Dua bulan kemudian
Rezal memasuki restoran sunda dengan langkah pelan. Matanya mengedar untuk mencari seseorang yang ingin bertemu dengannya. Dia menatap ponselnya sekali lagi sebelum menemukan wanita berbajukuning yang duduk membelakanginya. Rambut panjang berwarna coklat dan kulit putih bersih itu sangat cocok dengan ciri-ciri yang disampaikan ibunya lewat pesan singkat.
Tanpa membuang waktu, Rezal segera datang menghampiri. Dia tidak bisa berlama-lama karena harus kembali ke kantor. Dia sengaja datang terlambat agar tidak menghabiskan waktu makan siangnya bersama wanita pilihan ibunya.
"Hai, udah lama nunggu?" tanya Rezal mengulurkan tangannya.
"Rezal ya? Belum kok, baru aja dateng," balas wanita itu menerima uluran tangannya.
Rezal melirik pada dua gelas kosong di atas meja. Wanita itu berbohong, dia sudah lama menunggu.
"Kamu mau pesen apa, Zal?"
Rezal menggeleng, "Saya nggak pesen apa-apa. Nggak bisa lama soalnya."
"Kenapa?" Terlihat wanita itu sedikit kecewa. Namun bukan Rezal jika tidak bisa bersikap acuh.
"Harus balik ke kantor, ada rapat."
Wanita itu mengangguk dan menutup buku menu. Dia mulai menatap Rezal sepenuhnya. "Kamu kerja di mana, Zal?"
"Di perusahaan BUMN."
"Aku denger kamu manajer ya?" tanya wanita itu lagi.
Rezal melirik sebentar dan mengangguk. "Humas," jawabnya singkat.
Terjadi keheningan yang cukup lama di antara mereka. Sebenarnya Rezal bukan tipe orang pendiam, tapi dia juga tidak cerewet. Rezal masih bisa membicarakan hal yang ringan dengan orang lain. Namun tergantung juga dengan siapa dia berbicara.
"Oke Rani, kalau nggak ada yang perlu diomongin lagi. Saya balik ke kantor ya?"
"Rana."
Alis Rezal terangkat mendengar itu, tapi dia segera mengangguk setelah paham. "Oke Rana," gumam Rezal pada dirinya sendiri. Jujur saja dia tidak pernah mengingat wanita-wanita yang dikenalkan oleh Ibunya.
"Kamu belum ada 10 menit duduk di sini lo, Zal."
"Tapi saya harus balik." Rezal berdiri dan mengulurkan tangannya, "Sampai jumpa lagi, Rani." Setelah itu dia berlalu pergi.
Wanita yang ditinggalkan itu hanya tersenyum kecut. "Rana, namaku Rana," gumamnya pelan dan menatap punggung Rezal yang menjauh pergi.
Rezal menghentikan langkahnya yang akan masuk ke dalam mobil saat mendengar seseorang memanggilnya. Dia menoleh dan mendapati Ardi, salah satu pegawainya di restoran sunda tersebut.
"Ada apa, Di?"
"Pak Rezal sibuk nggak? Kita ada sedikit kendala sama pasokan ikan, Pak. Kalau bisa sih dibicarain sekarang, mumpung Pak Rezal dateng ke restoran."
"Tapi saya nggak bisa lama ya."
"Iya, Pak. Cuma sebentar kok." Rezal mengangguk dan kembali mengunci mobilnya. Dia sempat melihat Rana yang sudah pergi dengan taksi. Setidaknya Rezal akan aman jika kembali masuk ke dalam restoran.
***
"Mas Nara..." Naya kembali merengek dan menarik tangan kakak sepupunya yang sedang bekerja.
"Aduh! Apa sih, Nay? Gue lagi kerja ini." Nara terlihat kerepotan dengan piring kotor di tangannya. Keberadaan Naya di sini semakin memperlambat gerak kerjanya.
"Pinjem kamera, Mas."
"Udah dibilang kameranya mau disewa temen gue." Nara masuk ke area dapur, tanpa sungkan Naya mengikutinya.
"Tapi ini penting, Mas. Ada job lumayan. Udah aku acc juga, masa dibatalin," ucapnya dengan cemberut.
"Ya mau gimana lagi? Kameranya udah di-booking sama temen, Nay."
"Batalin, dong."
Nara mendorong kepala Naya keras, "Kamu aja yang nyewa kamera sana," ucapnya keluar dari dapur dan kembali mengambil piring kotor yang ada di meja pelanggan.
"Nggak mau, Mas. Mahal."
"Resiko, Naya. Udah ya gue mau kerja, jangan ganggu!" Nara berusaha melepaskan lengannya dari cengkraman Naya. Adegan tarik-menarik masih terjadi sampai Nara tidak sengaja menabrak tubuh seseorang karena fokusnya yang terganggu. Bunyi suara pecahan terdengar nyaring di restoran itu. Perlahan Naya melepaskan tangan Nara dan menutup bibirnya tidak percaya.
"Mas," bisik Naya pelan.
Nara memejamkan matanya saat melihat siapa yang dia tabrak. Perlahan dia menunjukkan senyum polosnya. "Pak Rezal," sapanya pelan. "Maafin saya ya, Pak."
Rezal hanya diam dan menatap Nara dan gadis di sampingnya bergantian. Setelah itu dia juga melirik gelas dan piring yang telah pecah bertebaran di atas lantai.
"Cepet bersihin, jangan buat pelanggan terganggu." Hanya itu yang Rezal ucapkan.
Dengan cepat Nara memungut pecahan itu. Naya yang tersadar akan ketampanan pria di hadapannya juga ikut membantu Nara. Dia merasa tidak enak. Sungguh, dia tidak bermaksud mengacaukan pekerjaan sepupunya.
"Lain kali jangan bawa masalah pribadi ke pekerjaan. Kamu jadi nggak fokus," ucap Rezal setelah Nara selesai membersihkan pecahan yang ada.
"Pak, maafin Mas Nara ya." Entah kenapa Naya ikut membuka suara. Dia masih merasa bersalah.
Rezal hanya menatapnya sekilas dan kembali beralih pada Nara, "Balik kerja. Suruh pacarmu pulang." Setelah itu Rezal berlalu keluar dari restoran.
Melihat punggung lebar itu yang menjauh, Naya mengedipkan matanya berulang kali. Apa dia terpesona dengan pria asing itu?
"Mas Nara, dia siapa?" tanya Naya masih fokus menatap punggung Rezal dari dinding kaca.
"Bos gue," sahut Nara kesal.
"Ganteng banget, Mas. Kayanya dia deh jodoh aku."
"Jangan mimpi!" Lagi-lagi Nara mendorong kepala Naya. "Udah pulang sana, nggak beres kerjaan kalo ada lo. Potong gaji deh ini."
Seakan tersadar, Naya kembali meraih tangan Nara. Mencegah sepupunya itu untuk pergi.
"Apa lagi?" sahut Nara malas.
Naya berdecak dan menghentakkan kakinya pelan, "Pinjem kamera, Mas. Nanti bayarannya kita bagi dua."
"Duh, iya iya. Ambil sana di rumah!" Nara memilih menyerah dan berlalu pergi. Meninggalkan Naya yang tersenyum bahagia.
***
Mata Naya fokus menatap ponselnya dengan pandangan penasaran. Jari-jarinya dengan lincah menari di atas sana. Setelah menemukan apa yang dia cari, Naya mulai tersenyum bahagia.
"Jadi namanya Rezal," gumam Naya setelah berhasil menemukan akun instagram bos sepupunya di restoran.
"Gusti, jantan banget!" Lagi-lagi Naya terpesona dengan salah satu foto Rezal yang sedang berolah raga.
"Kenapa Mas Nara nggak pernah bilang kalo bosnya cakep gini? Emang bener ya, Tuhan memang adil. Kalo jelek ya jelek banget, kalo ganteng ya kayak Pak Rezal gini, gurih-gurih semriwing. Bikin hati adem."
Suara gebrakan dari pintu kamar yang terbuka membuat Naya terlonjak terkejut dan ponselnya langsung terjatuh di atas wajahnya. Dia menyesal memilih untuk merebahkan diri tadi.
Matanya melirik ke arah pintu dan mendapati Ibunya yang menatapnya tajam. "Jam berapa ini?! Kok belum tidur?"
Naya melirik jam dinding dengan malas, "Baru jam 12, Buk."
"Tidur! Besok kamu udah mulai magang."
"Iya, iya.." Naya mulai memperbaiki posisi tidurnya dan menarik selimut. "Lagian Ibuk juga kenapa belum tidur?" tanya Naya saat Ibunya masih berdiri di depan pintu.
Sedetik kemudian raut wajah Ibunya yang garang langsung berubah. Wanita paruh baya itu menggoyangkan kakinya geli dan berlalu pergi, "Ibuk kebelet pipis tadi," gumamnya dan berlalu masuk ke kamar mandi.
Naya mendengkus dan mulai memejamkan matanya. Namun dia kembali membuka matanya saat teringat akan hari esok, hari pertamanya magang. Gugup? Tentu saja. Dia akan bertemu dengan banyak senior di sana. Naya takut jika tidak bisa berbaur dengan baik.
"Oke Naya, nggak perlu takut. Lo cuma perlu senyum dan nurut. Semua akan baik-baik aja." Naya menyemangati dirinya sendiri. "Iya baik-baik aja."
***
Naya menatap penampilannya di depan cermin dengan dahi yang berkerut. Sesekali tangannya memperbaiki tanda pengenal yang mengalungi lehernya.
Kanaya Audelina F.
Universitas Nusantara
Departeman Hubungan Masyarakat (Mahasiswa magang)
Naya tersenyum melihat tanda pengenal itu. Dia berharap suatu hari bisa memiliki tanda pengenal itu secara tetap, sebagai pegawai perusahaan tempat dia magang saat ini.
Sekali lagi Naya melihat penampilannya di cermin. Kemeja putih dan celana kain terlihat begitu formal di tubuhnya. Tentu saja, ini hari pertamanya. Setidaknya dia ingin memberikan kesan rapi dan elegan. Jika diminta memilih, tentu dia akan memilih celana jeans lusuhnya.
Sentuhan terkahir, Naya melapisi bibirnya dengan lipstick berwarna senada dengan bibirnya, agar tidak pucat. Dia tidak ingin berdandan terlalu heboh yang menimbulkan banyak perbincangan. Meskipun dia tidak cantik, tapi Naya tahu jika standar perempuan adalah terlihat segar dan wangi.
Begitu telah selesai dengan penampilannya, Naya meraih tas dan almamaternya. Dia keluar dari kamar dan mendapati Ibunya sudah berkutat di dapur. Kali ini bukan membuat adonan kue, melainkan bekal makanan untuknya.
"Buk, maaf ya. Untuk dua bulan ke depan kayanya aku jarang bantuin nanti,” ucap Naya memeluk Ibunya dari belakang.
Ibu Naya berdecak, "Emang kamu selama ini bantuin Ibuk?"
Naya melepaskan pelukannya dan mendengkus, "Gagal deh sayang-sayangan."
"Ini bekal buat kamu, langsung dimakan pas jam istirahat. Perlu bawa botol minum?"
Naya mengangguk dan duduk di depan Ibunya, di meja makan yang sudah tersedia sarapan untuknya.
"Penampilanku udah mantep kan, Buk? Nggak ada yang kurang?"
Ibu Naya menatap anaknya dari atas ke bawah, kemudian tersenyum. "Anak Ibuk udah cantik."
Naya menatap Ibunya aneh. "Tumben bilang cantik?"
"Gagal deh sayang-sayangan," balas Ibunya persis seperti jawabannya tadi.
Naya mencibir dan mulai memakan sarapannya. Dia ingin datang lebih awal di hari pertamanya.
Ingat. Pencitraan itu penting.
"Aku berangkat dulu ya, Buk."
"Iya, hati-hati. Nanti kasih tau Ibuk kalau ada yang ganteng." Ibu Naya tertawa.
***
Naya tersenyum sopan saat memasuki ruangan departemen humas. Ternyata sudah banyak karyawan yang datang. Naya meremas tas laptop di tangannya dengan cemas. Ke mana rasa percaya dirinya tadi? Kenapa mendadak hilang?
"Ada yang bisa saya bantu, Dek?" tanya seorang pria yang berdiri di belakangnya. Sepertinya karyawan yang baru saja datang.
Naya dengan cepat memberikan kertas rujukannya, "Maaf, Mas. Saya Naya. Mahasiswa magang."
Pria itu menerima kertas dari tangan Naya dan membacanya. Perlahan senyum mulai merekah di bibirnya. Dia mendongak dan menatap Naya sebentar, setelah itu dia berteriak membuat seisi ruangan mulai menatap mereka penasaran.
"Gais, ada korban baru nih!"
Naya menggigit bibirnya dan beralih pada karyawan yang menatapnya penuh minat. Naya dapat melihat ada nafsu di tatapan tersebut, nafsu untuk menyiksanya.
"Akhirnya ada yang bening juga di ruangan ini," celetuk salah satu pria. Mendengar itu Naya langsung tersadar jika karyawan yang jumlahnya sekitar 15 orang itu hanya ada 2 wanita di sana. Ditambah 1 dengan keberadaan dirinya.
Lamunan Naya buyar saat pria yang memperkenalkannya tadi menariknya ke tengah ruangan. "Ayo kenalan dulu, tapi pake pantun ya."
"Masih hari pertama, Jed. Kenapa udah dikerjain?" Fira tertawa melihat tubuh kaku Naya.
"Ayo kenalan, Dek. Jangan malu-malu sama Mas." Sahutan di belakang Naya tidak membuat tenang, malah semakin membuatnya gugup.
Oke, tenang Naya. Lo kan jenius! Pasti bisa mikir dalam keadaan kedesak kayak gini.
Perlahan Naya mulai memejamkan matanya untuk berpikir, setelah menemukan pantun yang tepat, dia mulai membuka matanya kembali. Rasa percaya dirinya perlahan mulai datang.
"Makan bakwan, cabenya lima. Nggak lupa minumnya es soda. Perkenalkan nama saya Naya, dari Universitas Nusantara."
Setelah mengatakan itu, pria yang bernama Jedi lagi-lagi berteriak heboh dan bertepuk tangan. Semua karyawan juga bertepuk tangan membuat Naya merasa malu. Bahkan ada yang mengabadikan aksinya melalui video.
"Selamat datang di departemen humas!" ucap Jedi lagi.
"Siapa pembimbingnya, Jed?" tanya Arman, pria yang baru saja datang.
Jedi melihat lagi kertas di tangannya dan menunjuk Raga, "Ini serius Mas Raga?" Jedi tertawa, "Nasibmu jelek banget, Nay."
"Maksud lo apa?" Pria yang bernama Raga itu berdiri dan berjalan menghampiri Naya. "Raga," ucap pria itu mengulurkan tangannya.
"Naya, Mas. Mohon bimbingannya ya." Naya tersenyum saat menerima jabatan tangan Raga.
"Naya harus sabar ya di sini. Lihat mereka..." Raga menunjuk semua karyawan. "Rata-rata masih muda jadi jiwa menyiksanya masih berkobar, tapi nggak bar-bar."
"Kalo Mas Raga sendiri suka nyiksa nggak?" Tiba-tiba Naya bertanya dengan berani membuat semua orang menatapnya geli.
"Dikit." Raga tertawa, "Tenang aja. Kakak-kakak di sini asik semua kok."
"Idih, sok asik!" celetuk Fira merasa geli dengan tingkah Raga.
"Nah, yang cewek bar-bar itu namanya Fira."
Naya tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Perlahan Raga yang menjadi pembimbing Naya selama magang mulai memperkenalkan semua anggota humas. Godaan masih saja Naya terima tapi dia memakluminya. Dia sering mendengar ini dari kakak tingkatnya. Sebenarnya magang itu tidak susah, hanya beradaptasinya saja yang membuat sulit. Jika sudah saling mengenal, kegiatan magang pasti akan menyenangkan.
"Nah ini meja kamu, deket-deket aja sama aku. Biar nggak digodain sama yang lain." Raga menunjuk meja kosong di sebelahnya.
"Modus! Liat bening dikit langsung samber!" Jedi yang duduk di hadapan Raga mencibir.
"Emang gue petir?"
***
Jam kantor telah dimulai. Suasana ruangan yang ricuh karena kedatangan anak magang perlahan mulai berubah tenang. Naya yang di hari pertamanya hanya melakukan sesi perkenalan mulai tampak jenuh. Matanya mengedar dan melihat para karyawan yang tampak sibuk dengan pekerjaannya.
Inilah dunia kerja. Mereka sangat serius untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun Naya bersyukur karena dia berada di departemen ini. Para karyawan yang berjiwa muda setidaknya akan membuatnya nyaman. Mereka masih nyambung saat melontarkan candaan.
Naya sendiri mulai membuka laptop untuk menyibukkan diri. Raga sudah memberitahu jika dia akan menjelaskan tentang profil perusahaan nanti setelah jam makan siang, karena saat ini dia disibukkan dengan kunjungan dari universitas.
"Nay, kamu masih nganggur kan?"
Naya mendongak saat Fira bertanya, "Iya, Mbak. Nunggu Mas Raga balik nanti habis makan siang."
"Bagus!" Fira melambai, "Bisa bantu Mbak nggak, Nay?"
Dengan cepat Naya berdiri dan menghampiri meja Fira, "Bantu apa, Mbak?"
"Ada beberapa artikel baru buat majalah perusahaan edisi bulan depan, kamu bantu revisi ya. Kalau udah nanti kasih ke Mas Arman," jelas Fira menunjuk layar komputernya.
"Bisa, Mbak." Naya mengangguk mantap.
"Oke, email kamu apa? Nanti Mbak kirim via email file-nya."
***
Naya memakan bekal makan siangnya dengan lahap karena rasa lapar di perutnya. Ternyata artikel yang harus dia revisi cukup banyak, tidak bisa asal revisi tentu saja. Oleh karena itu dia mendapat bimbingan dari Fira. Setidaknya wanita itu tidak melepaskannya begitu saja dalam mengerjakan tugas.
Saat ini Naya sedang makan siang bersama Fira dan Arman di ruangan santai, ruangan tersembunyi yang dikhususkan untuk karyawan humas beristirahat. Fira dan Arman tidak makan di luar seperti karyawan lainnya dan memilih memesan makanan dari ojek online.
"Kamu masak sendiri atau dimasakin, Nay?" tanya Fira menunjuk bekal Naya yang terlihat menggugah selera.
"Dimasakin Ibuk, Mbak."
"Bawa bekal terus dong nanti?"
Naya mengangguk dengan mulut yang penuh, "Kayanya, Mbak."
"Tiap jum'at nggak usah bawa bekal, Nay. Ada makan bersama soalnya. Kegiatan rutin."
Naya menatap Arman yang memberitahunya lagi tentang informasi mengenai kebiasaan orang kantor, "Gitu ya, Mas?"
"Iya. Kadang kalo mood-nya pak bos lagi bagus kita bisa ditraktir."
"Itu juga berlaku buat anak magang, Mbak?" tanya Naya penasaran.
Fira mengangguk, "Berlaku kalo kamu jadi anak baik."
"Aku baik kok, Mbak. Nggak pernah dugem."
Arman mendengkus, "Ya nggak gitu juga, Nay."
"Paham kok, Mas. Serius banget sih." Naya tertawa. Melihat wajah Arman yang selalu lempeng seperti jalan tol membuat Naya sering menggodanya.
Percakapan ringan saat makan siang membuat Naya lagi-lagi bersyukur. Tidak ada kata senioritas di sini. Para karyawan membimbingnya dengan baik. Terutama Fira dan Arman yang sudah memberikan pelajaran baru di hari pertamanya.
"Oh iya, Mbak. Aku belum ketemu sama manajer humas."
"Pak Bos lagi ngisi seminar kayanya. Tanggal berapa sih ini?" tanya Fira.
"Iya, Pak Bos lagi seminar. Nanti habis makan siang balik, soalnya gue mau ngomongin masalah projek kegiatan baru."
"Yang di Desa Ranum?" tanya Fira lagi.
Arman mengangguk. Naya hanya bisa menyimak karena dia memang tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setidaknya dengan percakapan itu, dia mulai tahu sedikit kegiatan apa saja yang dilakukan oleh departemen humas.
"Selamat siang!" Pintu terbuka dengan lebar dan muncul Raga yang mulai merebahkan dirinya di atas sofa. "Ya Allah, punggung gue remuk kayanya ini."
"Udah makan siang, Mas?" tanya Naya.
Raga melirik, "Kenapa? Mau nyuapin?"
"Mas Raga mau?" Naya mengangkat sendoknya untuk menyuapi Raga.
"Dikira bocah kali." Raga mencibir dan mulai memejamkan matanya. "Nanti bangunin ya kalo udah pada kerja. Asli punggungku berat banget!"
"Diikutin setan kayanya, Mas," celetuk Naya lagi.
"Nay, kalo lagi nggak asik rebahan gini udah aku ladenin omonganmu." Raga menatap Naya kesal, pura-pura kesal.
"Maaf," sahut Naya polos, pura-pura polos.
Pintu kembali terbuka membuat semua orang mulai menatap ke arah pintu. Naya terdiam kaku saat melihat pria yang baru saja datang. Kenapa dia bisa ada di sini?
"Katanya ada anak magang, mana orangnya?" tanya pria itu sambil bersandar pada pintu, masih belum menyadari keberadaan Naya.
Dengan gugup Naya mengangkat tangannya, "Saya, Pak."
Terlihat pria itu menaikkan sebelah alisnya saat melihat Naya. Apa dia mengingat semuanya? Kejadian di restoran sudah dua bulan berlalu. Jika masih mengingatnya, Naya ingin lari saja rasanya dari tempat ini.
"Kamu pacarnya Nara kan?"
Mati!
Naya tertawa canggung, "Bapak masih inget ternyata."
Perlahan Rezal tersenyum tipis dan mulai berdiri tegak. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap Naya dalam. "Semoga betah ya." Masih dengan senyuman, Rezal berlalu pergi meninggalkan Naya yang terkejut dan terpesona di waktu yang sama.
"Sinyal bahaya, Nay!" Fira menatap Naya dengan wajah seriusnya.
"Kenapa, Mbak?" tanya Naya khawatir.
"Siap-siap ya. Kamu bakal dihabisin sama Pak Bos." Arman menjelaskan.
Ibuk!! Ternyata Bapak ganteng itu manager di sini!
***
Naya mengangguk mengerti saat mendengarkan penjelasan dari Raga. Seperti yang sudah disepakati, setelah makan siang Raga akan menjelaskan secara detail tentang humas perusahaan. Naya yang memang berminat tampak menyimak dengan seksama, sesekali dia juga bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal di otaknya."Jadi kamu suka ngedit, Nay?" tanya Raga mematikan proyektor setelah mempresentasikan materi pada Naya.
Naya tersenyum saat menatap tas makanan yang dia bawa. Di dalam sana, Ibunya sudah menyiapkan makanan dan kue yang banyak untuk diberikan pada Rezal sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu anaknya. Entah kenapa wanita itu terlihat bersemangat saat Naya menceritakan hari pertamanya magang. Ibu Naya seolah memiliki perasaan bagus untuk nasib anaknya.Liftterbuka dan Naya telah sampai di lantai 6, lantai di mana tempat departemen humas dan departemen keuangan be
Rezal menyesap kopinya setelah selesai mengakhiri rapat mingguan bersama para karyawan. Sesekali matanya mengecek lembaran kertas di tangannya, mencoba memastikan jika tidak ada poin yang terlewatkan."Pak, hari jum'at nih. Enaknya makan apa ya?" Jedi mengingatkan karena jujur saja perutnya sudah lapar."Deliverypizza aja," sahut Raga merenggangkan punggungnya.
Hari sabtu merupakan hari bebas untuk Naya. Dia tidak perlu datang ke kantor karena akhir pekan. Biasanya, dia memanfaatkan waktu liburnya untuk bermanja dengan kasurnya mengingat kegiatan magangnya yang cukup melelahkan. Namun Naya tidak bisa melakukannya kali ini, ada panggilan mendadak dari teman kampusnya yang membutuhkan jasanya dalam bidang fotografi. Demi uang, Naya selalu bersemangat untuk menjemputnya.Di sini lah dia sekarang, di sebuah klinik kecantikan yang membuatnya terkagum. Tentu dia sering melewati klinik ini, tapi dia tidak pernah memasukinya. Hanya kaum jutawan yang bisa dudu
Bagi Rezal, hari minggu adalah waktu yang tepat untuk bersantai di rumah. Di jam 8 pagi seperti ini, biasanya dia masih bergelung di bawah selimut. Namun kali ini berbeda, dia harus meluangkan waktunya untuk mengantarkan Ibunya ke rumah Naya. Ingin menolak pun percuma. Ibunya memiliki banyak cara untuk membuatnya tetap ikut."Aku tunggu di mobil ya, Ma." ucap Rezal memundurkan kursi mobilnya. Mulai mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Hari senin merupakan hari yang paling dibenci oleh hampir semua orang, begitu juga Naya, tapi tidak untuk kali ini. Selama perjalan ke kantor, dia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia tidak sabar bertemu dengan pujaan hatinya. Padahal baru kemarin mereka bertemu, tapi entah kenapa rasa rindu begitu cepat menyerangnya."Selamat pagi!" sapa Naya saat memasuki ruangan departemen humas. Ruangan sudah tampak ramai, mungkin karena dirinya yang datang sedikit terlambat pagi ini.
Suasana meja makan pagi itu tampak hening, hanya terdengar suara piring dan sendok yang saling beradu. Ibu Rezal menatap anaknya dengan pandangan menilai. Pria itu terlihat baik-baik saja, seperti tidak ada yang terjadi. Setidaknya Ibu Rezal bersyukur melihat itu. Dia baru saja mendengar kabar mengejutkan yang mendadak membuatnya naik darah."Zal?" panggil Ibunya.Rezal tidak menjawab dan hany
"Gimana Jepang?" tanya Rezal pada Naro, sahabatnya.Tangannya kembali mengambil ayam dan memakannya. Sebenarnya Rezal tidak terlalu suka makanan cepat saji, tapi karena Naro yang memintanya datang akhirnya dia meluangkan waktu istirahatnya malam ini."Bagus," balas Naro sambil memakan nasinya.
Menjadi seorang istri di usia muda tidak pernah Naya pikirkan sebelumnya. Meskipun usianya sudah menginjak 21 tahun, tetap saja di jaman sekarang usia tersebut masih terbilang cukup muda untuk membina rumah tangga.Berbeda dengan kebanyakan anak muda lainnya, Naya memilih untuk mengambil jalannya sendiri. Dia rela mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan Rezal. Bersyukur pria itu juga mengerti dirinya.Selama empat bulan ini, Rezal berperan sebagai suami yang bijaksana. Dia sadar akan usia Naya yang masih muda.
Naya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan lekat.Dressselutut berwarna hitam yang dia pakai terlihat pas ditubuhnya. Rambutnya juga terurai indah dengan gelombang di bagian ujungnya. Naya melakukan semuanya sendiri, termasukmake-upsederhana di wajahnya.Malam ini Rezal mengajaknya
Hari yang panas membuat Naya ingin segera membersihkan diri. Setelah pulang dari kampus dia berniat untuk mengurung diri di kamar. Entah mengerjakan tugas, mengedit video, mengedit foto, atau yang lainnya. Naya hanya ingin bersantai mengingat jika akhir-akhir ini waktunya cukup terkuras untuk tugas kampus. Tentu saja, dia sudah semester atas. Naya tidak bisa lagi berleha-leha seperti saat menjadi mahasiswa baru dulu.Setelah menyalakan AC, Naya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan melihat pesan singkat dari Rezal. Hanya sebuah gambar, tidak ada tulisan sebagai penjelas. Begitu singkat dan tidak bisa berbasa-basi.Naya terkekeh saat
Rezal memasuki rumahnya sambil merenggangkan dasi yang terasa mencekik leher. Hari ini jadwalnya cukup padat tapi sebisa mungkin dia akan pulang tepat waktu. Entah kenapa setelah menikah, Rezal jarang lembur di kantor. Jika memang ada pekerjaan, dia lebih memilih untuk mengerjakannya di rumah sambil menikmati wajah ayu istrinya.Dengan bersiul, Rezal membuka pintu kamarnya. Di kamar, dia melihat Naya tengah mengambil beberapa baju dari lemari. Di sampingnya juga ada koper kecil berwarna hitam."Kamu ngapain?" tanya Rezal bingung.Naya menoleh dan tersenyum melihat kedatangan suaminya. Saat Rezal sudah berada di depannya, Naya segera mencium tangan suaminya. Sebagai tanda hormat, kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan sejak masih pacaran."Ini lagi nyiapin baju buat Mas Rezal besok," ucap Naya kembali mem
Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sebuah kenyataan. Pada tahap ini, tiap pasangan dituntut untuk saling menerima satu sama lain. Baik itu sifat baik dan sifat buruk, baik itu kekurangan ataupun kelebihan.Seperti yang terjadi pada Rezal dan Naya setelah menikah. Masa pendekatan yang begitu singkat membuat mereka sama-sama terkejut dengan kebiasaan masing-masing. Naya yang masih muda cenderung santai dan apa adanya, berbeda dengan Rezal yang lebih disiplin dan bijaksana. Jarak usia juga bisa menjadi faktor perbedaan tersebut. Namun itu tidak mereka jadikan alasan untuk saling menarik diri, justru dengan adanya perbedaan itu mereka saling melengkapi dan jatuh cinta setiap harinya.Di sebuah kamar, Rezal tampak berbaring santai dengan laptop Naya di pangkuannya. Tidak ada yang dia lakukan, hanya melihat-lihat isi folder yang ada. Sedangkan istrinya tengah berada di kama
Cahaya kilat yang terang membuat Naya menutup matanya erat. Tak lama terdengar suara petir yang membuat semua orang, termasuk dirinya mulai membaca doa dalam hati. Entah kenapa cuaca akhir-akhir ini begitu menakutkan. Naya terpaksa meneduh di pinggir jalan saat hujan turun dengan derasnya.Hari ini memang Naya disibukkan dengan kegiatan kampus sampai malam. Saat dia akan pulang, ternyata Tuhan tidak mengabulkan doanya. Naya sudah berdoa agar hujan tidak turun tapi takdir berkata lain. Di sini lah dia sekarang, meneduh di pinggir jalan bersama dengan pengendara motor lainnya.Pada saat seperti ini Naya hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia menyesal tidak siap sedia jas hujan di motornya. Sudah menjadi kebiasaannya melupakan benda penting itu.Saat akan menghubuhi Rezal pun, Naya berdecak kesal. Lagi-lagi dia mengumpati kebodoh
Dengan kehendak Tuhan, kehidupan seseorang bisa langsung berubah dalam waktu sekejap. Hal ini juga berlaku untuk Naya. Meski sebelum menikah dia sudah bahagia hidup bersama Ibunya tapi setelah menikah kebahagiaan itu menjadi berkali-kali lipat. Naya yang memang tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang pria di hidupnya sangat bersyukur dengan kehadiran Rezal."Mama niatnya mau beli tanah di sebelah rumah kita, Nay. Kosong kan ya? tapi ternyata nggak dijual sama yang punya. Kan enak kalau kita tetanggaan," ucap Ibu Rezal yang duduk di kursi belakang bersama Ibunya Naya."Kan masih satu perumahan, Ma. Cuma beda gang aja.” Kali ini Rezal yang berbicara dan mobil berhenti tepat di sebuah rumah berlantai dua yang terlihat mewah."Ini rumah kita, Mas?" tanya Naya denga
Di hari Rabu pagi, ketika matahari belum muncul dengan sempurna, Rezal sudah berada di taman komplek untuk berolah raga. Dia hanya sendiri dan meninggalkan Naya yang masih tertidur. Ini kali pertama Rezal kembali berolah raga setelah menikah. Dia sudah mulai terlena akan kehidupan rumah tangga yang menyenangkan sehingga lupa akan segalanya."Mas Rezal kok olahraga sendiri?" tanya salah satu wanita yang Rezal ingat adalah tetangganya. "Mana istrinya, Mas?""Masih tidur," jawab Rezal dengan senyuman tipis."Pasti kecapekan ya?" Kali ini ibu dari wanita itu yang berbicara. Rezal hanya bisa tersenyum tipis. Tidak berniat menjawab pertanyaan yang sering dia dapatkan setelah menikah.
Suara langkah sepatu yang terdengar tegas mulai memasuki ruangan departemen humas. Rezal melirik jam tangannya sebentar yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Meskipun masih pagi, tapi terlihat sudah banyak karyawan yang datang."Selamat pagi," sapa Rezal yang membuat semua orang terkejut."Loh, udah balik, Pak?" tanya Raga bingung."Asli! Wajahnya makin cerah sekarang," ucap Jedi dengan nada menggodanya."Ya cerah lah, Jed. Kan habis bulan madu." Kali ini Fira yang berbicara.Arman terkekeh, "Udah dong, guys. Kalian nggak liat itu wajahnya Pak Rezal udah merah. Pasti malu banget."Rezal hanya bisa pasrah saat semua orang mulai menggodanya. Dia tidak marah, dia hanya malu. Apalagi jika pembahasan sudah menjurus ke arah yang lebih sensitif. Apa yang bis