Hari senin merupakan hari yang paling dibenci oleh hampir semua orang, begitu juga Naya, tapi tidak untuk kali ini. Selama perjalan ke kantor, dia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia tidak sabar bertemu dengan pujaan hatinya. Padahal baru kemarin mereka bertemu, tapi entah kenapa rasa rindu begitu cepat menyerangnya.
"Selamat pagi!" sapa Naya saat memasuki ruangan departemen humas. Ruangan sudah tampak ramai, mungkin karena dirinya yang datang sedikit terlambat pagi ini.
"Mas Raga ke mana, Mas?" tanya Naya pada Jedi yang bermain ponsel di mejanya.
"Lagi di dalem sama Pak bos."
Dahi Naya berkerut, "Pak Rezal udah dateng? Tumben."
"Mau rapat sama departemen keuangan, makanya Raga, Fira, sama Arman lagi di dalem."
Naya menarik kursi dan duduk di samping Jedi, "Kok Mas Jedi nggak ikut? Kasian banget nggak diajak rundingan," ucapnya polos.
"Jangan ngadi-ngadi ya! Kerjaanku udah selesai duluan." Jedi melotot.
"Iya senior, junior minta maaf."
"Hari ini belum dikasih tugas kan, Nay?" tanya Jedi.
Naya menggeleng, "Belum, Mas. Kenapa?" Jedi mengambil laptopnya dan menunjukkan beberapa desain banner dan iklan yang sudah dia buat untuk acara ulang tahun perusahaan. Dia menunjukkannya pada Naya dengan penjelasan yang singkat. Berharap jika gadis itu memiliki masukan yang bisa dia terima.
"Kenapa nggak pake agensi iklan, Mas? Kan gampang terima jadi."
"Kalo pake agensi, aku kerja apa di sini? Jangan ngawur."
Naya tertawa, "Iya iya, orang jenius kaya Mas Jedi nggak boleh di sia-siakan."
"Nah, mumpung kamu belum dikasih tugas, nanti kamu ikut aku ke percetakan. Sekalian makan siang sama wartawan."
"Siap, bos!" Naya hormat dengan semangat. Namun itu tidak berlangsung lama saat pintu ruangan manager terbuka. Rezal keluar diikuti dengan Raga, Fira, dan Arman. Wajah ketiganya tampak tegang dan kaku. Perlahan Naya menurunkan tangannya yang sedang hormat sedari tadi. Hawa apa ini? Kenapa dia mendadak merinding? Ada apa dengan Rezal dan wajah kakunya?
"Nay," panggil Rezal dari depan ruang rapat.
"Ya, Sayang." Naya mengumpat dalam hati, para karyawan tertawa mendengar jawaban refleknya, "Maaf, maksud saya ada apa ya, Pak?" Naya mengelus lengannya dengan meringis, takut jika Rezal akan memarahinya mengingat betapa tidak bersahabatnya wajah itu.
"Kamu ikut rapat, jadi notulen." Setelah itu Rezal kembali masuk meninggalkan Naya yang berdiri dengan kaku. Bukan permintaan, melainkan perintah.
"Loh, aku ikut rapat apa ikut Mas Jedi?" tanya Naya bingung.
Jedi berdecak, "Udah lah, Nay. Kamu ikut rapat aja dari pada Pak Bos marah. Mukanya udah nggak enak tadi. Aku berangkat sama Erik aja."
"Takut tapi, Mas." Naya meringis.
"Nggak papa. Wajah Pak Rezal emang gitu kalo serius. Mungkin ada beberapa masalah sama acara, makanya perlu rapat lagi sama departemen keuangan."
Naya hanya bisa mengangguk. Perlahan dia menarik nafas dalam dan mengeluarkannya cepat. Diambilnya note dan mulai masuk ke dalam ruangan rapat. Di sana sudah ada Rezal yang duduk di kursi dengan lembaran kertas di tangannya. Fira terlihat tengah menata minuman kemasan di atas meja.
"Nay, kamu duduk di samping Pak Rezal. Nanti kamu catet poin-poin yang penting ya. Rekam sama hp kamu juga kalo nggak mau ketinggalan informasi." Raga terlihat membimbingnya, karena memang pria itu yang menjadi pembimbingnya selama magang.
"Iya, Mas." Naya duduk di samping Rezal yang masih fokus menatap kertasnya. Wajahnya tampak serius membuat Naya takut dan terpesona di satu waktu. Dia memang sudah gila! Semua orang tahu jika Rezal dalam keadaan suasana yang tidak baik, bisa-bisanya dia malah terpesona.
Pintu ruangan rapat terbuka dan muncul wajah-wajah asing yang tidak pernah Naya lihat sebelumnya. Dia ikut berdiri saat Rezal berdiri. Pria itu dengan gagah menyalami tamunya, lagi-lagi Naya terpesona.
"Baik, kita mulai saja ya," ucap Rezal yang membuat Naya membuka buku dan menyiapkan ponselnya cepat. Dia akan fokus sekarang. Menyimak apa saja poin penting yang harus dia tulis di buku catatannya.
***
Rapat berjalan cukup serius. Mereka membicarakan masalah yang menurut Naya memang penting untuk dibahas. Pantas saja wajah Rezal tampak kaku tadi pagi. Namun kali ini suasana sudah mulai mencair. Fira meletakkan beberapa camilan di atas meja yang dapat dinikmati oleh peserta rapat. Tingkah Raga dan Fira setidaknya sedikit mencairkan suasana sehingga mereka dapat menemukan jalan keluar.
"Saya sih maunya Raisa, Pak. Kan keren tuh," ucap Edo, karyawan departemen keuangan yang sebelas-dua belas tingkahnya sama seperti Raga.
"Enak juga Rosa," celetuk Fira.
"Eh sekarang itu jamannya EDM, undang Yellow Claw keren kayanya." Raga ikut menyahut.
"Dih, mau dugem lo?!" Arman mencibir.
Naya tertawa dan melirik Rezal yang tersenyum tipis. Dia menahan nafas saat melihat itu. Lagi-lagi dia terpesona. Sampai kapan dia harus di sini? Naya sudah tidak kuat lagi untuk menahan diri.
"Masalah artis, kita bisa tanya masyarakat lewat sosial media. Tinggal pilih beberapa nama dan ambil voting," ucap Rezal menengahi.
Edo mengangguk, "Setuju, masalah dana gampang lah, nanti bisa diatur dan dibicarain lagi."
Mereka kembali membicarakan hal ringan seputar acara ulang tahun perusahaan. Tidak hanya konser, tapi ada kegiatan lainnya yang dapat memberikan citra baik bagi perusahaan.
"Eh, ngomong-ngomong siapa namanya, Dek?"
Naya mendongak dan menatap Edo dengan tatapan bingungnya, "Saya, Mas?"
"Ya iya lah, kan manggilnya adek. Yang paling imut di sini kan cuma kamu."
Raga memukul kepala Edo dengan gulungan kertas, "Jangan godain anak gue lo ya!"
"Siapa tau cocok, Ga. Enak banget ada yang bening di sini. Di keuangan, anak magangnya lakik semua." Edo mendengkus.
Naya tersenyum mendengar itu, "Nama saya Naya, Mas."
"Duh manis banget senyumnya."
"Nggak udah modus lo!" Kali ini Fira yang memukul kepala Edo.
Naya hanya bisa tertawa melihat itu. Setelah beberapa hari magang, dia sudah terbiasa dengan godaan-godaan yang tertuju padanya, bahkan dari karyawan muda selain departemen humas. Namun Naya tahu, jika itu semua hanya candaan belaka. Dia tidak lupa jika dirinya hanya anak magang di sini, yang artinya dia akan menjadi objek kejahilan para karyawan. Untung saja mereka semua memperlakukannya dengan baik.
"Punya HP kan, Nay? Boleh minta nomer WA?" Edo bertanya.
Rezal yang sedari tadi diam mulai berdehem pelan. Dia menata kertasnya dan berdiri, "Kalau begitu saya akhiri rapat hari ini. Tolong semua informasi dikomunikasikan dengan baik, biar nggak ada yang kelewat." Rezal beralih pada Naya, "Kamu ikut saya ke ruangan. Bawa catetan kamu juga."
"Siap, Pak." Naya dengan cepat berdiri dan pamit pada seluruh peserta rapat yang masih berada di ruangan.
Dengan langkah yang sedikit lebar, Naya mulai masuk ke ruangan Rezal. Pria itu sudah duduk di kursinya dengan tangan yang merenggangkan dasinya.
"Ini, Pak. Catetan saya." Naya memberikan bukunya.
Rezal hanya menatap Naya dalam tanpa berniat mengambil buku itu. Dia masih memperhatikan gadis di depannya yang memasang wajah polosnya.
"Bapak kenapa?" tanya Naya saat Rezal tak kunjung mengambil bukunya. Yang ada pria itu malah menatapnya tajam.
"Puas?"
"Ha?" Naya bertanya dengan bingung.
"Puas digodain sama Edo?"
"Loh.." Naya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia terlalu bingung untuk menjawab pertanyaan aneh itu.
Ada apa dengan Rezal?
***
Ruangan hening itu seolah mendukung situasi tegang yang sedang terjadi. Dua orang di dalamnya masih duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Tidak melakukan apapun, hanya sibuk bergelut dengan batin mereka sendiri.
Naya meremas bantal sofa dengan gemas. Sudah 15 menit dia duduk di ruangan Rezal setelah pria itu mengatakan hal yang membuatnya terkejut. Naya tidak melakukan apapun di sana. Dia hanya menurut saat Rezal memintanya untuk duduk selagi pria itu memeriksa hasil rapat yang dia catat.
"Pak?" panggil Naya saat dia sudah tidak kuat dengan keheningan. Jika terus diam seperti ini lebih baik dia keluar. Jujur saja, melihat Rezal dengan wajah datarnya membuatnya takut. Naya malah kembali teringat dengan pertemuan awal mereka di restoran dulu.
"Saya nggak minta kamu bicara." Rezal menjawab acuh.
"Kok Pak Rezal tiba-tiba marah?" Naya mengerutkan dahinya tidak suka.
Rezal menghela nafas lelah dan melempar buku catatan yang dia baca ke atas meja. Naya sempat terkejut melihat itu, dia merasa pria itu tidak menghargai hasil kerjanya.
"Maaf, saya cuma nggak suka liat cewek yang terlalu ramah sama semua cowok."
Naya mencibir, "Bapak nyindir saya?"
Rezal mengangkat kedua alisnya, "Kamu tersindir?"
Lagi-lagi Naya mengumpat dalam hati. Sebenarnya ada apa dengan pria di hadapannya ini?
"Kalo nggak ada apa-apa mending saya keluar, Pak." Naya bergumam.
"Ya udah, kamu boleh keluar."
Naya dengan cepat meraih buku catatannya dan beranjak pergi. Sebelum benar-benar keluar, dia kembali menatap Rezal.
"Pak?" panggilnya. Rezal hanya bergumam tanpa menatap Naya. Pria itu terlihat menyibukkkan diri dengan komputer di depannya, "Cemburunya Bapak nggak keren." Lanjutnya yang kali ini membuat Rezal mendongak terkejut.
Cemburu?
***
Rezal keluar dari bank saat sudah selesai dengan urusannya. Ketika akan masuk ke dalam mobil, suara panggilan yang lembut membuat langkahnya terhenti. Dia berbalik dan mendapati wanita yang tidak asing lagi untuknya. Wanita yang sudah bertahun-tahun menghilang dari hidupnya.
"Kamu di sini, Zal?" tanya Luna, teman kuliahnya dulu.
Rezal sempat terkejut melihat kehadiran wanita itu. Bagaimana tidak jika yang dia tahu, Luna tinggal di Kalimantan bersama suaminya. Namun lihat sekarang, wanita itu berada di depannya saat ini.
"Kamu di sini, Lun?" tanya Rezal tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Iya, aku pindah lagi ke Jakarta."
Jantung Rezal seperti di remas mendengar itu. Jujur saja, hubungannya dengan Luna tidak begitu baik setelah masa lalu yang mereka lalui. Bisa dibilang, wanita itu yang membuat Rezal betah untuk melajang sampai sekarang. Bukan berarti dia tidak bisa move-on, Rezal yakin jika rasa itu sudah lama hilang dari hatinya. Bahkan saat mengingat masa lalu itu hatinya kembali sakit.
"Sama suami?" tanya Rezal basa-basi. Jujur saja dia ingin menyudahi percakapan ini.
Luna tersenyum dan mengangguk. Sedetik Rezal sempat terpaku melihat senyum yang masih sama seperti dulu, tapi senyum itu bukan miliknya lagi dan dia juga tidak menginginkannya lagi.
"Udah lama aku nggak denger kabar kamu. Padahal aku nungguin undangan kamu di Kalimantan."
Rezal tersenyum kecut dan menunjukkan tangan kirinya, tepat pada jari manisnya. "Belum nikah."
Lagi-lagi Luna tersenyum. Pantas saja jika wanita itu menjadi primadona kampus dulu. Luna begitu anggun dan menarik. Setidaknya itu yang Rezal lihat darinya dulu. Berbeda dengan sekarang.
"Kalau gitu aku duluan ya." Tanpa basa-basi Rezal masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
Mendengar jika Luna kembali ke Jakarta membuat hatinya sedikit panas. Apa dia akan kembali terbayang-bayang akan masa lalu?
***
Rezal kembali ke kantor saat jam makan siang sudah hampir habis. Dia melihat para karyawannya sudah duduk dengan tenang di mejanya masing-masing, tapi tidak dengan Raga. Pria itu terlihat memainkan gitarnya dan bernyanyi pelan. Rezal tidak mempersalahkannya karena Raga bekerja dengan baik selama ini. Pria itu memang hobi menyanyi, tak heran jika selalu ada gitar di manapun dia berada. Rezal tidak melarang, dia akan memberikan kebebasan pada karyawannya selama itu tidak mengganggu pekerjaan dan melanggar protokol perusahaan.
"Anak magang ke mana?" tanya Rezal menarik kursi untuk mendekat ke arah Raga.
"Cieee, yang nyariin Naya."
Rezal mendengkus dan mengambil koran di atas meja, mencoba mencari kesibukan sambil menunggu jam kerja yang akan kembali dimulai.
"Ke toilet kayanya, Pak." Arman menjawab, masih fokus pada game di ponselnya.
"Pak, duet yuk. Live Instagram." Raga mulai membuka ponselnya untuk memulai live. Kapan lagi dia bisa mendapat kesempatan untuk panjat sosial dengan managernya yang banyak penggemarnya ini.
"Kamu yang nyanyi, saya yang main gitar." Rezal meraih gitar Raga dan mulai mencocokkan nada.
Matanya beralih pada pintu saat Naya muncul dengan wajah pucatnya. Mata mereka bertemu dan saling bertatapan selama beberapa detik. Naya yang melihat Rezal berada di mejanya hanya bisa mengumpat dan mengalihkan pandangannya. Jujur saja, dia masih kesal dengan tingkah pria itu tadi pagi. Hanya kesal, karena Naya yakin jika besok dia akan kembali terpesona pada Rezal.
"Nay, duet yok!" ajak Raga.
Naya menggeleng dan mulai bersandar pada mejanya, "Nggak ah, Mas. Yang ada Mas Raga mendadak tuli denger suaraku."
"Kamu kenapa? Kok pucet?" Raga bertanya saat menyadari Naya yang terlihat lemas.
"Nggak papa kok. Biasalah cewek, hari pertama perut suka sakit." Naya menunjuk perutnya. Pantas saja emosinya tidak terkendali hari ini, ternyata tamu bulanannya datang secara mendadak. Bahkan wajah tampan Rezal di depannya tidak mampu meredakan kekesalannya.
"Pulang aja kalo nggak kuat." Fira memberi saran. Sebagai sesama wanita, dia tahu apa yang dirasakan oleh Naya.
"Nggak papa kok, Mbak. Sakitnya nggak seberapa kalo dibandingin sama omongan orang."
Mendengar itu, Rezal reflek menghentikan petikan gitarnya. Dia melirik Naya yang ternyata juga menatapnya. Jadi gadis itu menyindirnya? Tak ingin ambil pusing, Rezal kembali memainkan gitarnya, mengabaikan obrolan para karyawannya yang mulai tidak jelas.
"Pak, nggak ada camilan ya?" tanya Jedi yang sedari tadi hanya diam. Pria itu merenggangkan punggungnya setelah cukup lama berkutat dengan video yang dia edit. Jika bukan karena deadline, dia tidak akan mau menggunakan jam makan siangnya untuk duduk di depan komputer seharian.
"Pesen donat sana," tawar Rezal tanpa mengalihkan pandangannya dari gitar.
"Sama minumnya juga ya, Pak?" Arman ikut berbicara yang hanya dibalas anggukkan oleh Rezal.
Naya yang mendengar itu meraih tas makannya dan memberikannya pada Jedi, "Aku masih ada kue, Mas. Buat ganjel perut kalo mau."
"Nggak kamu makan?" tanya Jedi menerima tas yang Naya berikan.
"Nggak mood makan."
"Dasar cewek. Lagi biasa aja susah dipahami, apalagi kalo lagi PMS. Behh makin jadi," celetuk Raga.
"Nay, Ibu kamu jualan kue kan ya?" Jedi tiba-tiba bertanya sambil memakan kue Naya.
"Iya, Mas. Kenapa?"
"Kenapa nggak kamu jual aja di kantor? Lumayan kan kita ada camilan tiap detik."
Naya tertawa mendengar itu. "Kan lagi magang, Mas. Masa jualan?" Lagi-lagi matanya melirik Rezal yang masih sibuk dengan kegiatannya. Apa pria itu selalu acuh seperti ini? Bahkan sindirannya tadi tidak berpengaruh sedikitpun untuknya.
"Boleh juga tuh. Nggak papa, bawa aja. Ya kan, Pak? Boleh kan?" Fira bertanya pada Rezal.
"Terserah. Saya nggak masalah selama kalian masih bisa fokus kerja," jawab Rezal.
"Kita sih bisa fokus, Pak. Nggak tau si Raga tuh, dia kan doyan makan." Dengan kesal Raga melempar Arman dengan koran.
"Oke, nanti aku coba omongin sama Ibuk."
"Eh, Nay. Si Edo minta nomermu nih. Kasih nggak? Tiap detik telepon terus udah kayak pengangguran."
Mendengar itu, Rezal menegakkan duduknya dan meletakkan gitar Raga di atas meja. Ucapan Jedi membuatnya malas untuk kembali bermain. Naya menyadari apa yang dilakukan Rezal. Pria itu terlihat duduk dengan tegang. Lihat tangan yang terlipat di dada itu? Begitu angkuh dan menjengkelkan.
"Kasih aja, Mas. Nggak papa," jawab Naya masih menatap Rezal. Sedetik setelah mengatakan itu, mata mereka bertemu. Naya tersenyum manis, mengabaikan tatapan Rezal yang tampak mengintimidasinya.
"Serius? Aku kasih nih ya." Naya hanya mengangguk.
"Oke, jam istirahat udah habis. Kalian kerja lagi, nggak usah banyak bercanda. Kalau saya denger suara ketawa kalian dari dalem, nggak akan ada bonus yang cair." Rezal berdiri dan masuk ke dalam ruangannya, mengabaikan karyawannya yang bingung akan perubahan suasana hatinya yang begitu cepat.
Naya menunduk dan mengulum bibirnya, mencoba menahan diri untuk tidak tersenyum. Niat awal dia hanya ingin menggoda, tapi ternyata dia tidak menyesal akan hasilnya.
Cemburunya Pak Rezal beneran nggak keren.
***
Suasana meja makan pagi itu tampak hening, hanya terdengar suara piring dan sendok yang saling beradu. Ibu Rezal menatap anaknya dengan pandangan menilai. Pria itu terlihat baik-baik saja, seperti tidak ada yang terjadi. Setidaknya Ibu Rezal bersyukur melihat itu. Dia baru saja mendengar kabar mengejutkan yang mendadak membuatnya naik darah."Zal?" panggil Ibunya.Rezal tidak menjawab dan hany
"Gimana Jepang?" tanya Rezal pada Naro, sahabatnya.Tangannya kembali mengambil ayam dan memakannya. Sebenarnya Rezal tidak terlalu suka makanan cepat saji, tapi karena Naro yang memintanya datang akhirnya dia meluangkan waktu istirahatnya malam ini."Bagus," balas Naro sambil memakan nasinya.
Di dalam mobil, Naya tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia menggenggam erat keranjang kue yang ada di pangkuannya. Seperti permintaan para karyawan humas kemarin, hari ini Naya membawa kue buatan ibunya. Tentu saja ibu Naya menyambut hangat tawaran itu. Wanita itu tidak menyangka jika kegiatan magang anaknya akan membawa rezeki untuk keluarganya."Maaf ya, Pak. Tadi sarapannya cuma telor goreng." Naya terkekeh mengingat kejadian tadi pagi."Nggak masalah, Ibu kamu juga lagi sibuk bikin kue," jawab Rezal ketika mobil berhenti di lampu merah. Sebentar lagi mereka akan sampai dan Naya merasa sedih karena kebersamaan mereka akan berakhir."Biasanya ibuk masak sarapan kok, Pak. Cuma hari ini kayanya enggak."Rezal melirik sebentar, "Biasanya masak apa?"Naya berbicara sambil menunjuk jarinya satu-persatu, "Telor mata sapi, telor dadar, telor rebus, telor kecap, tel—""Kamu suka telur?" tanya Rezal sedikit geli."Iya, Pak. Apalagi
Naya keluar dari kantor dengan bibir yang cemberut. Sudah satu jam dia berdiri dengan gelisah karena tidak melihat wajah Rezal. Tidak, bukan karena merindukannya, melainkan jam kerja yang telah berakhir. Jika pria itu tidak ada di kantor, Naya pulang dengan siapa sekarang? Lagi-lagi dia menyesal tidak membawa kendaraan sendiri. Sudah berjalan sendiri melewati taman seluas safari dan sekarang dia juga harus pulang sendiri. Ingatkan dia untuk memukul kepala Rezal jika bertemu.Eh, mana bisa? Keduluan terpesona yang ada.Naya membuka ponselnya dan bergegas untuk memesan ojek online. Langit yang mulai gelap membuatnya sedikit merinding. Meskipun masih ada beberapa orang di kantor, tapi tidak ada yang menjamin jika mereka semua adalah manusia."Ayo pulang." Tiba-tiba seseorang berbicara dan melewati tubuhnya begitu saja. Naya terkejut dan menatap punggung Rezal yang menjauh dengan bingung.Melihat Naya yang tidak mengikutinya, Rezal berbalik dan mengg
Naya tampak mengetik dengan serius di samping Fira. Khusus hari ini, dia diminta untuk membantu Fira yang sedikit kerepotan mengingat jika ulang tahun perusahaan akan berlangsung 2 minggu lagi. Waktu yang cukup singkat untuk memastikan jika semuanya berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan."Ini kamu ketik aja sama persis, formatnya udah aku kirim ke email kamu. Nanti kalo udah, kirim ke aku ya, Nay. Biar dicek dulu." Fira terlihat memberi pengarahan sebelum kembali berbicara di telepon, mungkin dengan vendor."Selamat siang!" teriak Jedi yang masuk ke dalam ruangan diikuti Arman. Mereka berdua baru saja mengambil beberapa gambar di sekitar gedung perusahaan untuk kepentingan acara."Nay, mau ikut nggak?" tanya Jedi meletakkan kameranya di atas meja."Ke mana, Mas?""Hotel Olive. Ada acara kecil-kecilan sama orang media. Biasa lah, jalin silaturahmi." Jedi mengedipkan sebelah matanya."Nggak bisa! Naya lagi bantuin gue di sini," ucap
Naya menatap layar laptopnya dengan serius. Raga memintanya untuk mengunggah artikel di website perusahaan. Hanya mengunggah, karena semua artikel telah dibuat oleh karyawan humas. Lain kali Raga akan mengizinkannya untuk membuat artikel jika ada kegiatan perusahaan. Naya sudah mempunyai ide untuk hari ulang tahun perusahaan nanti. "Sekalian kamu baca ulang ya, Nay. Pastiin nggak ada typo. Bisa jadi referensi juga buat kamu nanti kalo nulis, harus tetep ada khas-nya artikel perusahaan." Naya mengangguk patuh, "Iya, Mas. Oh ya, besok aku ikut Mas Jedi ya ke lapangan?" "Mau ikut ambil video?" tanya Raga memastikan. "Iya, Mas."&
Lima hari telah berlalu dan Naya menjalani harinya dengan lesu. Rezal yang harusnya kembali 2 hari yang lalu harus diundur karena keperluan yang mendadak. Entah kapan pria itu akan kembali Naya tidak tahu. Selama dua hari ini juga mereka tidak saling menyapa. Mungkin pria itu benar-benar sibuk. Naya harus bisa memakluminya. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Ayah Naya melihat wajah lesu anaknya. Naya menggeleng pelan, "Nggak papa kok, Yah." "Gimana kabar ibu kamu?" Pertanyaan itu membuat Naya sedikit tersenyum. Setidaknya Ayahnya masih mengingat ibunya. Naya sadar jika tidak ada rasa benci dari Ayahnya untuk mantan istrinya itu, justru ibunya lah yang sangat m
Mata sayu itu menatap buah di depannya dengan pandangan kosong. Jam yang sudah menunjukkan tengah malam tidak membuatnya mengantuk. Justru di jam inilah dia merasa terbebas dari suaminya. Luna menunduk dan meremas rambutnya kesal. Dia sudah cukup lama memendam perasaan ini. Perasaan yang dia sembunyikan dan ingin dia ungkapkan sejak kembali ke Jakarta. Luna tidak bahagia. Dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Kebahagiaan yang dia anggap benar itu ternyata tidak bertahan lama. Dulu dia berpikir jika Faisal memanglah pria terakhirnya, tapi setelah kembali bertemu Rezal, dia tidak bisa menyangkalnya lagi. Hatinya masih berdetak kencang untuk pria itu. Akhir-akhir ini Luna menjadi gelisah. Dia kembali teringat pertemuannya ber
Menjadi seorang istri di usia muda tidak pernah Naya pikirkan sebelumnya. Meskipun usianya sudah menginjak 21 tahun, tetap saja di jaman sekarang usia tersebut masih terbilang cukup muda untuk membina rumah tangga.Berbeda dengan kebanyakan anak muda lainnya, Naya memilih untuk mengambil jalannya sendiri. Dia rela mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan Rezal. Bersyukur pria itu juga mengerti dirinya.Selama empat bulan ini, Rezal berperan sebagai suami yang bijaksana. Dia sadar akan usia Naya yang masih muda.
Naya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan lekat.Dressselutut berwarna hitam yang dia pakai terlihat pas ditubuhnya. Rambutnya juga terurai indah dengan gelombang di bagian ujungnya. Naya melakukan semuanya sendiri, termasukmake-upsederhana di wajahnya.Malam ini Rezal mengajaknya
Hari yang panas membuat Naya ingin segera membersihkan diri. Setelah pulang dari kampus dia berniat untuk mengurung diri di kamar. Entah mengerjakan tugas, mengedit video, mengedit foto, atau yang lainnya. Naya hanya ingin bersantai mengingat jika akhir-akhir ini waktunya cukup terkuras untuk tugas kampus. Tentu saja, dia sudah semester atas. Naya tidak bisa lagi berleha-leha seperti saat menjadi mahasiswa baru dulu.Setelah menyalakan AC, Naya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan melihat pesan singkat dari Rezal. Hanya sebuah gambar, tidak ada tulisan sebagai penjelas. Begitu singkat dan tidak bisa berbasa-basi.Naya terkekeh saat
Rezal memasuki rumahnya sambil merenggangkan dasi yang terasa mencekik leher. Hari ini jadwalnya cukup padat tapi sebisa mungkin dia akan pulang tepat waktu. Entah kenapa setelah menikah, Rezal jarang lembur di kantor. Jika memang ada pekerjaan, dia lebih memilih untuk mengerjakannya di rumah sambil menikmati wajah ayu istrinya.Dengan bersiul, Rezal membuka pintu kamarnya. Di kamar, dia melihat Naya tengah mengambil beberapa baju dari lemari. Di sampingnya juga ada koper kecil berwarna hitam."Kamu ngapain?" tanya Rezal bingung.Naya menoleh dan tersenyum melihat kedatangan suaminya. Saat Rezal sudah berada di depannya, Naya segera mencium tangan suaminya. Sebagai tanda hormat, kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan sejak masih pacaran."Ini lagi nyiapin baju buat Mas Rezal besok," ucap Naya kembali mem
Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sebuah kenyataan. Pada tahap ini, tiap pasangan dituntut untuk saling menerima satu sama lain. Baik itu sifat baik dan sifat buruk, baik itu kekurangan ataupun kelebihan.Seperti yang terjadi pada Rezal dan Naya setelah menikah. Masa pendekatan yang begitu singkat membuat mereka sama-sama terkejut dengan kebiasaan masing-masing. Naya yang masih muda cenderung santai dan apa adanya, berbeda dengan Rezal yang lebih disiplin dan bijaksana. Jarak usia juga bisa menjadi faktor perbedaan tersebut. Namun itu tidak mereka jadikan alasan untuk saling menarik diri, justru dengan adanya perbedaan itu mereka saling melengkapi dan jatuh cinta setiap harinya.Di sebuah kamar, Rezal tampak berbaring santai dengan laptop Naya di pangkuannya. Tidak ada yang dia lakukan, hanya melihat-lihat isi folder yang ada. Sedangkan istrinya tengah berada di kama
Cahaya kilat yang terang membuat Naya menutup matanya erat. Tak lama terdengar suara petir yang membuat semua orang, termasuk dirinya mulai membaca doa dalam hati. Entah kenapa cuaca akhir-akhir ini begitu menakutkan. Naya terpaksa meneduh di pinggir jalan saat hujan turun dengan derasnya.Hari ini memang Naya disibukkan dengan kegiatan kampus sampai malam. Saat dia akan pulang, ternyata Tuhan tidak mengabulkan doanya. Naya sudah berdoa agar hujan tidak turun tapi takdir berkata lain. Di sini lah dia sekarang, meneduh di pinggir jalan bersama dengan pengendara motor lainnya.Pada saat seperti ini Naya hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia menyesal tidak siap sedia jas hujan di motornya. Sudah menjadi kebiasaannya melupakan benda penting itu.Saat akan menghubuhi Rezal pun, Naya berdecak kesal. Lagi-lagi dia mengumpati kebodoh
Dengan kehendak Tuhan, kehidupan seseorang bisa langsung berubah dalam waktu sekejap. Hal ini juga berlaku untuk Naya. Meski sebelum menikah dia sudah bahagia hidup bersama Ibunya tapi setelah menikah kebahagiaan itu menjadi berkali-kali lipat. Naya yang memang tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang pria di hidupnya sangat bersyukur dengan kehadiran Rezal."Mama niatnya mau beli tanah di sebelah rumah kita, Nay. Kosong kan ya? tapi ternyata nggak dijual sama yang punya. Kan enak kalau kita tetanggaan," ucap Ibu Rezal yang duduk di kursi belakang bersama Ibunya Naya."Kan masih satu perumahan, Ma. Cuma beda gang aja.” Kali ini Rezal yang berbicara dan mobil berhenti tepat di sebuah rumah berlantai dua yang terlihat mewah."Ini rumah kita, Mas?" tanya Naya denga
Di hari Rabu pagi, ketika matahari belum muncul dengan sempurna, Rezal sudah berada di taman komplek untuk berolah raga. Dia hanya sendiri dan meninggalkan Naya yang masih tertidur. Ini kali pertama Rezal kembali berolah raga setelah menikah. Dia sudah mulai terlena akan kehidupan rumah tangga yang menyenangkan sehingga lupa akan segalanya."Mas Rezal kok olahraga sendiri?" tanya salah satu wanita yang Rezal ingat adalah tetangganya. "Mana istrinya, Mas?""Masih tidur," jawab Rezal dengan senyuman tipis."Pasti kecapekan ya?" Kali ini ibu dari wanita itu yang berbicara. Rezal hanya bisa tersenyum tipis. Tidak berniat menjawab pertanyaan yang sering dia dapatkan setelah menikah.
Suara langkah sepatu yang terdengar tegas mulai memasuki ruangan departemen humas. Rezal melirik jam tangannya sebentar yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Meskipun masih pagi, tapi terlihat sudah banyak karyawan yang datang."Selamat pagi," sapa Rezal yang membuat semua orang terkejut."Loh, udah balik, Pak?" tanya Raga bingung."Asli! Wajahnya makin cerah sekarang," ucap Jedi dengan nada menggodanya."Ya cerah lah, Jed. Kan habis bulan madu." Kali ini Fira yang berbicara.Arman terkekeh, "Udah dong, guys. Kalian nggak liat itu wajahnya Pak Rezal udah merah. Pasti malu banget."Rezal hanya bisa pasrah saat semua orang mulai menggodanya. Dia tidak marah, dia hanya malu. Apalagi jika pembahasan sudah menjurus ke arah yang lebih sensitif. Apa yang bis