USAI KEPUTUSAN CERAI- Setelah SadarAuthor's POV "Ma," panggil Aruna tak terdengar. Hanya bibirnya saja yang bergerak pelan.Bu Ardi bangkit lalu mendekat ke wajah putrinya. "Alhamdulillah, kamu sadar, Nak. Mama panggil dokter dulu."Ketika hendak beranjak, cekalan tangan Aruna yang masih lemah mencegahnya. Bu Ardi kembali memandang sang anak. Dari sudut mata mengalir air bening. Aruna juga menggeleng."Dokter harus tahu kamu sudah sadar," suara Bu Ardi bergetar saking bahagianya."Aku sudah sadar sejak pagi tadi, Ma," ucap Aruna terdengar sangat lemah dan lirih.Benar, Aruna sadar saat Tristan duduk di sampingnya. Namun ia memilih diam karena suaminya juga diam. Waktu sadar tadi, Aruna seperti melayang. Bingung dia ada di mana. Tubuhnya terasa remuk redam. Sakit hampir di sekujur raganya. Kepala juga terasa sakit. Yang tercium hanya bau khas rumah sakit dan Tristan yang duduk menggenggam jemarinya.Hingga ia teringat terakhir kali apa yang terjadi sebelum kesadarannya hilang. Dalam
"Runa, Zara sudah memaafkanmu. Mama tadi menemuinya. Nanti kalau sudah selesai acara, dia akan menjengukmu. Tristan juga bilang sama mama, kalau kamu sembuh, dia juga ingin memperbaiki hubungan kalian."Tubuh Aruna terguncang. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Sudah terlalu pesimis bisa memenangkan hati suaminya. Menyerah mungkin lebih baik. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk berusaha memiliki hatinya Tristan. Beberapa saat setelah berusaha menenangkan dan meyakinkan putrinya, Bu Ardi pamitan keluar. Aruna sendirian dalam ruangan yang sepi. Dia takut sekali menghadapi semuanya setelah keluar dari ruangan itu.Melihat mertuanya keluar ruang ICU, Tristan bangkit dari duduknya dan menghampiri. Perasaannya kian cemas melihat wajah sembab Bu Ardi. "Bagaimana, Ma?""Dokter bilang kondisi Aruna membaik," jawab Bu Ardi lantas duduk. Dihampiri oleh sang besan yang mengusap punggungnya. Bu Fadlan berusaha menenangkan.Tristan yang hendak masuk ke dalam dicegah oleh seorang perawat. Tidak
"Kamu tahu baik buruknya istri kadang tergantung pada suami. Bagaimana Aruna tidak mencari kesibukan di luar, berkumpul dengan teman-temannya karena di rumah dia tidak mendapatkan perhatian dari suami yang ia cintai. Pada hakekatnya, manusia akan pergi di mana dia akan dihargai dan dibutuhkan. Meski teman-temannya hanya memanfaatkannya saja."Tristan diam mendengarkan papanya bicara. Kekhawatiran merajai hati. Takut Aruna tidak akan bangun lagi. Tristan menunduk, matanya memerah. Baru kali ini ia merasakan ketakutan yang luar biasa. "Aruna mungkin nggak seperti perempuan yang kamu impikan, yang cerdas berwawasan luas, yang bisa mengimbangimu berpikir tentang segala permasalahan perusahaan."Tris, kadang wanita independen itu egois. Tidak mau mendengarkan suami karena merasa ia bisa. Merasa sudah bisa mencukupi diri sendiri. Berapa banyak kasus pernikahan karena perempuannya terlalu mandiri. Nggak semua seperti itu. Mama hanya memberimu gambaran. Kamu juga harus paham, nggak semua yan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Bayang Penyesalan Author's POV Tanpa sadar, Arham larut dalam harunya pertemuan mereka. Selama menikah dengan Hilya, belum pernah bertemu sekali saja dengan bapak mertuanya. Jiwa Arham terusik, apakah kelak nasibnya kurang lebih seperti mantan mertuanya?Perlahan Arham mengendarai mobilnya meninggalkan tempat itu.Sementara di dalam rumah Hilya, tampak seorang laki-laki duduk di ruang tamu sambil menyeka air mata. Mata Mbak Asmi juga memerah, sedangkan Hilya diam dengan tatapan hampa.Pak Umar duduk di hadapan kedua putrinya, tangan gemetar, jemarinya saling meremas. Napasnya berat, mata yang sayu menatap wajah-wajah yang dulu mungil dalam ingatannya, kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa dan cantik. Mbak Asmi lebih banyak menunduk menyembunyikan perasaannya, sedangkan Hilya dengan tatapan tenangnya.Setelah Bre menitipkan Rifky pada sepupunya Hilya, ia mendekati sang istri dan duduk di sebelahnya. Digenggam tangan kiri Hilya dengan erat. Pak Umar meman
Tangis Pak Umar pecah lagi. Tersedu-sedu ia hendak meraih Yazid dan Rifky. Namun kedua bocah itu malah mepet ke Budhe Par. Rifky mengulurkan tangannya pada Bre yang duduk tidak jauh darinya. Bocah itu takut. Sementara Yazid, setelah menyalami langsung duduk di samping bundanya.Bre segera bangkit untuk meraih anaknya. Dia tidak boleh memaksa karena Rifky masih takut. "Mungkin besok anak-anak sudah nggak merasa asing lagi, Pak. Mereka akan tahu kalau Bapak adalah kakeknya."Pak Umar mengangguk."Bapak, habis perjalanan jauh. Sekarang istirahat saja dulu. Semua sudah terjadi, nggak perlu dibahas lagi. Terima kasih Bapak sudi datang menjadi wali nikahnya Mbak Asmi. Mari, Bapak istirahat dulu," ucap Hilya dengan dingin seraya bangkit dari duduknya dan mempersilakan bapaknya untuk masuk ke dalam. Ia menunjukkan kamar yang sudah dipersiapkan.Pak Umar manut. Dia masuk ke kamar di mana dulu menjadi peraduannya dengan Bu Hayati. Lelaki itu duduk di tepi pembaringan, jiwanya kembali tersayat.
Tubuh Pak Umar kembali terguncang. "Hidup anak-anakku di sana juga nggak baik-baik saja, Mbakyu. Anak tiriku bercerai juga. Nurul, anak perempuanku juga terkena kasus narkoba. A-aku pun telah menerima karmaku. Hidupku nggak pernah tenang dan bahagia.""Waktu Hilya dan Bre berbulan madu di Bali, katanya sempat melihatmu.""Ya. Waktu itu ada saudara istriku mengajak kami sekeluarga menginap di resort yang sama dengan yang ditempati Hilya." Pak Umar menceritakan perjalanan hidupnya di sana yang tidak baik-baik saja. Apalagi setelah tua dan pensiun, seperti tidak ada harganya sama sekali. Masih bekerja saja tidak punya kuasa memegang uang, apalagi sesudah pensiun. Makanya untuk perjalanan ke Surabaya, ditanggung oleh Bre karena istrinya tidak peduli."Kamu berapa hari di sini?""Nggak lama, Mbakyu. Aku nggak mau membebani Asmi dan Hilya." Meskipun di Bali serasa tak berharga dan tidak dipedulikan, tapi memutuskan menetap di Surabaya juga tidak tahu diri namanya. Dia tidak pernah membiayai
USAI KEPUTUSAN CERAI- Posisiku di mana?Author's POV Dada Tristan berdegup kencang saat matanya menangkap sosok Aruna yang sudah membuka mata. Senyum harunya terbit seraya memandang wajah pucat sang istri. Diusapnya air mata di sudut netra Aruna.Aruna menoleh perlahan, matanya yang sembab menatap Tristan dengan sorot terkejut. Dia ketahuan juga akhirnya. Memang ia harus siap untuk itu. Mau sampai kapan berpura-pura sedang ia pun harus pindah di kamar perawatan.Tristan menggenggam tangannya erat. "Aku panggilkan dokter dulu."Namun Aruna menggeleng. Menghentikan Tristan yang hendak melangkah pergi. "Tidak usah, Mas. Dokter tahu aku sudah sadar," suaranya lemah, hampir tak terdengar."Runa, aku senang sekali kamu sadar. Cepat sembuh ya, kita segera pulang." Tristan menggenggam jemarinya. Aruna tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum kebahagiaan. Namun senyum pedih seseorang yang kehilangan harapan. Rasanya seperti ada jarak yang lebih lebar di antara mereka. Ah, sejak kapan juga mer
Saat itu Tristan menunduk dengan tubuh terguncang karena tangis. Putus dengan Zara, ia tidak menangis meski sesaknya hati seperti apa. Sakitnya separah apa. Tapi mendengar Aruna bicara demikian, jiwanya meronta karena rasa bersalah yang teramat dalam."Kita bercerai saja. Aku sudah siap, Mas. Jangan iba padaku atas yang terjadi hari ini.""Nggak, Runa," potong Tristan cepat. "Kamu sudah berjanji padaku kalau kita akan memperbaiki semuanya. Maafkan aku sudah menyakitimu.""Mungkin memang Mas nggak bisa bersama dengan Mbak Zara atau pun Hilya. Tapi suatu hari nanti Mas bisa menemukan wanita seperti impianmu selama ini.""Runa." Tristan menggenggam erat jemarinya. "Aku nggak ingin kita bercerai. Maafkan aku. Cepat sembuh dan kita pulang. Kita mulai semuanya dari awal."Aruna terisak-isak. Dulu kalimat ini yang ingin sekali didengar. Namun disaat sekarang berada di titik terendah, ia meragukan itu. Sekian lama disaat dirinya dalam kondisi sehat, cantik, bisa melayani suaminya setiap waktu
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda
"Kita masuk dulu dan lihat-lihat di dalam. Nanti beliin juga buat adek."Rifky mengangguk. Arham menggandengnya masuk ke dalam. Berjalan melihat mainan yang dipajang. Akhirnya Rifky mengambil dua mobilan untuk dirinya dan Rafka.Setelah puas berkeliling dan bermain, mereka menuju food court. Arham membiarkan Rifky memilih sendiri apa yang ingin dia makan. Bocah itu menunjuk chicken nugget, bakso, dan kentang goreng. Mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati makanan sambil bercakap ringan.Arham bahagia, tapi Rifky berusaha menyesuaikan dengan kondisi. Belum lama berpisah dari adik, bunda, dan Papa Bre, ia sudah merasa kangen. Dia belum pernah berjauhan dari mereka. Bocah itu agak terhibur karena Arham terus mengajaknya bicara dan bercanda.Setelah itu Arham mengajak putranya pulang. Kali ini bukan langsung pulang ke rumah, tapi singgah dulu ke rumah Bu Rida."Kita mampir ke rumah nenek dulu, ya!""Ini rumah nenek, Pa?""Ya. Rumah Nenek Rida. Ayo, kita ketemu nenek dulu sebelum pul
Dua anak itu tidur dalam satu kamar, di kamar berbeda dari kedua orang tuanya. Dijaga oleh Mak As. Tapi Hilya juga berperan penuh menjaga anak-anaknya. Dia belum kembali ke kantor seperti harapannya. Mungkin nanti jika anak-anak sudah sekolah semua. Bre pun memberikan kebebasan Hilya untuk menentukan. Dia senang kalau bisa setiap waktu bersama sang istri di kantor, tapi dia juga lega karena anak-anak dijaga bundanya sendiri dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada pengasuh."Kak, mau ana?" Rafka yang sudah terbangun heran melihat sang kakak yang sedang digantikan baju rapi oleh bundanya. Bocah yang berusia dua tahun setengah itu mendekat dan memandangi sang kakak."Kak Rifky mau ke Surabaya. Besok kakak sudah pulang lagi." Sambil menyisir rambutnya Rifky, Hilya menjawab pertanyaan anak keduanya."Ikut," celetuk Rafka."Adek sama bunda dan papa di rumah. Kalau adek sudah besar, baru boleh ikut." Hilya memberikan pengertian.Bukannya mengerti, Rafka malah merengek. Rifky menangkupkan kedua
USAI KEPUTUSAN CERAI- IzinAuthor's POV Pagi itu langit di sepanjang jalan menuju Malang masih menyisakan kabut tipis. Di kejauhan terlihat seperti tirai putih yang menampilkan bayang pepohonan di latar belakang. Hawa pastinya masih terasa begitu dingin.Arham sengaja berangkat sehabis salat subuh tadi agar sampai kota Malang masih pagi. Dia sangat antusias ketika mendapatkan izin untuk mengajak Rifky ke Surabaya selama dua hari.Ini untuk pertama kalinya Arham diberi kesempatan membawa putranya menginap. Itu pun setelah Rifky sendiri ditanyai oleh bundanya, bersedia ikut papanya apa tidak. Ternyata Rifky mau. Akhirnya Bre yang menelepon Arham untuk bicara.Kebahagiaan Arham tidak terlukiskan dengan kata-kata. Dia harus berterima kasih pada Bre, telah begitu pengertian dan bijaksana menyikapi hubungan antara dirinya dengan Rifky. Walaupun ayah tiri, Bre menjadi ayah yang luar biasa. Mereka mendidik putranya begitu baik.Ketika mobil Arham sampai di depan pagar rumah Bre, suasana ma