Sufian diam cukup lama dengan pandangan terpusat pada satu objek tak bergerak sebab pikirannya terus memutar mencari solusi. Pun di sampingnya, Sifa juga ikut larut dalam situasi saling diam karena dirinya juga bingung harus menyertakan alasan apa lagi sedangkan Sufian sudah melarangnya berhenti bicara. Dengan gerakan tangan yang perlahan, Sifa menyentuh lengan suaminya supaya berhenti melamun.Laki-laki itu menoleh hampir terkejut lalu menautkan kedua alis sebagai bentuk pertanyaan. Sifa menggeleng cemas karena rasa bersalah perlahan menyergap hati serta pikirannya. Ia merasa tidak tahu diri sudah membuat Sufian yang sedang sakit akibat kecelakaan malah semakin bertambah beban pikiran."Biar aku pikirkan lagi dulu," kata Sufian hendak mencegah Sifa untuk bicara lagi."Kali ini aku minta maaf! Aku terlalu egois, tapi Ustaz Sufi jangan bersikap begini, aku jadi gak tega lihatnya!" jawab Sifa bernada menekankan."Sifa, kalau kamu sembunyikan identitas pernikahan kita dari temen-temen ka
Sifa sudah mengatakan statusnya sebagai istri seorang laki-laki baik, tapi ia tak mengatakan kalau suaminya itu adalah putra kiai di pondoknya dulu. Bahkan gadis itu menceritakan pada teman-temannya bahwa pernikahan mereka didasari oleh restu kiai dan kedua keluarga, bukan sebab perjodohan tak jelas yang mana untuk mencari tahu akar alasannya pun harus sesulit yang tak terbayangkan.Sifa sudah seminggu bekerja di rumah makan sebagai koki junior karena memang dirinya yang pandai mengolah masakan. Sementara Ratih menjadi pramusaji dan Cia bekerja di sebelah rumah makan tempat kedua temannya bekerja sebagai staf kasir di kafe. Sejauh ini baik Ratih maupun Cia belum juga melihat wajah suami Sifa karena Sufian memang tak pernah mengantar istrinya sampai ke halaman rumah makan. Sekalipun pernah maka Sufian sengaja memakai masker, helm, serta jaket supaya wajahnya tak terekspos banyak.Pertama kali Sufian menjelaskan bahwa Sifa bekerja atas keinginannya mencari pengalaman maka Umi dan Abi me
Hari-hari Sifa betulan berubah setelah memutuskan mengabdikan diri menjadi istri yang baik untuk Sufian. Dalam kondisi tersebut, karirnya juga melenjit bahkan beberapa orang yang menjadi pengunjung restoran tempat ia bekerja sungguh ingin bertemu Sifa saking lezatnya menu masakan yang tersaji. Katanya ketika mencicipi masakan yang dimasak oleh Sifa maka rindunya pada kampung halaman terutama pada masakan ibu menjadi bertubi-tubi. Pun bagi yang semula tidak memikirkan apapun selain makan untuk membuat diri kenyang menjadi ingin lagi dan lagi datang.Atasan Sifa meminta bertemu saat jam pulang tiba. Sifa mendatangi laki-laki paruh baya seusia ayahnya dengan perasaan segan karena tidak biasanya ia dipanggil padahal orang-orang sejadwal dengannya sudah pulang. "Silakan duduk, Nak! Silakan!" titah pak atasan dengan ramah.Selepas mematuhi perintah tersebut, barulah Sifa mengetahui alasan dirinya dipanggil menghadap karena ingin dinaikkan jabatan menjadi seorang manager produksi. Sifa tida
"Umi kenapa repot-repot datang ke sini sendirian, padahal Sifa bisa ke rumah Umi kalau memang ada hal yang mendesak untuk dibicarakan," tegur Sifa setelah berhasil membimbing ibu mertuanya masuk dan duduk di sofa. Sufian juga ada di sana sehingga bertiga mereka berkumpul di ruang tamu sebab penasaran dengan tujuan datangnya Umi.Setelah mengelus puncak kepala Sifa dengan lembut, tanpa banyak bicara lagi Umi meraih tasnya dan tampak mencari sesuatu di dalam sana. Sifa menoleh pada Sufian sejenak untuk bertanya tapi laki-laki itu juga tidak tahu apa-apa sehingga hanya menjawab dengan gelengan kepala.Umi akhirnya menyodorkan dua buah kertas yang tersegel rapi dalam plastik bening. Sifa dan Sufian semakin bingung dibuatnya sehingga mereka saling bertatapan kembali untuk sesaat sebelum meraih masing-masing satu dari dua kertas di meja."Undangan? Sufian dan ...." Sifa tak sempat melanjutkan ucapannya sebab terlanjur terkejut dengan tulisan itu."Umi, ini semua Umi sendiri yang menyiapkan?
Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa Sifa selain sudah menjadi seorang manager produksi di rumah makan ternama milik Diono atau lebih akrab disapa Pak Atasan oleh semua orang, gadis itu juga selalu menjadi murid bagi Sufian di rumah. Sebenarnya ia pantas-pantas saja jika menerima tawaran Umi untuk membantu mengajar di pondok pesantren, tetapi mentalnya masih belum siap apalagi jika nanti harus mengajar teman-teman seusia dengannya atau justru yang berumur di atas dirinya. Sudah seminggu sejak kedatangan Umi ke rumah mereka saat itu, Sifa diyakinkan oleh Sufian bahwa tak akan ada yang menuntut segera dapat cucu dari pasangan itu sebab bukan Sufian satu-satunya putra kiai. Ada dua kakaknya yang sudah lebih awal menikah bahkan sekarang sudah memiliki dua bahkan tiga anak dari pernikahannya, jadi Sufian meminta istri kecilnya untuk tidak mengkhawatirkan hal tersebut. Lagi pula Sufian berjanji tak akan pernah mengganggu proses pertumbuhan karir istrinya yang sekarang sedang berada d
Sifa sudah mendapati Sufian di dapur sedang memasak sesuatu. Kaus lengan pendek polos lengkap dengan sarung di bagian bawahnya membuat Sifa agak sulit mengatur degup jantung supaya lebih teratur. Laki-laki itu menoleh sebentar saat Sifa menghampiri dengan mengasongkan kantong belanjaan yang barangkali ada sesuatu kebutuhan dari apa yang dibelinya."Aku pikir kamu belum bangun, Fa," ucap Sufian sekilas."Aku habis belanja ke depan, A. Aku ... aku mau nanya sesuatu boleh?" Ragu-ragu gadis itu mengajukan permintaan."Ada apa?" Sufian masih berkutat pada pekerjaannya."Aa beneran nggak apa-apa kalau kita berdua tunda punya anak?" Seketika itu raut wajah Sufian berubah heran. Untuk pertama kalinya Sifa menanyakan pendapatnya mengenai keseriusan rumah tangga yang mereka jalani dengan bersinggungan soal anak. Kompor dimatikan dan Sufian sudah menghadap sepenuhnya pada sosok perempuan yang berdiri di hadapannya sekarang. Tatapan mereka beradu dalam sekian menit sebelum Sifa menunduk sebab ta
"Kita akan lakukan secara halus, jangan biarkan Sifa curiga dengan apa yang kita juangkan selama ini. Selama ini bahkan dia sudah mendapat kasih sayang yang agak kurang masuk akal jika diberikan oleh mertua, jangan sampai dia menyadari sebelum waktunya. Dia pasti akan tahu seiring berjalannya waktu." Abi menjelaskan kecemasannya.Hati Sifa terasa mencelos atas apa yang didengar barusan. Peduli amat soal tata krama adab-adaban di rumah tersebut, yang pasti saat ini pikirannya mendadak gelap serta tak dapat diajak berpikir jernih. Di ruang keluarga, kiai dan istrinya sedang membicarakan strategi supaya Sifa mau meninggalkan pekerjaan di rumah makan dan kembali ke lingkungan pesantren. Semua pembicaraan itu berhasil didengar oleh orang yang sedang dibicarakan. Sifa meneteskan air tanpa aba-aba ketika kalimat-kalimat yang terdengar semakin menjelaskan bahwa ia sebenarnya adalah putri kandung dari kiai dan umi. Namun bagaimana bisa? Ada apa sebenarnya selama ini?"Abi pikirkan dulu bagaima
Sufian dan Sifa makan malam bersama di rumah. Tadi saat Sufian pulang, Sifa menjelaskan alasan matanya sembab dengan dalih sengaja menonton film berujung sedih dalam ponsel saking bosan diam di rumah. Setelah mendengar penjelasan Umi tadi, Sifa memutuskan langsung pulang saja tanpa menemui suaminya. Ia mengirim pesan singkat melalui ponsel bahwa berkas yang diminta sudah dirinya berikan pada Umi. Sufian tak banyak protes tetapi hanya mengingatkan supaya istrinya tidak kecanduan menonton film sedih. Lama-lama Sufian juga akan ikut prihatin melihat betapa sembabnya mata sang istri.Mereka menghabiskan makan malam dalam diam bahkan diam-diam pula Sifa mengamati Sufian yang menundukkan kepala saat menyuapi mulutnya dengan suapan makanan. Gadis itu kembali ingat kalimat-kalimat yang dilontarkan Umi sehingga kembali matanya memanas. "Hei, Fa! Kok masih aja nangis sih?" tegur Sufian tak terima. "Ah ... nggak kok, A, Aku masih agak kepikiran sama ending filmnya aja, aku masih kebawa perasaa
"Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Abi dan Umi setuju untuk menyembunyikan status Sifa yang sebenarnya dari publik. Mereka akan berupaya bersikap seolah menganggap Sifa sebagai menantu saja terutama di hadapan para santri yang mana tak ada yang tahu kebenaran bahwa Sifa adalah putri kandung mereka. Hari itu bahkan dua kakaknya datang untuk mendengarkan apa yang ingin kiai sampaikan tentang Sifa dan masalah yang menerpa. Dua kakaknya yang semula tidak percaya pun segera bergantian memberikan kalimat penguat untuk adik kecil mereka yang di usia belia sudah menjadi perempuan yang berpisah dari suami.Rutinitas Sifa di sana kian bertambah menyesuaikan seperti ikut membantu mengajar atau membantu para pengurus membuat dan menyiapkan suatu acara jika waktu kuliahnya sedang senggang. Sifa pun kian menjadi dekat dengan Halima yang mana tak tahu soal Sufian sebab sudah lama tak juga saling berhubungan. Halima percaya saja saat Sifa mengatakan kalau suaminya melanjutkan kuliah di luar negeri karena beberapa alasan dan masih seri
"Jangan pergi, Aa ...."Umi tiba-tiba mendorong tubuh Sufian yang mendekapnya hingga tubuh pemuda itu terdorong sepenuhnya ke belakang. Ia juga menarik Sifa agar tak mendekat pada laki-laki yang sudah bukan suaminya lagi. Sufian segera berdiri mengikuti Umi yang kini memandangnya marah. Sifa berusaha menenangkan Umi untuk tidak menyakiti Sufian, meski dirinya sangat hancur karena diceraikan tapi ternyata hati Umi jauh lebih hancur melihat putrinya disakiti oleh orang yang dianggap putranya sendiri."Dia tidak seperti orang berhati!" tegas Umi begitu marah."Jangan mengutuk apapun untuknya, Umi, jangan, aku mohon ...."Syukur momen menegangkan itu berakhir segera oleh hadirnya Abi yang menarik Sufian dari para perempuan di kamar itu yang terus saja menuntut. Abi meminta Sufian untuk segera berangkat saja meninggalkan tempat itu karena jika tetap tinggal maka semuanya tak akan pernah selesai. Setelah keluar dari kediaman kiai lantas baru beberapa langkah Sufian menjauh, sebuah derap lan
Sufian melangkah lebih dahulu dengan agak tergesa-gesa, di belakangnya Sifa mengikuti dengan kepala yang menunduk tak wajar seolah sepanjang jalan yang terpenting berada di bawah. Bekas tangis di matanya masih terlihat jelas sehingga Sufian lah yang meminta perempuan itu menunduk selama perjalanan agar tak ada siapapun yang menyadari lalu beranggapan aneh. Perih sekali hatinya ketika diminta berbohong seperti itu padahal Sifa ingin berteriak menjerit mengeluarkan bahwa apa yang sesungguhnya ia terima dari sang suami itu sangat menyakitkan.Kiai dan istri sedang sarapan di meja makan, sesekali terselip canda sehingga tawa pun pecah. Saat pintu terbuka dan melihat Sufian bersama putri mereka datang dengan raut wajah tak mengenakan, Umi beranjak menghampiri mereka di ruang tengah. Pun dengan Abi, dibantu tongkatnya yang kuat, kakinya ikut dilangkahkan meninggalkan meja makan. Dilihatnya Sufian yang sudah duduk itu berdiri sejenak karena kedatangan sang kiai."Ada apa ini, Yan?" Kiai men
Dengan bahasa yang begitu mudah dimengerti dan tidak terfokus pada kesalahan diri, Umi berhasil menjelaskan pada Sufian mengenai bertemunya mereka di panti asuhan kala itu. Lantas, dengan bahasa yang baik pula istrinya pak atasan menjelaskan dengan tangis yang berderai-derai bagaimana dahulu dirinya amat menyesal karena sudah menitipkan Sufian di panti asuhan ketimbang mengasuhnya langsung. Meski begitu tetap saja Umi memuji keberanian ibu kandung Sufian untuk menitipkan anaknya ketimbang harusa mengakhiri hidupnya.Dalam kasus kerumitan hubungan darah tersebut, Sifa yang merasa paling terpojok karena seolah-olah sengaja menyembunyikan semuanya dari Sufian supaya laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Sedikitnya Sifa tertohok oleh ucapan Sufian yang mengatakan kalau ia bagai tak dianggap suami sebab apapun yang Sifa anggap penting tak pernah berusaha dibagi. Fakta sebesar itu pun Sifa simpan seorang diri.Selesai pertemuan itu diakhiri dengan pelukan dan salaman persaudaraan dengan harapan
Sesuai permintaan pak atasan, Sifa sudah berhasil membawa Sufian untuk mampir makan di restoran keinginannya dengan alasan ingin rayakan perpisahan dengan dunia kerja. Sufian juga memaklumi bagaimana Sifa menceritakan amat sedihnya berpisah dengan orang-orang baik di tempat kerjanya. Tiba-tiba saja Sufian tersenyum ramah menyambut kedatangan pak atasan beserta istrinya yang berjalan ke arah meja mereka. Sifa pun segera menyarankan Sufian agar mereka bergabung saja untuk makan siang kali itu. Tiada kecurigaan dalam diri Sufian sehingga senang hati saja ia setuju.Menjelang makanan di piring Sufian habis, pak atasan memanggil namanya dengan sopan sebagaimana biasa. Sifa terlihat lebih gugup daripada kedua orang tua Sufian yang akan menjelaskan fakta di detik selanjutnya. Melihat sang istri agak murung, Sufian lekas menggenggam tangan perempuan itu lalu mengangguk sekilas seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Sifa tidak tahu harus dengan cara apa ia mengatakan kalau hari ini bu
Sifa memasuki restoran sebagaimana biasa untuk bisa menjadi salah satu pekerja yang baik. Sebelum memulai semuanya ia lebih dahulu mengecek perlengkapan dapur, bahan baku produksi, dan juga kebersihan di sana. Setelah dirasa cukup baik maka ia hanya menatap kosong area dapur tersebut sembari menunggu yang lain datang. Ia berjanji akan merindukan suasana itu suatu saat nanti. Sekarang adalah hari terakhir Sifa bekerja di sana karena nanti saat jam istirahat maka ia akan menemui pak atasan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Pekerjaannya sebagai mahasiswa kerap membuat Sifa kewalahan jika harus sambil bekerja juga, sebagaimana saran Sufian. Dirinya juga sudah meminta pendapat Ratih dan gadis itu pun menyarankan hal demikian sama dengan Sufian supaya berhenti saja bekerja.Hari ini Sifa habiskan semangatnya untuk bekerja, sebab ia tahu betul mulai besok tak akan pernah datang lagi ke tempat itu, tak akan bertemu teman kerjanya yang baik-baik, lalu perlahan pun ia akan tergantikan o