentikan, pleaaaaase. Batinnya berteriak kalang-kabut. Namun perasaannya sama sekali tak mampu dikendalikannya. Akal sehatnya hanya mampu menatap dengan memelas bagaimana hati dan perasaannya menggelinding bagai bola bowling, menjauh dan menabrak semua bangunan ketenangan yang sia-sia dibangunnya di dalam jiwa.Sonia merasa luluh lantak. Ia merasa telah retak dan akan pecah dalam kegilaan yang disulut ketakutan.Dan kengerian. Kengerian yang tak berujung.Bagaimana Svida mampu mencapai keberaniannya yang demikian solid membatu dan menghadapi para vampir dengan gagah berani, sementara Sonia ha
Senja di luar diawali dengan kesunyian yang mencurigakan. Semua penghuni alam semesta seolah ditenung menjadi batu dan kini hanya tinggal angin yang bertiup dalam bisikan-bisikan yang bergaung dalam sepi. Sonia belum sembuh dari rasa dingin yang menjalar di hatinya.Dan setelah mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin, rasa dingin itu malah menggila membuat seluruh dirinya makin menggigil gemetar. Dalam dinginnya, ia merasakan demam yang membuat kepalanya panas. Dan menatap kedua tangannya yang pucat dan kisut karena kedinginan, Sonia membayangkan bentuk hatinya sendiri yang kurang lebih sama.Barangkali gue mau mati, batin Sonia kecut.Mungkin lebih baik gue mati.Mengapa senja hari ini terlihat begitu beda? Firasat buruknya menguat di dada. Dan ia jadi mengingat senja hari dua tahun lalu saat nenek yang disayanginya menjelang ajal. Senja yang sama.Langit merah. Sunyi di luar. Daun
“Lepaskan!” Lelaki itu hanya tertawa kecil, melihat tingkah Sonia yang kalang-kabut. Para gadis hanya menyaksikan mereka dengan wajah seperti orang terhipnotis. Napas Sonia terengah-engah ketika berhasil melepaskan diri. Kedua kakinya terasa lemas seperti bubur. Sebaliknya jiwanya yang lesu seperti bangkit mengingatkan Sonia atas bahaya mengancam: lelaki itu.Sonia mundur beberapa langkah. Punggungnya menemukan dinding dingin. Tangga ke atas hanya beberapa langkah. Tetapi Sonia menyadari lelaki itu sangat sigap—dan nekat. Mengapa para gadis itu hanya diam melihat ia diperlakukan tidak semestinya?Pada saat itulah ponselnya berbunyi. Sonia mendongak menatap lelaki yang berkacak pinggang, berdiri di hadapannya.“Terima aja teleponmu. Kamu pikir aku akan melarangmu menerimanya? Seperti kataku, aku hanya mau berkenalan,” ujar lelaki itu. “Namaku
“Apakah para vampir telah lupa akan keinginan bebas untuk memilih, yang merupakan hak setiap orang?” Ardian tersentak. Lalu dibutakan oleh kegusaran yang mendadak meluap ke kepalanya, ia melemparkan Sonia ke samping. Dan ia berbalik menghadap seseorang yang telah berani-beraninya menganggu. Di depannya seorang lelaki sedang duduk di sandaran sofa. Sementara para gadis bertebaran di sekitar situ—wajah-wajah bersimbah airmata yang ditutupi rambut panjang—dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Yang membuat Ardian gusar: ia benar-benar tak menyadari kehadiran lelaki itu sampai lelaki itu menegurnya. Dan ketenangan yang dimilikinya terasa sangat mengganggu, karena mengusik seluruh kendali yang dimilikinya atas situasi di tempat ini. Dan lelaki yang baru datang itu sama sekali tak terganggu oleh pemandangan seorang perempuan sekarat yang bergelimang darah di lantai. “Kau tahu akibat mengusik seo
Sonia berhasil lebih cepat mencapai kamarnya dan meskipun dengan kegugupan memuncak ia berhasil mengunci pintunya. Tetapi tubuhnya terlonjak kaget saat gebrakan kuat di pintu membuat seluruh kamar bergetar hebat. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mampukah Sam mengatasi dua orang vampir sekaligus? Mengapa ia lari membiarkan Sam sendirian melawan vampir-vampir ganas itu? Tapi apa yang bisa ia lakukan? Brak! Gedoran lagi di pintu. Sonia mendadak merasa yakin vampir itu akan menghancurkan pintunya dalam dobrakan keempat. “Sonia. Bukakan, Sonia,” bujuk Ardian. “Aku tidak berniat jahat. Aku bertamu baik-baik, bukan?” “Pergi, vampir busuk!” “Aku telah memintamu dengan sopan. Akhirnya kau harus tahu, kau tak mungkin meremehkan seorang vampir. Apapun alasanmu. Aku datang dengan niat baik, tanpa kekasaran. Makanya aku heran dengan sikapmu yang terlalu berlebihan.” “Ber
Beruntung mereka tak kesulitan mendapatkan taksi. Sejak sepuluh menit yang lalu, Rastri terus menerus menelponnya, meminta untuk lekas datang. Dan tak ada yang bisa dilakukan Sam selain menyuruh sopir menekan gas lebih dalam. Sonia meringkuk di samping Sam—dengan dua tangannya memegang lengan kuat Sam—seolah semua tulangnya telah diambil dari tubuhnya. Telepon Rastri telah mengembalikannya ke alam nyata. Bahwa yang tengah ia alami bukan murni kisah cinta, antara dia dan Sam, akan tetapi kisah penyerbuan vampir yang mengerikan. Sesekali ia memejamkan mata, namun ia menyadari kejadian yang baru saja menimpanya akan berubah menjadi mimpi buruk yang akan selalu mengganggu tidurnya. Bahkan kengerian yang barusan menjalari setiap senti permukaan kulitnya tak mampu diusirnya seperti sekawanan burung gagak yang mengintai bangkai. Paling tidak, Sonia berharap Ardian tidak menghantui tidurnya. Ia mendesahkan desahan yang keseribu sekian ketika mobil ber