Naya keluar dari kamarnya dengan mulut yang menguap. Tangannya terangkat untuk menggaruk rambutnya sambil berlalu masuk ke dapur. Di sana, dia melihat Ibunya sudah berkutat dengan adonan kue yang akan dijual nanti.
"Nay, ini kuenya Ibuk yang anter ke kampus atau kamu?" tanya Ibu Naya tanpa menatap anaknya. Tangannya masih sibuk memeras santan dari kelapa. Meskipun ada santan instan, tapi Ibu Naya tetap menggunakan cara yang alami. Baginya, dengan cara seperti ini akan mempertahankan cita rasa dari resep turun-temurun milik keluarganya.
"Aku aja, Buk."
"Kamu kan nggak ada kelas hari ini." Naya bersandar pada pintu kulkas sambil meminum air putihnya.
"Nanti aku mau ke kampus, mau ngurus proposal magang."
Ibu Naya berbalik dan terkejut melihat penampilan anaknya. Daster batik lusuh yang sudah sobek di ketiak, rambut acak-acakan, dan wajah yang lusuh membuat penampilan anaknya jauh dari kata menarik.
"Ya Allah, Nak!" Ibu Naya ingin menangis melihat penampilan anaknya yang tidak mencerminkan seorang wanita yang anggun. "Ini udah siang! Kenapa masih kecut?!"
Naya tersenyum lebar, "Baru tidur subuh tadi, Buk. Habis maraton film."
"Mandi sana! Umur kamu udah 21, masih aja kelakuan kaya bocah! Kaya gini katanya mau dapet suami kaya"
Naya berdecak, "Apaan sih, Buk! Aminin kek aku dapet suami kaya. Kan lumayan bisa buatin Ibu toko kue."
"Bantah kamu?!"
Melihat Ibunya yang sudah memegang sendok besar, Naya pun berlari masuk ke kamarnya. Dia tidak mau jika sendok itu akan menghantam kepalanya keras.
Naya sadar di usianya yang sudah kepala dua ini seharusnya dia bisa bersikap dewasa. Namun entah kenapa sisi liarnya masih mendominasi. Apalagi di rumah ini hanya ada dia dan ibunya, siapa lagi yang akan meramaikan rumah jika bukan dirinya?
Saat sampai di dalam kamar, bukannya mandi Naya malah kembali duduk di meja belajarnya, berhadapan dengan layar laptop yang menampilkan hasil video yang sudah dia edit semalaman. Dia berbohong pada ibunya tadi. Naya tidak menonton film semalaman, melainkan bekerja. Ya, dia menyebutnya sebagai pekerjaan karena mendapat uang dari hasil jerih payahnya itu. Untung saja Naya memiliki bakat mengedit sehingga bisa meringankan beban ibunya.
"Halo, Lif?" sapa Naya saat panggilan teleponnya diangkat. "Video lo udah jadi, nih. Nanti ketemu ya di kampus."
"Jam dua ya, masih ada kelas nih. Ini langsung gue transfer ya bayarannya."
"Nggak lo periksa dulu? Kali aja ada yang perlu diubah."
"Nggak, gue udah percaya sama lo."
"Oke sip, ntar gue telpon kalo udah di kampus."
"Oke, makasih, ya."
Naya mematikan teleponnya dan tersenyum melihat notifikasi uang kiriman dari Alif, salah satu teman kampusnya yang sering menggunakan jasa edit-nya.
"Alhamdulillah, dapet cuan. Lumayan buat beliin Ibuk Mini Cooper."
***
Naya masuk ke kantin kampus dan menghampiri salah satu penjual di mana dia sering menitipkan kue-kue buatan ibunya. Dia tersenyum saat melihat Mas Nolan tampak sibuk menggoreng udang tepung di wajan besar.
"Gimana Mas jualannya kemarin?" tanya Naya mulai menata kue baru di atas meja.
"Eh, Neng Naya. Tumben kok siang nyetoknya?"
"Lagi nggak ada kelas, Mas. Makanya hari ini bawa cuma sedikit."
Mas Nolan mendekat dengan uang di tangannya, "Alhamdulillah, kemarin kue-mu habis. Ini hasilnya, bagianku udah aku diambil."
"Mantap!" Naya menerima uang itu dengan perasaan lega. Lagi-lagi kue jualannya habis. Tuhan memang tidak pernah salah dalam memberi rezeki.
"Kalo gitu aku ke ruang dosen dulu ya, Mas."
"Iya, Neng. Kalo ada apa-apa kabarin Mas Nolan aja."
Naya tertawa geli, "Mas Nolan, Mas Nolan. Nama Mas Noto aja dipanggil Nolan," celetuknya dan berlari pergi sebelum Mas Nolan meneriakkinya.
***
"Kamu ngajuin kapan ini, Nay?" tanya Ibu Ningsih, selaku kaprodi jurusannya.
"Libur semester nanti, Bu."
"Berapa bulan?"
"Dua bulan, Bu."
Bu Ningsih mengangguk dan langsung memberikan tanda tangannya tanpa banyak bertanya.
"Langsung kamu apply ke perusahaan, biar cepet dikabari."
"Siap, Bu!” Naya tersenyum senang. Setidaknya proposal yang dia buat tidak perlu revisi.
"Oh ya, Nay. Kamu bawa kue jualan kamu nggak?" tanya Ibu Ningsih mulai berdiri dari duduknya.
"Udah saya kasih ke Mas Nolan, Bu."
"Ibu bisa minta tolong? Ambil semua kuemu di Noto dan anter ke ruang rapat. Saya mau rapat sama Pak Dekan."
Mata Naya membulat mendengar itu, "Semua, Bu?"
"Iya semua." Bu Ningsih berlalu keluar dari ruangannya diikuti Naya di belakangnya.
Baru saja akan berbelok ke kantin, Bu Ningsih kembali memanggilnya.
"Oh ya, Nay. Nanti kalau ada orang yang telpon kamu namanya Pak Bayu, itu dari humasnya kampus."
Kening Naya berkerut, "Kok bisa, Bu?"
"Saya yang kasih nomer kamu. Pak Bayu lagi nyari editor buat konten video kampus di youtube. Nanti kamu bantuin dia ambil gambar ya."
Lagi-lagi Naya dibuat terkejut mendengar itu. Kenapa Bu Nigsih begitu mempercayainya untuk mengerjakan projek besar ini? Naya memang membuka jasa edit video, tapi keahliannya dalam edit belum seberapa. Dia hanya menerima jasa dari teman-teman jurusan lain yang kesulitan dalam mengedit.
"Buk." Naya tidak bisa berkata-kata. Dia menatap Bu Ningsih dengan mata yang berkaca-kaca.
"Nggak usah lebay!" Ucapan Bu Ningsih langsung merubah suasana. Naya mengerucutkan bibirnya kesal.
"Kok nggak pake fotografer luar, Buk?
"Saya punya banyak mahasiswa yang berbakat. Kenapa harus pakai orang luar?" Setelah itu Bu Ningsih berbalik pergi meninggalkan Naya yang lagi-lagi terdiam. Dia selalu merasa kagum dengan Bu Ningsih, pantas saja wanita itu menjabat sebagai kaprodi jurusannya.
***
Rezal mendengkus saat ponselnya kembali berbunyi. Dia melirik sebentar dan segera mematikan panggilan yang masuk. Tak lama, ponselnya kembali berdering membuatnya mematikan ponselnya lagi. Rezal melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Seharusnya dia sudah berada di restoran saat ini, tapi entah kenapa kursi kantornya jauh lebih nyaman untuk diduduki sekarang.
Perlahan Rezal meraih tas dan berdiri, bersiap untuk pulang. Dia harus menyiapkan telinga akan omelan ibunya yang terus menghubunginya sejak tadi siang. Rezal mulai keluar dari ruangan yang bertuliskan 'Manager Humas' itu dan mendapati beberapa karyawannya masih berada di kantor.
"Kenapa belum pulang?" tanya Rezal menuju salah satu meja karyawannya.
"Lagi lanjutin edit, Pak. Sekalian nemenin Mbak Fira yang lagi buat Press Release," jawab Jedi, selaku editor foto dan video di departemen humas.
Rezal beralih pada Fira dengan kening yang berkerut, "Suami kamu nggak protes, Fir?"
"Nggak, Pak. Dia kan lagi di luar kota." Fira tertawa pelan.
"Pak Rezal mau pulang?" tanya Raga, salah satu karyawan yang tampak bersantai dengan gitar di pangkuannya.
"Iya."
"Padahal mau saya ajak live instagram. Saya kan mau pansos, Pak."
Rezal tersenyum tipis mendengar itu. Dia mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja, "Ini, buat beli makanan sambil nemenin lembur."
"Alhamdulillah, Pak Rezal peka!" Jedi mengusap tangannya senang.
"Kalau gitu saya pulang dulu."
"Iya, Pak. Hati-hati," sahut karyawannya kompak.
Salah satu hal yang membuatnya betah di kantor adalah karyawannya. Sengaja Rezal memilih karyawan yang masih muda dan selalu bersemangat karena departemen humas sendiri membutuhkan energi positif setiap saat. Bertemu dengan tamu penting perusahaan setiap hari tentu membutuhkan kegesitan dalam bekerja. Maka dari itu dia berusaha untuk membuat suasana departemennya menjadi santai dan hangat, seperti keluarga agar karyawannya merasa nyaman.
***
Rezal memasuki rumahnya yang sudah tampak sepi. Mungkin orang tuanya sudah berada di kamar sekarang. Itu yang dia inginkan memang, setidaknya dia harus menghindari ibunya lagi kali ini.
"Rezal Mahesa!" Suara menggelegar itu menghentikan langkah Rezal yang akan menaiki tangga. Dia memejamkan mata sebentar dan berbalik untuk melihat Ibunya yang tengah menatapnya marah. “Kamu ini ya! Kenapa nggak pernah nurut sama Mama?!"
Rezal berdecak pelan. Jika tidak mengingat wanita di hadapannya adalah Ibunya, tentu dia akan berbalik pergi menuju kamarnya.
"Aku nggak suka sama Wulan, Ma."
Wajah Ibu Rezal semakin memerah mendengar itu, "Terus sukanya sama siapa? Joko? Sadili?!"
"Aku masih suka yang empuk-empuk, Ma." Rezal menjawab malas.
"Makanya Mama kasih Wulan, dia juga empuk!"
"Tapi aku nggak suka, Ma. Udah ya, Rezal capek."
Setelah itu, dia benar-benar berlalu ke kamarnya. Tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu, Rezal menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.
"Apa salahnya belum nikah?" Tangannya memijat keningnya pelan, "Bisa aja jodohku masih disayang sama orang lain."
***
Dua bulan kemudianRezal memasuki restoran sunda dengan langkah pelan. Matanya mengedar untuk mencari seseorang yang ingin bertemu dengannya. Dia menatap ponselnya sekali lagi sebelum menemukan wanita berbajukuning yang duduk membelakanginya. Rambut panjang berwarna coklat dan kulit putih bersih itu sangat cocok dengan ciri-ciri yang disampaikan ibunya lewat pesan singkat.
Naya mengangguk mengerti saat mendengarkan penjelasan dari Raga. Seperti yang sudah disepakati, setelah makan siang Raga akan menjelaskan secara detail tentang humas perusahaan. Naya yang memang berminat tampak menyimak dengan seksama, sesekali dia juga bertanya jika ada sesuatu yang mengganjal di otaknya."Jadi kamu suka ngedit, Nay?" tanya Raga mematikan proyektor setelah mempresentasikan materi pada Naya.
Naya tersenyum saat menatap tas makanan yang dia bawa. Di dalam sana, Ibunya sudah menyiapkan makanan dan kue yang banyak untuk diberikan pada Rezal sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu anaknya. Entah kenapa wanita itu terlihat bersemangat saat Naya menceritakan hari pertamanya magang. Ibu Naya seolah memiliki perasaan bagus untuk nasib anaknya.Liftterbuka dan Naya telah sampai di lantai 6, lantai di mana tempat departemen humas dan departemen keuangan be
Rezal menyesap kopinya setelah selesai mengakhiri rapat mingguan bersama para karyawan. Sesekali matanya mengecek lembaran kertas di tangannya, mencoba memastikan jika tidak ada poin yang terlewatkan."Pak, hari jum'at nih. Enaknya makan apa ya?" Jedi mengingatkan karena jujur saja perutnya sudah lapar."Deliverypizza aja," sahut Raga merenggangkan punggungnya.
Hari sabtu merupakan hari bebas untuk Naya. Dia tidak perlu datang ke kantor karena akhir pekan. Biasanya, dia memanfaatkan waktu liburnya untuk bermanja dengan kasurnya mengingat kegiatan magangnya yang cukup melelahkan. Namun Naya tidak bisa melakukannya kali ini, ada panggilan mendadak dari teman kampusnya yang membutuhkan jasanya dalam bidang fotografi. Demi uang, Naya selalu bersemangat untuk menjemputnya.Di sini lah dia sekarang, di sebuah klinik kecantikan yang membuatnya terkagum. Tentu dia sering melewati klinik ini, tapi dia tidak pernah memasukinya. Hanya kaum jutawan yang bisa dudu
Bagi Rezal, hari minggu adalah waktu yang tepat untuk bersantai di rumah. Di jam 8 pagi seperti ini, biasanya dia masih bergelung di bawah selimut. Namun kali ini berbeda, dia harus meluangkan waktunya untuk mengantarkan Ibunya ke rumah Naya. Ingin menolak pun percuma. Ibunya memiliki banyak cara untuk membuatnya tetap ikut."Aku tunggu di mobil ya, Ma." ucap Rezal memundurkan kursi mobilnya. Mulai mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Hari senin merupakan hari yang paling dibenci oleh hampir semua orang, begitu juga Naya, tapi tidak untuk kali ini. Selama perjalan ke kantor, dia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia tidak sabar bertemu dengan pujaan hatinya. Padahal baru kemarin mereka bertemu, tapi entah kenapa rasa rindu begitu cepat menyerangnya."Selamat pagi!" sapa Naya saat memasuki ruangan departemen humas. Ruangan sudah tampak ramai, mungkin karena dirinya yang datang sedikit terlambat pagi ini.
Suasana meja makan pagi itu tampak hening, hanya terdengar suara piring dan sendok yang saling beradu. Ibu Rezal menatap anaknya dengan pandangan menilai. Pria itu terlihat baik-baik saja, seperti tidak ada yang terjadi. Setidaknya Ibu Rezal bersyukur melihat itu. Dia baru saja mendengar kabar mengejutkan yang mendadak membuatnya naik darah."Zal?" panggil Ibunya.Rezal tidak menjawab dan hany
Menjadi seorang istri di usia muda tidak pernah Naya pikirkan sebelumnya. Meskipun usianya sudah menginjak 21 tahun, tetap saja di jaman sekarang usia tersebut masih terbilang cukup muda untuk membina rumah tangga.Berbeda dengan kebanyakan anak muda lainnya, Naya memilih untuk mengambil jalannya sendiri. Dia rela mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan Rezal. Bersyukur pria itu juga mengerti dirinya.Selama empat bulan ini, Rezal berperan sebagai suami yang bijaksana. Dia sadar akan usia Naya yang masih muda.
Naya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan lekat.Dressselutut berwarna hitam yang dia pakai terlihat pas ditubuhnya. Rambutnya juga terurai indah dengan gelombang di bagian ujungnya. Naya melakukan semuanya sendiri, termasukmake-upsederhana di wajahnya.Malam ini Rezal mengajaknya
Hari yang panas membuat Naya ingin segera membersihkan diri. Setelah pulang dari kampus dia berniat untuk mengurung diri di kamar. Entah mengerjakan tugas, mengedit video, mengedit foto, atau yang lainnya. Naya hanya ingin bersantai mengingat jika akhir-akhir ini waktunya cukup terkuras untuk tugas kampus. Tentu saja, dia sudah semester atas. Naya tidak bisa lagi berleha-leha seperti saat menjadi mahasiswa baru dulu.Setelah menyalakan AC, Naya menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Tangannya meraih ponsel dan melihat pesan singkat dari Rezal. Hanya sebuah gambar, tidak ada tulisan sebagai penjelas. Begitu singkat dan tidak bisa berbasa-basi.Naya terkekeh saat
Rezal memasuki rumahnya sambil merenggangkan dasi yang terasa mencekik leher. Hari ini jadwalnya cukup padat tapi sebisa mungkin dia akan pulang tepat waktu. Entah kenapa setelah menikah, Rezal jarang lembur di kantor. Jika memang ada pekerjaan, dia lebih memilih untuk mengerjakannya di rumah sambil menikmati wajah ayu istrinya.Dengan bersiul, Rezal membuka pintu kamarnya. Di kamar, dia melihat Naya tengah mengambil beberapa baju dari lemari. Di sampingnya juga ada koper kecil berwarna hitam."Kamu ngapain?" tanya Rezal bingung.Naya menoleh dan tersenyum melihat kedatangan suaminya. Saat Rezal sudah berada di depannya, Naya segera mencium tangan suaminya. Sebagai tanda hormat, kebiasaan yang tidak pernah ia lupakan sejak masih pacaran."Ini lagi nyiapin baju buat Mas Rezal besok," ucap Naya kembali mem
Pernikahan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari sebuah kenyataan. Pada tahap ini, tiap pasangan dituntut untuk saling menerima satu sama lain. Baik itu sifat baik dan sifat buruk, baik itu kekurangan ataupun kelebihan.Seperti yang terjadi pada Rezal dan Naya setelah menikah. Masa pendekatan yang begitu singkat membuat mereka sama-sama terkejut dengan kebiasaan masing-masing. Naya yang masih muda cenderung santai dan apa adanya, berbeda dengan Rezal yang lebih disiplin dan bijaksana. Jarak usia juga bisa menjadi faktor perbedaan tersebut. Namun itu tidak mereka jadikan alasan untuk saling menarik diri, justru dengan adanya perbedaan itu mereka saling melengkapi dan jatuh cinta setiap harinya.Di sebuah kamar, Rezal tampak berbaring santai dengan laptop Naya di pangkuannya. Tidak ada yang dia lakukan, hanya melihat-lihat isi folder yang ada. Sedangkan istrinya tengah berada di kama
Cahaya kilat yang terang membuat Naya menutup matanya erat. Tak lama terdengar suara petir yang membuat semua orang, termasuk dirinya mulai membaca doa dalam hati. Entah kenapa cuaca akhir-akhir ini begitu menakutkan. Naya terpaksa meneduh di pinggir jalan saat hujan turun dengan derasnya.Hari ini memang Naya disibukkan dengan kegiatan kampus sampai malam. Saat dia akan pulang, ternyata Tuhan tidak mengabulkan doanya. Naya sudah berdoa agar hujan tidak turun tapi takdir berkata lain. Di sini lah dia sekarang, meneduh di pinggir jalan bersama dengan pengendara motor lainnya.Pada saat seperti ini Naya hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia menyesal tidak siap sedia jas hujan di motornya. Sudah menjadi kebiasaannya melupakan benda penting itu.Saat akan menghubuhi Rezal pun, Naya berdecak kesal. Lagi-lagi dia mengumpati kebodoh
Dengan kehendak Tuhan, kehidupan seseorang bisa langsung berubah dalam waktu sekejap. Hal ini juga berlaku untuk Naya. Meski sebelum menikah dia sudah bahagia hidup bersama Ibunya tapi setelah menikah kebahagiaan itu menjadi berkali-kali lipat. Naya yang memang tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang pria di hidupnya sangat bersyukur dengan kehadiran Rezal."Mama niatnya mau beli tanah di sebelah rumah kita, Nay. Kosong kan ya? tapi ternyata nggak dijual sama yang punya. Kan enak kalau kita tetanggaan," ucap Ibu Rezal yang duduk di kursi belakang bersama Ibunya Naya."Kan masih satu perumahan, Ma. Cuma beda gang aja.” Kali ini Rezal yang berbicara dan mobil berhenti tepat di sebuah rumah berlantai dua yang terlihat mewah."Ini rumah kita, Mas?" tanya Naya denga
Di hari Rabu pagi, ketika matahari belum muncul dengan sempurna, Rezal sudah berada di taman komplek untuk berolah raga. Dia hanya sendiri dan meninggalkan Naya yang masih tertidur. Ini kali pertama Rezal kembali berolah raga setelah menikah. Dia sudah mulai terlena akan kehidupan rumah tangga yang menyenangkan sehingga lupa akan segalanya."Mas Rezal kok olahraga sendiri?" tanya salah satu wanita yang Rezal ingat adalah tetangganya. "Mana istrinya, Mas?""Masih tidur," jawab Rezal dengan senyuman tipis."Pasti kecapekan ya?" Kali ini ibu dari wanita itu yang berbicara. Rezal hanya bisa tersenyum tipis. Tidak berniat menjawab pertanyaan yang sering dia dapatkan setelah menikah.
Suara langkah sepatu yang terdengar tegas mulai memasuki ruangan departemen humas. Rezal melirik jam tangannya sebentar yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Meskipun masih pagi, tapi terlihat sudah banyak karyawan yang datang."Selamat pagi," sapa Rezal yang membuat semua orang terkejut."Loh, udah balik, Pak?" tanya Raga bingung."Asli! Wajahnya makin cerah sekarang," ucap Jedi dengan nada menggodanya."Ya cerah lah, Jed. Kan habis bulan madu." Kali ini Fira yang berbicara.Arman terkekeh, "Udah dong, guys. Kalian nggak liat itu wajahnya Pak Rezal udah merah. Pasti malu banget."Rezal hanya bisa pasrah saat semua orang mulai menggodanya. Dia tidak marah, dia hanya malu. Apalagi jika pembahasan sudah menjurus ke arah yang lebih sensitif. Apa yang bis