Dua bulan kemudian ....Hening dini hari menyelubungi apartemen di lantai delapan. Lampu-lampu kota masih berkedip di kejauhan. Sementara cahaya remang dari dapur menyorot meja makan tempat Aruna duduk berdua dengan Giska. Di sebelah meja ada Mbak Sari, pengasuh setia mereka sibuk menyiapkan dua mangkuk sup ayam hangat dan beberapa potong kurma.Ini hari ketiga mereka sahur hanya bertiga. Dan ini tahun pertama di mana Aruna tak menjalani puasa bersama dengan sang suami."Ma, nanti kita buka puasanya bareng Papa, kan? Kemarin Papa bilang ngajakin kita buka puasa bareng?" tanya Giska polos. Tangannya menggenggam sendok kecil yang sudah masuk ke dalam mangkuk nasi."Insyaallah," jawab Aruna sambil tersenyum.Kemarin siang, Tristan memang datang di apartemen mereka untuk mengantarkan buah dan snack pesanannya Giska. Namun hanya bertemu Giska sama pengasuhnya saja. Sebab Aruna masih di kantor.Mata Aruna menatap lekat wajah kecil di hadapannya. Dua bulan mereka tinggal di apartemen itu. Ar
"Pasti kukasih tahu kalau kita nanti bertemu. Kamu juga sibuk kan, Mas. Kita saling mendoakan saja yang terbaik. Nggak semua yang kita inginkan itu harus kita miliki. Tapi semua yang kita butuhkan, pasti akan Allah beri. Seperti berwirausaha ini, siapa tahu aku punya peluang di sini.""Baiklah, nanti kita buka puasa bersama. Dari kantor aku langsung ke apartemen. Aku ingin ngobrol sama Giska sebentar.""Iya." Aruna kembali melangkah ke meja makan. Memberikan ponselnya pada sang anak. "Papa ingin ngomong."Giska ngobrol, Aruna kembali melanjutkan makannya. Selama berpisah tempat tinggal, Tristan sudah beberapa kali mengajaknya kembali ke rumah. Namun Aruna belum menyetujui.đź–¤LSđź–¤"Kamu kelihatan makin kurus sekarang?" seloroh Bre menyalami Tristan yang berkunjung ke kantornya pagi itu.Tristan tersenyum hambar. "Banyak kerjaan.""Tidak usah bohong," ujar Bre sambil duduk. Tampak Tristan menghela nafas panjang.Jelas sekarang semuanya tak sama. Walaupun kadang Aruna sangat cerewet, tap
USAI KEPUTUSAN CERAI- Beri Kesempatan Author's POV Tristan mengukir senyum saat Giska berlari memeluknya. Ia memberikan buket bunga ukuran kecil pada putrinya. "Untuk putri kecilnya papa," ujarnya."Makasih, Pa."Kemudian Tristan berdiri tegak ketika Aruna menghampiri mereka. Pria itu tersenyum. Lalu mengulurkan buket bunga. "Untukmu."Aruna menerima bunga itu. Matanya bergerak pelan menatap kelopak lili yang segar. "Makasih," jawab Aruna singkat. Tahu nggak, dulu ia berharap sesekali dikasih hadiah kecil, contoh sederhana buket seperti itu. Namun sekali saja Tristan tidak pernah memberikannya. Dia hanya memberikan uang dan menyuruh Aruna membeli sendiri hadiahnya. Jadi ini untuk pertama kalinya setelah mereka tujuh tahun menikah, pria itu memberikan bunga. "Yuk, kita berangkat sekarang!" ajak Tristan lalu membuka pintu belakang untuk putrinya. Membantunya duduk dan memasang sabuk pengaman di car seat. Ketika hendak membukakan pintu depan, Aruna sudah lebih dulu membuka sendiri.
Aruna memandang ke luar jendela, menatap lampu-lampu mobil yang menyala, bergerak seperti berkejaran karena mengikuti laju kendaraan. Bunga ini, buka puasa, bahkan pujian itu, kenapa semua datang setelah luka terlalu dalam. Dikala dia sudah benar-benar rela melepaskan Tristan untuk mencari perempuan sesuai kriterianya selama ini.Sedangkan Tristan menghela napas pelan. Hatinya nyeri. Baru sekarang benar-benar merasa takut kehilangan. Disaat Aruna mungkin sudah lelah dan mati rasa.Azan Maghrib berkumandang. Suara muazin terdengar merdu dari masjid tak jauh dari restoran."Alhamdulillah," ucap serempak mereka bertiga."Kita buka puasa dulu." Tristan menyodorkan mangkuk keramik berisi kurma. Setelah itu menikmati puding dan Aruna pamitan untuk salat Maghrib dulu. Baru nanti makan. "Aku maghriban dulu, Mas!""Iya. Kita gantian saja."Aruna bangkit dari duduknya setelah mengambil pouch mini berisi mukena dari dalam tasnya. "Giska, yuk kita salat dulu!""Iya, Ma." Bocah perempuan itu langs
"Runa, mereka teman-temanmu. Dia mau menyapamu tadi. Tapi kamu mengajak kita berbelok di sini," bisik Tristan seraya memandang lima orang wanita sedang menaiki eskalator dan tiga di antaranya masih menatap ke arah mereka."Biar saja," jawab Aruna pelan.Tristan menelan ludah. Demi dirinya, Aruna menjauhi mereka. Bahkan saat di rumah sakit pun Aruna tidak dijenguk teman-temannya karena mereka pasti tidak tahu kabar kecelakaannya."Kita pulang sekarang, Mas. Aku capek," kata Aruna. "Oke."Sampai di apartemen, Tristan tidak langsung pulang meski Giska sudah tidur."Mas, nggak pulang. Besok kerja, kan?" seloroh Aruna yang sudah berganti pakaian. Baju muslimah menjadi daster rumahan sepanjang lutut. Rambutnya dicepol ke atas, menampilkan lehernya yang bersih. Tristan menggosok tengkuknya. Keinginan itu mendadak muncul.Tristan menghampiri Aruna dan duduk berhadapan di mini bar. Tangan pria itu menggenggam tangan Aruna yang terletak di meja."Aku ingin memperbaiki semuanya. Kalau kamu beri
USAI KEPUTUSAN CERAI- Kita Suami Istri Author's POV [Mbak, tolong bukakan pintu.] Tristan mengirimkan pesan pada pengasuh anaknya. Kalau mengetuk pintu atau membunyikan bel, khawatir mengganggu tidurnya Giska. Kalau Aruna mungkin saja belum tidur, karena mereka baru berpisah beberapa menit saja.[Ya, Pak.]Tidak lama pintu terbuka. Tristan langsung masuk."Ibu sepertinya sudah tidur, Pak," kata si mbak lirih. Wanita itu tidak tahu tentang keributan tadi, karena dia sudah di kamar dan tidur bersama Giska."Nggak apa-apa, Mbak. Saya di sofa saja." Tristan menata bantal sofa lalu berbaring. Mbak Sari mengambil selimut lantas memberikannya kepada sang majikan.Tristan memandang pintu kamar Aruna yang tertutup rapat. Ia yakin sekali istrinya belum tidur. Pria itu memejam dengan satu lengan menumpang di keningnya. Namun sepanjang malam, dia tidak bisa tidur. Keinginan yang memberontak dalam diri begitu menyiksanya. Pukul tiga pagi, Aruna terbangun. Dia kaget melihat suaminya meringkuk
Bre masuk ke ruang meeting di dampingi oleh Mbak Sri, wanita bertubuh subur yang bertugas di bagian HR (Human Resource).Pria itu duduk tenang di kursinya. Di hadapannya ada lima gadis muda yang akan menjalani masa magang duduk berjajar. Menampilkan wajah-wajah penuh harapan dan semangat.Sejenak Bre membuka percakapan. Sebab profil perusahaan Hutama Jaya pastinya mereka sudah tahu sebelum mengajukan diri untuk magang di sana. Tentang situasi kantor juga sudah diperkenalkan oleh Mbak Sri. Cuman Bre memang belum sempat berkenalan dengan mereka kemarin pagi."Perkenalkan, nama saya Indira," ujar salah satu dari mereka. Suaranya tenang dan percaya diri. "Saya kuliah di Universitas Ud*yana, jurusan Administrasi Bisnis."Bre mengangguk pelan, memperhatikan cara bicara mereka satu per satu. Gadis kedua hingga kelima menyusul memperkenalkan diri. Bahasa tubuh mereka sopan dan rapi, meski Bre menangkap sorot canggung di mata mereka. Wajar, ini hari pertama. Namun gadis pertama, terlihat penuh
Bre memberikan barang bawaannya pada Mak As, lalu ia mendekati istrinya yang baru saja mematikan kompor. "Masak apa?""Sup iga yang Mas request kemarin.""Sudah selesai.""Sudah.""Rifky mana?""Habis mandi, main di kamar sama Leon."Bre meraih jemari sang istri lalu diajaknya ke kamar mereka. Bre langsung terlentang di kamar. Sedangkan Hilya membuka lemari untuk menyiapkan pakaian."Sayang, sini dulu. Mas mau ngomong." Bre menarik istrinya dan direbahkan di lengannya. Mereka sama-sama memandang langit-langit kamar."Tadi pagi, Arham mengirim pesan. Dia belum bisa jenguk Rifky lagi karena urusan perceraian dengan Atika belum selesai."Keduanya saling pandang. Begitu lamanya? Sudah berapa bulan saja sekarang. Pasti Atika yang membuat semuanya menjadi sulit."Kabar kedua, anak magang dari Ud*yana sudah sampai kemarin. Hari ini bertemu dengan Mas. Mereka ada lima orang. "Terus yang ketiga, perjalanan pulang tadi Mas di telepon sama Agatha. Dia sudah ada di Surabaya dan kembali ke Singap
Kisah mereka menjadi perbincangan hangat di antara para kerabat. Menjadi sebuah cerita yang sangat menarik untuk di ulas. Arham, Bre, Agatha jadi pusat perhatian. "Mana mantan istrinya Arham?" tanya keluarga Agatha yang penasaran sambil mencari-cari. Namun Hilya tidak ikut hari itu. Dia tinggal menghitung hari untuk melahirkan bayi perempuannya.Bre datang bersama dua anak, mamanya, dan Mak As. Mereka duduk di antara para kerabat pengantin. Rifky dan Rafka duduk anteng dalam pakaian koko putih, seragam dengan papanya. Mak As duduk di samping Bu Rika yang tampak berkaca-kaca melihat ke arah Agatha. Akhirnya mantan menantunya menikah juga. Dua wanita itu sangat dekat dulunya. Bu Rika menjadi saksi, Agatha mencintai Bre bertahun-tahun lamanya.Suasana hening saat acara akad nikah berlangsung. Dengan sekali lafaz, Arham sah menjadi suami Agatha.Selesai akad, suasana mencair. Hidangan disajikan. Semua bersantap dalam suasana kekeluargaan.Bu Wawan menghampiri Bre. Ia memeluk pria itu era
Hilya tersenyum sambil mengangguk. "Kapan Mbak pulang dari Singapura?""Aku sudah kembali menetap di Surabaya sejak empat bulan yang lalu. Disuruh pulang sama mama karena beliau nggak ada yang menemani. Papaku meninggal sekitar tujuh bulan yang lalu." Cerita Agatha. Membuat Bre yang mendengarnya pun menoleh. "Innalilahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Bre dan Hilya bersamaan."Jadi Pak Wawan sudah meninggal?" tanya Bre. Dia tidak tahu. Kakaknya juga tidak mengabari. Ia yakin Ferry pasti tahu hal itu."Iya.""Aku turut berduka cita, Tha."Agatha mengangguk.Kemudian mereka memasuki ruang tamu dan duduk di sofa. Anak-anak duduk sambil membuka oleh-oleh. Mereka selalu excited membongkar bingkisan."Pasti Mas Bre dan Hilya heran karena kami datang berdua ke mari." Arham membuka percakapan setelah beberapa saat duduk. Mak As keluar membawakan minum dan kue."Surprise sekali kalau Mas dan Agatha saling kenal," ujar Bre dengan sikap tenang.Arham menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Berlabuh Author's POV Dada Agatha berdebar kian hebat saat mobil keluar dari gerbang tol. Mereka sampai sebentar lagi. Ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang kembali berkaitan dengan pria yang pernah menjadi segalanya."Kita sarapan dulu!" Arham menoleh pada Agatha."Hmm, iya."Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Hawa dingin dan kabut pagi menyambut mereka saat turun dari kendaraan. Agatha menikmati suasana pagi yang begitu berkesan. Sejak dulu, impiannya memang tinggal di Malang. Apalagi setelah mendengar Bre pindah ke Malang, siapa tahu masih ada harapan mereka bersama. Terlebih hubungan mereka juga membaik meski hanya lewat media sosial.Namun kenyataan tak seperti harapan. Perjalanan panjang membawanya ke Malang untuk cerita yang berbeda. Agatha menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Hari ini dia menguji keberanian. Cerita nanti akan seperti apa."Masih jauh lagi rumah mereka, Mas?" tanya Agatha setelah
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid