"Ngaco kamu, Fan!""Ngaco gimana, Al? Aku seorang ayah. Aku cuma ingin bisa memenuhi keinginan putriku. Dimana salahnya?" Arfan menatap Alya dengan lekat."Keinginan Aleta itu sangat sederhana, Al. Dia cuma ingin bisa bersama kedua orang tuanya layaknya anak-anak lainnya. Dia cuma ingin hal sekecil itu. Gimana mungkin, aku sebagai papanya enggak mau menuruti keinginan sederhananya itu?" lanjut Arfan."Keinginan Aleta memang sederhana. Hanya saja kondisinya yang membuat itu menjadi enggak lagi sederhana, enggak lagi mudah. Keinginanmu juga enggak salah. Wajar. Kamu seorang ayah. Hanya saja ... kita tau kondisinya sekarang seperti apa." Alya menjeda ucapannya. Dadanya terlalu sesak setiap memikirkan Aleta."Akulah di sini yang salah. Aku yang enggak bisa memenuhi keinginan sederhananya itu. Aku juga yang membuat semua jadi serumit ini," lanjut Alya. "Seandainya Aleta enggak terlahir dari ibu sepertiku, dia pasti enggak akan merasakan semua ini."Tanpa menunggu respon Arfan, Alya langsun
"Aleta udah tidur?" tanya Arfan sembari berdiri di ambang pintu kamar Aleta begitu tiba di rumah orang tua Alya.Alya yang tidak tahu kehadiran Arfan pun menoleh. "Sudah.""Kita bicara di luar, ya!"Alya pun beranjak dari tempat tidur. Ia sudah bisa menebak kalau Arfan telah mengetahui apa yang sedang ibunya lakukan. Meski sebenarnya ia tak ingin Arfan mengetahui hal itu, tetapi tadi hanya mengantar payung untuk ibunya yang terlintas di kepala Alya untuk menghindari permintaan Aleta."Kenapa kamu enggak bilang?" tanya Arfan begitu Alya duduk di sofa ruang tamu."Bilang apa?""Kamu pasti tau, kan, kalau Ibu ... di rumah itu, lagi ngapain?" Arfan menatap Alya tak percaya.Alya tak menjawab. Ia memilih membuang muka."Al! Liat aku!"Alya akhirnya menoleh ke arah Arfan walaupun tidak menatap wajah lelaki itu. "Emang aku harus bilang apa sama kamu?""Kenapa Ibu sampai nyetrika di rumah orang? Kenapa, Al? Kenapa kamu biarin Ibu melakukan itu?""Bukannya dari awal kamu tahu? Keluargaku engga
"Berpura-pura gimana maksud kamu, Fan?" tanya Meira pura-pura tidak mengerti. "Bukannya selama ini yang kita lakukan bukan sebuah kepura-puraan? Kita tidur bersama, kamu menyentuhku layaknya seorang suami. Pernikahan kita ini nyata, Fan. Cintaku sama kamu juga nyata. Kamu jangan mengada-ada, deh!" Meira melipat kedua tangannya lalu membuang muka."Mei, tolong dengarkan aku kali ini," bujuk Arfan. "Kamu tahu? Setiap bangun tidur dan ternyata aku masih diberi napas, semua itu, itu kayak enggak ada gunanya tahu, enggak?" Arfan menghela napas. "Selama ini kayak buat apa, sih, aku masih hidup? Enggak ada hal sama sekali yang urgent buat aku lakuin. Aku cuma bangun tidur, mandi, sarapan, kerja, pulang, tidur lagi. Gitu terus, enggak tahu sampai kapan."Arfan menjeda ucapannya beberapa saat. Dadanya kembali sesak setiap akan berbicara tentang Aleta. "Dan sekarang ...." Arfan meraup udara banyak-banyak. "Ada Aleta." Jemari Arfan mencengkeram stir mobil dengan kuat. "Dia ... butuh aku. Dan dia
Arfan menoleh saat Alya dan Prima memasuki ruang keluarga. Mereka berdua berjalan beriringan. Alya di depan, Prima di belakang. Perhatian Arfan teralihkan pada tangan Alya. Terlihat Alya sedang menggenggam sebuah kotak berlapis beludru warna biru tua, meski terlihat sekali Alya berusaha menyembunyikannya.Dalam hati, Arfan menebak kalau Prima telah memberikan kotak itu. Dan kemungkinan besar isinya adalah cincin ataupun perhiasan.Perasaan Arfan jadi kebat-kebit, takut Alya dan Prima segera meresmikan hubungan. Sementara ia sangat berharap untuk bisa kembali pada Alya agar bisa memenuhi semua keinginan Aleta. Selain ia memang masih mencintai Alya."Pa, kok, ngelamun?" tegur Aleta yang sejak tadi memperhatikan papanya."Eh, iya. Enggak, kok. Ayo, kita lanjut main!"Sementara Alya tanpa berkata-kata, langsung memasuki kamarnya. Ia menyimpan kotak pemberian Prima tersebut di laci. Setelahnya ia berniat mengirim pesan pada Naya, memberitahu pemberian Prima itu. Namun, baru saja ia mengamb
"Al, aku pergi dulu, ya?" pamit Arfan setelah menidurkan Aleta.Alya yang sedang menyelimuti tubuh Aleta mematung beberapa saat. Lagi-lagi Arfan memilih kata pergi saat berpamitan untuk pulang. Hal itu membuat jantung Alya berdebar tak biasa karena seharusnya Arfan menggunakan kata pulang bukan pergi.Di telinga Alya, seolah-olah Arfan sedang berpamitan untuk keluar rumah dari rumah yang mereka tempati. Namun, kenyataannya saat ini kondisinya tidaklah demikian. Mereka tinggal di rumah yang berbeda dan status mereka pun sudah kembali menjadi orang lain."Al," panggil Arfan lagi karena Alya tak juga merespon."Ah, iya, Fan." Alya sedikit gelagapan. Ia kemudian berucap sekenanya. "Makasih udah nidurin Aleta."Arfan menatap Alya yang sedang merapikan selimut Aleta. "Aku yang berterima kasih sama kamu, Al. Kamu udah jaga anak kita sebaik ini tanpa adanya aku di sisi kamu selama ini.""Sudah seharusnya. Dia putriku," ucap Alya dengan dada berdenyut nyeri."Mulai saat ini, kita akan jaga Ale
Beberapa hari setelah perbincangannya dengan Arfan di mobil malam itu, Meira merasa sudah tidak sanggup untuk mengatasi perasaannya seorang sendiri. Di satu sisi ia tidak sanggup jika harus kehilangan Arfan. Terlebih melihat Arfan kembali pada Alya. Akan tetapi, jika ia tidak mau melepas Arfan, maka seperti yang Arfan bilang, kemungkinan besar ia akan kembali menikahi Alya tanpa memedulikan keberadaannya."Tega sekali kamu, Fan ...."Hati Meira rasanya teriris-iris tiap kali memikirkan itu. Bagaimanapun ia mencoba memikirkan masalah itu, semua seperti buntu. Tak ada jalan keluar lain yang bisa ia lihat, kecuali berpisah atau menerima jika harus diduakan."Jahat sekali kamu, Fan ...." Meira meremas dengan kuat selimut tebal yang sejak tadi menutupi separuh tubuhnya. Seharian ini ia memang tidak pergi ke mana-mana. Suasana hatinya yang sedang tidak baik-baik saja membuatnya malas melakukan apapun. Terlebih Arfan juga sudah tidak ada di kamar itu. Meira menebak kalau Arfan telah pergi s
Seharian Arfan di rumah uring-uringan karena perkiraannya meleset. Ia pikir dengan tidak datang ke rumah Alya, Alya akan menghubunginya. Setidaknya dengan alasan Aleta menanyakan keberadaannya atau alasan apapun Arfan tidak peduli, yang penting Alya merasa kehilangan atas ketidakhadirannya. Namun, sampai Arfan sengaja tidak ke kantor, Alya sama sekali tidak menghubunginya.Akhirnya seharian Arfan hanya mondar-mandir keluar masuk rumah tidak jelas. Berkali-kali mengecek ponsel menunggu pesan atau telepon dari Alya. Meski sebenarnya jari-jari Arfan sangat tidak tahan untuk tidak menghubungi Alya, tetapi sekuat tenaga ia tahan. Ia ingin Alya yang menghubunginya.Langit sudah gelap, harapan untuk dihubungi Alya terpaksa Arfan kubur dalam-dalam. Seharusnya dari awal ia sadar kalau Alya tidak akan pernah menghubunginya. Arfan tahu betul sifat mantan istrinya itu, tetapi masih berharap pada sesuatu yang tidak akan mungkin Alya lakukan."Kamu enggak berubah sama sekali, Al," gumam Arfan semba
"Mama ...."Hati Alya langsung mencelos begitu mendengar suara Aleta yang begitu lemah memanggilnya. Dengan hati tak terbentuk lagi, Alya menguatkan diri untuk memasuki ruangan penuh peralatan medis tersebut. Hawa dingin langsung menyambut kulit Alya. Lalu suara monitor yang digunakan untuk memantau alat vital Aleta terdengar seperti alarm dari malaikat maut yang begitu menyeramkan."Mama dari mana? Kenapa Aleta ditinggal sendiri?" tanya balita itu lagi.Perawat yang berjaga untuk memantau perkembangan Aleta mengangguk mempersilakan Alya mendekat."Mama enggak kemana-mana, Sayang. Mama nunggu Aleta di luar." Sekuat tenaga Alya berusaha untuk berbicara dengan suara tenang. Jika tidak berada di depan Aleta, tentu saat ini tangis Alya sudah pecah."Mama di sini aja, Aleta enggak mau sendiri. Aleta takut, Ma.""Iya, Sayang." Dipegangnya jemari mungil putrinya yang lemah. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat kondisi putrinya seperti itu. Alya sampai tak kuasa melihat lama-lama wajah Al
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di