Semua pengunjung yang sempat merundung Deric pada akhirnya ditelan kebisuan. Meski begitu, pikiran mereka justru ramai dengan beragam pertanyaan tentang sosok pria di kursi roda itu. Benarkah hubungannya dengan Helen sebatas kenalan saja? Bagaimana mungkin asisten Caraline itu bisa mengenalnya pria itu?
“Outlet ini benar-benar harus memperbaiki kualitasnya dari berbagai sisi,” ujar Deric.
Wanita bergaun putih pendek seketika menunduk ketakutan. Deric mengulang perkataannya beberapa menit lalu.
“Benarkah?” tanya Helen.
Sekarang, giliran sang manajer dan seluruh pegawai yang menenggelamkan wajah. Mereka tahu bagaimana akhir dari karier mereka jika sampai masalah ini tercium kantor pusat. Mimiline Group merupakan perusahaan yang sangat ketat dalam masalah kedisiplinan dan kualitas layanan. Mengecewakan seorang pelanggan adalah kasus berat yang bisa berakhir dengan hukuman pemecatan.
Dalam perkara ini, jelas semua pegaw
Ponsel Caraline berdering saat dirinya dalam perjalanan pulang. Wajah penatnya seketika berubah cerah saat menduga bila Diego kembali mengirimkan sebuah pesan. Namun, dugaannya malah berubah menjadi kekesalan. Kabar justru datang dari seseorang yang amat ia benci meski orang itu adalah sepupunya sendiri.‘Datanglah bersama suamimu ke pertemuan keluarga Wattson saat akhir pekan. Aku dan keluargamu yang lain ingin mengenalnya sebagai anggota keluarga baru. Aku akan mengirimkan detail acaranya nanti.’Caraline refleks melempar ponsel begitu selesai membaca pesan tersebut. Wajahnya seketika merengut dengan kedua tangan menyilang di dada. Ini benar-benar kabar buruk. Wanita bersurai panjang itu tak bisa membayangkan hal apa yang akan terjadi selama pertemuan nanti, terlebih bila mereka tahu kondisi Deric.Caraline bergegas ke tepi danau begitu mobil menepi di kediaman. Ia lantas duduk di kursi kayu yang berada di bawah pohon. Wanita itu meluapkan kekesala
Deric tak langsung menanggapi perkataan Caraline. Ia diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Sepertinya itu ide yang bagus.” Caraline seketika mendongak, menilik Deric sesaat, kemudian menoleh pada arah danau. “Menurutmu begitu?” tanyanya disertai tawa kecil. “Apa kau merasa keberatan untuk hadir?” Deric mendekat ke arah Caraline. “Aku bisa mendengar nada tak suka dari caramu bicara.” Caraline menyugar rambut beberapa kali, kemudian berjalan menuju pinggir danau. “Apa yang harus aku takutkan dari sebuah pertemuan keluarga?” ujarnya sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. Deric menatap punggung Caraline. “Aku tidak pernah bilang kalau kau takut.” Caraline terpejam, lantas mengembus napas panjang. “Kau pasti salah dengar.” “Telingaku masih berfungsi dengan baik,” sahut Deric, “tak masalah jika kau takut. Aku tidak akan menertawakan sesuatu yang memang normal terjadi pada semua seseorang.” Caraline seketika memutar
Caraline mendaratkan tubuhnya dengan asal ke kursi di bawah pohon. Kondisi hatinya mendadak tak keruan setelah menerima pesan susulan dari sepupunya perihal pertemuan keluarga Wattson yang akan diadakan esok hari. Karena masalah itu pula, ia sama sekali tak bisa berkonsentrasi selama pekerjaan.“Wanita itu benar-benar membuatku kesal!” ucapnya sembari memukul ruang kosong di kursi.Caraline mengembus napas panjang, kemudian memijat kening perlahan. Wajahnya lantas mendongak ke langit jingga. Di tengah kekesalannya yang kian memuncuk, waktu justru kian bergulir menuju hari esok. Andai saja ia memiliki kekuatan untuk mengendalikan waktu, niscaya hari esok akan benar-benar ia hapus dari Bumi. Bagaimanapun jua, ia sama sekali tak siap. “Apa kau sedang ketakutan?” tanya Deric dengan pandangan yang tertuju ke danau. Pria itu masih setia dengan kamera di tangan. Saat berhasil memotret dua ekor angsa yang tengah bercengkerama, ia seg
Pukul sembilan pagi, Caraline sudah bersiap dengan gaun selutut berwarna biru tua. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan ujung yang dibuat sedikit bergelombang. Ketika menuruni anak tangga, wanita itu mengembus napas panjang beberapa kali seraya mengamati kembali penampilannya.Caraline sama sekali tak bisa tidur nyenyak semalam. Beberapa jam sekali, ia akan terbangun dengan kondisi berkeringat. Selebihnya, wanita itu akan melamun di kasur sampai kantuk kembali bertamu.“Dasar pemalas!” rutuk Caraline saat mengetahui bila Deric belum berada di pinggir danau.Caraline mengibas rambut ketika ponsel berbunyi. Bibirnya segera menyuguhkan senyuman ketika Diego mengirim sebuah pesan.‘Bagaimana keadaanmu hari ini?’Caraline memutar bola mata. Ia menggeleng beberapa kali karena merasa Diego amat payah dalam membuka topik obrolan. Meski begitu, ia membalas pesan pria itu.‘Apakah aku benar-benar sedang membaca pesan dari
Satu jam kemudian, mobil yang dinaiki Deric dan Caraline menepi di sebuah vila yang terletak di pinggir pantai. Tempat itu langsung menghadap hamparan laut biru. Dari lokasi keduanya berada, deburan ombak dapat terdengar cukup jelas.“Sepertinya aku akan belajar banyak hal sesudah pulang dari tempat ini,” ujar Deric sembari mengamati pemandangan luar dari jendela mobil.Caraline mengembus napas panjang, kemudian terpejam untuk beberapa saat. Kedua tangannya berada di depan dada, berusaha untuk menstabilkan degup jantungnya. “Dengarkan aku,” ucapnya. Deric seketika menoleh, dan di saat yang sama Caraline menenggelamkan wajah ke arah jari-jarinya yang saling beradu.“Aku benci untuk mengatakannya, tapi kau harus bekerja sama denganku dalam pertemuan ini. Aku akan mendorong kursi rodamu saat kita berdua memasuki ruangan pertemuan. Jangan bicara sebelum aku memberimu iz
Caraline terpejam beberapa saat sembari menyugar rambut. Wanita itu sama sekali tak menjawab pertanyaan Deric, pun tidak mengalihkan pandangan ke arahnya. Ia mengembus napas pendek beberapa kali untuk mengusir gugup. Jujur saja, ia terganggu dengan penampilan Deric saat ini. Ia juga sempat mendapati beberapa wanita menoleh ke arah pria di sampingnya. Di lain hal, ruangan ini memiliki aura intimidasi yang amat kuat bagi Caraline. Meski tempat ini didekorasi dengan indah, tetapi ia sama sekali tidak merasakan kenyamanan dan ketenangan apa pun. Amosfer ruangan ini benar-benar menekannya dari berbagai arah. “Tenanglah, kau pasti akan baik-baik saja,” ujar Deric. “Simpan kata-kata itu untuk dirimu sendiri,” ketus Caraline. Catherine dan Wilson sudah berada di atas panggung. Ruangan mendadak hening dan perhatian langsung tertuju pada keduanya. “Mungkin beberapa di antara kalian sudah mendengar kabar bila salah satu anggota
“Maafkan aku, Tuan.” Deric mulai mengendurkan cengkeraman pada tangan Wilson ketika melihat Caraline berlari meninggalkan ruangan. Ia secara perlahan melepaskan belenggu di tangan pria itu. “Aku sepertinya terlalu berlebihan.”“Sialan!” Wilson segera menarik tangannya, kemudian mengecek kondisinya. Matanya seketika membola begitu mendapati tanda merah yang sangat kentara. “Kau tidak bisa lari dariku.”Deric tertawa. “Tentu saja aku tidak bisa lari. Apa kursi roda ini terlalu kecil untukmu?”Di sisi lain, Catherine terhipnotis dengan suara dan gestur yang ditampilkan Deric. Ia terdiam beberapa saat dengan pandangan yang tak beralih dari pria itu. Begitu sadar bahwa tindakannya keliru, ia dengan cepat mencubit pahanya sendiri.“Anggap saja itu adalah salam perkenalan dariku,” kata Deric seraya menekan tombol maju di kursi roda. Gilasan benda bulat itu menggilas lantai ruangan dan tatapa
Sentuhan Deric seperti sengatan listrik yang dengan cepat menjalar ke seluruh ubuh Caraline, terlebih jarak mereka terbilang dekat dan di saat bersamaan manik cokelat muda dan bola mata biru mereka saling terhubung.“As-astaga! Apa yang sebenarnya terjadi?” Caraline butuh waktu untuk mencerna peristiwa yang baru saja menimpanya. Saat debaran jantung yang menggila menyadarkan bahwa kedekatan ini tak seharusnya terjadi, ia dengan cepat menarik tubuhnya. Nahas, ia kembali terpeleset hingga raganya nyaris ambruk ke lantai.“Tenanglah.” Deric kembali menahan raga Caraline yang hanya tinggal beberapa senti lagi merasakan licinnya marmer.Deru napas Caraline tiba-tiba berubah cepat. Tatapannya perlahan tertunduk saat ia merasa tak kuasa menyelami manik biru di depannya. Wanita itu menelusuri leher, jakun hingga turun ke arah dada yang terbalut kemeja putih di mana satu kancing atasnya terlepas. Parasnya terasa terbakar saat menyadari apa yang te