Tatapan Arham kosong ke luar jendela kamar. Di atas meja di depannya, ada undangan resepsi pernikahan Hilya. Dadanya sesak. Bayangan Rifky juga memenuhi benak."Kalau menurutku Mas Arham datang saja bersama kami. Harus gentle dong, Mas. Masa gak kuat lihat mantan bahagia," sindir Yani tadi siang. Sebenarnya Arham pun tidak tahan tinggal di rumah sang mama. Tiap saat Yani menghakiminya. Walaupun dia sangat perhatian terhadap makan minum dan pakaiannya Arham. Suami Yani yang pengertian dan sering meredam jika wanita itu mengusik kakaknya.Arham menghela nafas panjang sambil menatap langit malam. Apa dia sanggup datang ke acara itu? Apa sanggup melihat mantan istrinya duduk bersanding bersama pria lain? Sementara beberapa waktu sebelum terkuak Hilya sudah menikah, Arham memiliki harapan yang demikian besar. Bisa kembali pada Hilya.🖤LS🖤Langit pagi sangat cerah. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel berbintang lima itu. Memancarkan kilauan indah yang memantul
USAI KEPUTUSAN CERAI- HoneymoonAuthor's POV Tristan dengan senyum merekah memberikan ucapan selamat pada Bre dan Hilya. Meski sesak dalam dada, tapi inilah yang harus ia terima. Dirinya dan Hilya dalam tanda kutip 'mustahil' bisa bersama sebagai pasangan hidup. Sekarang berdamai dengan diri dan kenyataan dan ia harus melanjutkan rumah tangganya.Sedangkan Aruna juga menyalami pengantin. Kali ini senyumnya tulus untuk Hilya. Seolah dia terbebas dari ancaman karena Hilya sudah menikah. Suaminya pun tak kaleng-kaleng. Ia ingin meminta maaf, tapi bukan sekarang momennya.Pak Fadlan dan sang istri juga memberikan ucapan selamat."Sayang, kenalin. Ini namanya Daffa, teman mas waktu kuliah S1." Bre mengenalkan Daffa pada istrinya. Daffa menyapa Hilya sambil tersenyum. Memperhatikan perempuan yang membuat sahabatnya kembali bertekuk lutut."Ini dokter Rin. Istrinya Daffa," ujar Bre selanjutnya.Hilya dan Rinjani saling berbalas senyum. Dua anak mereka juga ikut menyalami."Daffa dan dokter
Pak Ardi diam. Wajahnya sulit ditebak. Hanya matanya yang menunjukkan rasa kaget yang bergejolak. Ia menarik napas berat, lalu bergumam lirih. "Jadi dia menikah dengan anaknya Hutama?""Papa, kenal Pak Hutama?" Lelaki itu mengangguk pelan. Siapa yang tidak kenal Hutama. Pebisnis sukses pada zamannya masih hidup. Dia bukan orang sembarangan. Perusahaannya sudah lama jadi pemain besar di Surabaya dan Pak Ardi tahu betul itu. Dikala dirinya masih merintis bisnis, Hutama Jaya telah berkembang pesat.Selama ini ia menganggap Hilya tidak lebih dari seorang perempuan rendah karena dianggap telah berani menggoda menantunya. Seorang perempuan tanpa nama, tanpa kuasa. Namun hari ini kenyataan menamparnya. Hilya menjadi istri seorang pria yang punya kuasa dan pewaris perusahaan ternama.Rasa panas yang dirasakan Pak Ardi merambat ke wajahnya.Sedangkan Tristan yang sejak tadi hanya diam, bangkit dari duduknya dan pamit keluar kamar bergabung dengan putrinya yang duduk di depan televisi."Zara a
Ketika Bre dan Hilya tengah menikmati percintaan mereka. Di kamar lain Mbak Asmi dan Bu Rika duduk di balkon, menikmati segelas teh hangat.Bu Rika menatap wanita muda di sampingnya. "Nak Asmi, kamu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi? Hilya sudah kembali membuka hati."Mbak Asmi tersenyum kecil, menyesap tehnya sebelum menjawab. "Entahlah, Bu."Bu Rika menghela napas pelan. "Kamu masih muda dan cantik. Jangan memutuskan untuk sendiri. Yazid butuh figur seorang ayah."Mendengar itu Mbak Asmi terdiam sejenak. "Anak saya sudah besar, Bu. Saya khawatir dia tidak bisa akur dengan ayah sambungnya.""Kebahagiaan memang tidak selalu tentang memiliki pasangan. Tapi kalau ada seseorang yang baik, yang bisa menerima kalian berdua dengan baik, jangan menutup hati, Nak."Mbak Asmi mengangguk samar. Di saat merasa lelah, terkadang ada keinginan untuk menikah supaya ada yang bertanggungjawab pada dirinya dan Tazid. Namun ia pun khawatir kalau kembali dikhianati.Dua wanita itu akhirnya beranja
USAI KEPUTUSAN CERAI - Hasil Tes Author's POV "Hilya." Nama Hilya pun dipanggilnya.Mbak Asmi dan Hilya saling pandang. Begitu juga dengan Bre. Ia menoleh pada istri, kakak iparnya, dan lelaki di belakang sana."Siapa, Mbak?" tanya Bre."Bukan siapa-siapa. Nggak usah dipedulikan, Bre," jawab Mbak Asmi lalu membimbing anaknya naik ke mobil. Laki-laki di belakang mengejar dengan langkah tuanya yang terlihat berat. Sedangkan wanita tua yang bersamanya tetap berdiri di tempat."Nak Asmi, Bapak itu menyusul kalian," kata Bu Rika yang sudah duduk di dalam mobil. Memperhatikan ke arah lobby. Mbak Asmi dan Hilya menoleh. Bre yang mengendong Rifky juga belum membuka pintu mobil.Laki-laki dengan wajah sendu itu mematung dengan jarak dua meter dari mereka. Belum sempat bicara, seorang wanita lebih muda berteriak sambil mendekat dengan nada agak geram. "Ayo, Pa. Ngapain sih? Telat nanti kita!"Mbak Asmi langsung masuk ke mobil diikuti oleh Hilya. Bre juga membuka pintu depan. Laki-laki tadi d
Kemudian mereka sampai di bandara. Check in, duduk menunggu di boarding lounge. Namun tidak ada cerita lagi tentang Pak Umar. Bre menggenggam jemari Hilya yang duduk di sebelahnya. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya lirih. Bre khawatir karena wajah istrinya yang pucat. Lemas juga. Mungkin karena pertemuan tak terduga tadi. Hilya menggeleng. Tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pusing. Perjalanan bulan madu ini, diakhiri dengan sesuatu yang tidak disangka. Jujur ia pun penasaran, apa selama ini bapaknya tinggal di Bali. Kenapa tadi ada di resort yang sama dengan mereka. Sedang liburan atau bagaimana?Mbak Asmi duduk bersebelahan dengan Bu Rika di deretan bangku depan Bre dan Hilya. Sedangkan anak-anak tengah berdiri di dekat dinding kaca sambil memperhatikan deretan pesawat yang berjajar di depan sana. Beberapa menit kemudian ada panggilan agar para penumpang segera memasuki pesawat. Bre bangkit dari duduknya lalu menggendong Rifky dan menggandeng Yazid. Mereka beriringan untuk boarding.
"Baik loh Pak Guru itu, Mbak. Selama ini nggak pernah ada gosip aneh-aneh walaupun dia duda," ujar Hilya."Iya," jawab Mbak Asmi singkat. Tentu saja Izam menjaga citra baiknya sebagai guru dan ustadz."Mbak, aku mau nanya serius. Beneran Mbak dekat lagi sama Mas Izam?"Mbak Asmi duduk seraya meletakkan sepiring ubi rebus di meja depan mereka. "Sebenarnya sejak dua mingguan yang lalu, dia ngirimi pesan ke mbak, Hil. Awalnya ya hanya basa-basi ngomongin Yazid yang akan diikutsertakan lomba azan sama menulis kaligrafi.""Lalu ...." Hilya tak sabar."Dia ngajak ta'aruf."Mata Hilya sontak membulat dan berbinar. Ini kabar yang ia tunggu-tunggu. Jadi dia bisa tenang ikut Bre pindah ke Malang kalau kakaknya dalam penjagaan pria yang tepat. Izam duda cerai mati. Istri pria itu meninggal sudah tiga tahun yang lalu tanpa meninggalkan seorang anak. Istrinya sakit kanker semenjak sebelum mereka menikah. Namun Izam tidak meninggalkannya. Tetap menikahi wanita itu hingga pada akhirnya juga meningga
USAI KEPUTUSAN CERAI - Hadiah Terindah Author's POV "Paket atas nama siapa, Mas?" tanya Mbak Asmi."Atas nama Mbak Hilya. Bener kan di sini alamatnya, Mbak?" Kurir itu menunjukkan alamat yang tertera di kotak paket."Iya," jawab Mbak Asmi setelah membaca alamat. Saat itu Hilya berdiri dan menghampiri sang kakak."Dari Arham, Hil," ujar Mbak Asmi setelah membaca siapa pengirimnya.Mereka menerima paket itu dan langsung membukanya setelah kurir pergi. Rifky yang 'kepo' meninggalkan mainannya dan mendekati sang mama. Mata beningnya langsung berbinar saat melihat ada mobil mainan dikeluarkan budhenya dari dalam kotak."Hmm, aku syuka," ujarnya lucu sambil mengangkat mainannya. Tidak hanya mainan, tapi juga tiga pasang pakaian, dan snack. Pada saat yang bersamaan, ponsel Mbak Asmi berdenting. Ada pesan masuk dari Arham.[Paket untuk Rifky sudah sampai, Mbak? Maaf, saya belum bisa datang menjenguk. Saya masih ada urusan. Salam buat Rifky, Mbak.]Hilya ikut membaca pesan yang disampaikan
Kisah mereka menjadi perbincangan hangat di antara para kerabat. Menjadi sebuah cerita yang sangat menarik untuk di ulas. Arham, Bre, Agatha jadi pusat perhatian. "Mana mantan istrinya Arham?" tanya keluarga Agatha yang penasaran sambil mencari-cari. Namun Hilya tidak ikut hari itu. Dia tinggal menghitung hari untuk melahirkan bayi perempuannya.Bre datang bersama dua anak, mamanya, dan Mak As. Mereka duduk di antara para kerabat pengantin. Rifky dan Rafka duduk anteng dalam pakaian koko putih, seragam dengan papanya. Mak As duduk di samping Bu Rika yang tampak berkaca-kaca melihat ke arah Agatha. Akhirnya mantan menantunya menikah juga. Dua wanita itu sangat dekat dulunya. Bu Rika menjadi saksi, Agatha mencintai Bre bertahun-tahun lamanya.Suasana hening saat acara akad nikah berlangsung. Dengan sekali lafaz, Arham sah menjadi suami Agatha.Selesai akad, suasana mencair. Hidangan disajikan. Semua bersantap dalam suasana kekeluargaan.Bu Wawan menghampiri Bre. Ia memeluk pria itu era
Hilya tersenyum sambil mengangguk. "Kapan Mbak pulang dari Singapura?""Aku sudah kembali menetap di Surabaya sejak empat bulan yang lalu. Disuruh pulang sama mama karena beliau nggak ada yang menemani. Papaku meninggal sekitar tujuh bulan yang lalu." Cerita Agatha. Membuat Bre yang mendengarnya pun menoleh. "Innalilahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Bre dan Hilya bersamaan."Jadi Pak Wawan sudah meninggal?" tanya Bre. Dia tidak tahu. Kakaknya juga tidak mengabari. Ia yakin Ferry pasti tahu hal itu."Iya.""Aku turut berduka cita, Tha."Agatha mengangguk.Kemudian mereka memasuki ruang tamu dan duduk di sofa. Anak-anak duduk sambil membuka oleh-oleh. Mereka selalu excited membongkar bingkisan."Pasti Mas Bre dan Hilya heran karena kami datang berdua ke mari." Arham membuka percakapan setelah beberapa saat duduk. Mak As keluar membawakan minum dan kue."Surprise sekali kalau Mas dan Agatha saling kenal," ujar Bre dengan sikap tenang.Arham menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan
USAI KEPUTUSAN CERAI - Berlabuh Author's POV Dada Agatha berdebar kian hebat saat mobil keluar dari gerbang tol. Mereka sampai sebentar lagi. Ini menjadi babak baru dalam hidupnya. Lembaran baru yang kembali berkaitan dengan pria yang pernah menjadi segalanya."Kita sarapan dulu!" Arham menoleh pada Agatha."Hmm, iya."Mobil berbelok di sebuah rumah makan. Hawa dingin dan kabut pagi menyambut mereka saat turun dari kendaraan. Agatha menikmati suasana pagi yang begitu berkesan. Sejak dulu, impiannya memang tinggal di Malang. Apalagi setelah mendengar Bre pindah ke Malang, siapa tahu masih ada harapan mereka bersama. Terlebih hubungan mereka juga membaik meski hanya lewat media sosial.Namun kenyataan tak seperti harapan. Perjalanan panjang membawanya ke Malang untuk cerita yang berbeda. Agatha menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Hari ini dia menguji keberanian. Cerita nanti akan seperti apa."Masih jauh lagi rumah mereka, Mas?" tanya Agatha setelah
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid