Bab 6
Dina memang tidak menghina Mirela namun, mantan teman teman kerja Mirela lah yang pada akhirnya mempermalukannya.
"Cih! tidak tahu malu, masih berani datang setelah ditolak mentah-mentah sama pak Rengga," cetus salah satu rekan kerjanya itu.
Mirela yakin walaupun dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang mengatakan hal tersebut, orang itu pasti salah satu teman sekantornya yang selama ini merasa iri dan tidak suka dengan hubungan antara dirinya dan Rengga.
"Dikiranya dengan Dia datang ke pesta ini, pak Rengga akan berubah pikiran? Ha! Mimpi!" celoteh yang lain.
Pras menatap berkeliling mencari sumber suara- suara yang melecehkan dan menghina adiknya.
Dean mengepalkan telapak tangannya merasa marah mendengar kata-kata penghinaan diarahkan kepada gadis yang ditaksirnya. Dia menelepon keamanan dan ketika keamanan itu datang Dean menyuruh keamanan itu menciduk gadis-gadis yang telah melontarkan kata-kata pelecehan itu ke luar.
"Stop! Apa-apaan ini?Apa yang Kamu lakukan?! Kami tamu undangan di pesta ini!" cetus salah satu gadis yang diciduk oleh satpam. Namun, satpam tersebut seolah tidak mendengar dan menggubris apa yang dia katakan. Walaupun kedua gadis itu berteriak menolak diusir keluar oleh kedua satpam itu, tetap saja mereka diseret keluar dari dalam gedung pernikahan.
Mirela dan Pras terheran-heran melihat semua peristiwa tersebut. "Apakah itu Rengga? Yang menyuruh satpam mengusir mereka?" tanya Mirela kepada Pras penuh harap.
"Sepertinya bukan, sebab Aku baru saja melihat satpam itu menghampiri Dean," sahut Pras pelan.
"Siapa Dia?"
"Kakaknya Dina, itu orangnya."
" ... " Mirela melihat ke arah yang ditunjukan oleh kakaknya.
Tampak olehnya seorang pria tampan dalam balutan setelan jas yang sangat kharismatik juga sedang menatapnya tersenyum.
Mirela balas tersenyum dan mengangguk sebagai ucapan terimakasih karena Dean telah membantunya mengusir gadis-gadis yang telah melecehkannya.
Dean terpana beberapa saat ketika melihat senyum manis Mirela sebelum akhirnya membalas anggukan kepala Mirela dengan sopan.
Setelah menghadiri pesta pernikahan Rengga, Mirela akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Kota Bandung dan kembali ke Kota Jakarta, ke rumah orangtuanya.
Tidak disangka, Rengga yang tampak mabuk datang ke rumah Mirela dan berteriak-teriak di depan pagar sambil memanggil-manggil nama Mirela yang saat ini sudah pergi ke rumah orangtuanya di Jakarta.
"Mirelaaaa ... sayang, maafkan Aku ... maafkan Aku mirelaaa!" teriak Rengga sambil cegukan.
" ... " Pras keluar kamar dari lantai dua menuju balkon dan merasa tidak berdaya ketika melihat bagaimana Rengga berteriak-teriak memanggil Mirela dan minta maaf.
'Kamu terlambat bro, Mirela sudah pergi,' kata Pras dalam hati.
"Maaf ... huuu ... maaf ...," kata Rengga sambil bersandar di depan pintu pagar rumah Mirela sambil menangis tersedu-sedu.
Pras hanya menatap dari balkon tanpa tahu harus berbuat apa kepada Rengga, dia hanya mengerutkan alis karena merasa jengkel dan khawatir kelakuan Rengga akan mengganggu tetangga yang lainnya namun, untuk mengusir dan menghentikannya juga Pras merasa tidak tega.
Tiba-tiba ponselnya berdering, Pras melihat itu dari satpam perumahan, dia berdecak kesal. 'Benar saja pasti ada tetangga yang protes dan merasa terganggu,' katanya sambil mengangkat telpon.
"Halo?!" sapanya.
"Halo pak Pras, ada orang di depan rumah bapak berteriak- teriak mengganggu warga sekitar, apakah bapak butuh bantuan kami untuk mengamankan orang tersebut?" tanya satpam perumahan dari ujung telepon.
"Silakan," sahut Pras dengan suara acuh tak acuh.
Pras berpikir mungkin memang lebih baik kalau satpam perumahan yang turun tangan langsung untuk mengusir dan menarik Rengga keluar dari komplek ketimbang dirinya sendiri yang harus berurusan dengan orang mabuk seperti Rengga, itu terlalu memuakkan!
Tidak lama, datang dua orang satpam membawa pergi Rengga tanpa perlawanan yang berarti karena Rengga sendiri hampir tidak sadarkan diri ketika kantuk mulai menyerang dirinya.
Tanpa mereka sadari dari dua titik yang berbeda ada dua orang yang sedang mengawasi kejadian tersebut. Yang pertama adalah Dina dan yang kedua adalah seorang reporter berita hiburan yang kerap mengambil berita investigasi kehidupan artis, selebritis dan orang-orang terkenal di Indonesia.
"Sialan! Aku pikir Dia pergi kemana tidak tahunya malah ke sini!" geram Dina yang saat ini telah berganti pakaian dari gaun pengantinnya ke gaun sederhana yang lebih simpel.
Dia berjalan keluar dari mobil tanpa menyadari adanya reporter infotainment yang terus membidikkan kameranya ke arah dirinya dan Rengga.
Setelah puas mengambil foto, reporter itu beringsut menjauh, memeriksa foto-foto hasil jepretannya dan tertawa-tawa karena merasa puas. "Ini pasti akan menjadi berita heboh, sepertinya Aku akan mendapatkan keuntungan yang besar," kata reporter itu gembira sambil masuk ke dalam mobilnya dan berlalu. Keesokan paginya berita di berbagai media tentang Rengga yang menangis dan teriak-teriak di depan rumah Mirela saat malam pengantinnya mulai menjamur. Dean yang sedang membaca berita di ponselnya mengerutkan alis ketika melihatnya dan merasa kesal. "Dasar bedebah! Bisa-bisanya Dia cari sensasi di malam pernikahannya di depan rumah Mirela!" gerutu Dean sambil menggebrak mejanya. Dean mulai menelpon Dina dengan wajah merah karena marah, dia benar-benar merasa malu dengan berita yang tersiar soal adik iparnya itu. "Kak ...," sapa Dina dari seberang telepon dengan suara yang masih mengantuk. "Dimana Dia?!" tanya Dean to the point. "Dia Siapa?" tanya Dina heran. "Suami terkutuk Kamu itu!
Sementara itu di dalam sebuah kantor bergaya minimalis milik Rengga .... Pria tampan itu sedang menerima laporan dari anak buahnya tentang tugas yang telah ditugaskan kepadanya. "Sudah dibereskan, Bos!" lapor anak buah Rengga ketika diditanya soal perkembangan tugas yang telah di berikan kepadanya. "Bagus, bagaimana dengan fotografer usil itu?" tanya Rengga sambil bertopang dagu menatap bawahannya malas. "Ketika kami menutup media tempatnya pertama kali up foto dan video, Dia sudah kabur ke luar negeri," sahut bawahannya sambil mengelap keringat yang mulai timbul di dahinya. Dia tidak berani menatap Rengga yang saat ini sedang menatapnya, di dalam hati dia merutuk karena fotograper itu cepat sekali mengambil langkah seribu, sepertinya fotograper itu telah memprediksi kalau Rengga akan mengutus orang untuk menanganinya. "Ke luar negeri? Kemana tepatnya Dia kabur?" tanya Rengga sambil mengtuk pulpennya di meja. " ... " Anak buah Rengga terdiam. Dia juga tidak tahu kemana orang itu
"Awal sekali Aku melihat video itu adalah tadi pagi kemudian Aku merekamnya untuk diperlihatkan kepadamu. Namun, ketika siang tadi Aku cek video itu sudah tidak ada, dan ada kabar media pertama yang mendapatkan dan menyebarkan video dan foto Rengga itu telah menyatakan kebangkrutannya," jelas Veny sambil tersenyum merasa lucu dengan apa yang telah terjadi terhadap mantan tunangan sahabatnya tersebut. "Apakah itu benar-benar perbuatan Rengga?" tanya Mirela heran dan tidak percaya. Seingatnya Rengga adalah seorang yang selalu mempertimbangkan banyak hal dengan pikiran yang positif. Walaupun media tersebut telah memberitakan keburukannya tapi di media itu juga banyak pegawai yang tidak bersalah dan bekerja untuk menghidupi anak dan istrinya. Jadi Mirela tidak percaya kalau mantan tunangannya itu akan mengambil langkah kasar seperti itu. 'Itu seperti bukan Dia ... jangan-jangan itu hasil pekerjaan orang lain,' pikir Mirela sangsi. Veny memutar bola matanya merasa bosan melihat saha
Dean hanya tersenyum sinis menerima laporan dari adiknya itu, dalam pandangannya, Dina benar-benar seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh Rengga. Adik perempuannya itu benar-benar dibutakan oleh rasa cintanya sendiri hingga tidak dapat membedakan antara sikap cekatan dengan ketakutan. Tanpa harus diberi tahu pun Dean dapat mengetahui mengapa Rengga terburu-buru membereskan masalah ini. Semua itu tidak lepas dari rasa takut Rengga terhadap ancaman Dean. Apalagi yang ditakutkan Rengga kalau bukan karena hal yang berkaitan dengan perusahaannya? "Dasar pecundang," gumam Dean sinis. " ... " semua staf yang sedang mengikuti rapat tampak saling pandang tidak mengerti siapa yang disebut pecundang oleh bos besar mereka. "Lanjutkan!" kata Dean memutuskan berbagai pikiran dan prasangka bawahannya terhadap sikap dan gumamnya tadi. Rapat pun berlanjut kembali hingga sore hari. Setelah semua bawahannya keluar dari ruangan, Dean tampak mengetuk mejanya seperti sedang memikirkan sesuatu.
Veny sedang menerima Rudi, ajudan ayahnya di dalam ruang kerjanya di perusahaan. Laki-laki muda berambut cepak berpakaian hitam-hitam dan berjaket hitam itu tampak duduk tegak di kursi yang ada di depan meja Veny. "Jadi ada yang telah mencoba mencari tahu di mana keberadaan Mirela saat ini?" tanya Veny memastikan apa yang baru saja dilaporkan oleh ajudan ayahnya kepadanya sambil tersenyum simpul. "Itu benar," sahut Rudi tegas. "Siapa? Apakah Rengga?" tanya Veny ingin tahu. "Bukan, ini orang suruhan Dean." "Dean ... Dean," Veny mengucapkan nama Dean berulang-ulang sambil mengingat si empunya nama. Samar terlintas bayangan seorang pria tampan dan cool yang kerap ditemuinya di acara perhimpunan pengusaha. Veny mengerutkan kening tidak suka mengingat bahwa Dean adalah kakak Dina yang merupakan istri Rengga dan orang yang telah memaksa Rengga meninggalkan acara pertunangannya dengan Mirela demi memenuhi keinginan adik perempuannya. "Mau apa lagi Dia mencari Mirela? Apakah Dia ti
Berita tentang Rengga yang mabuk di malam pernikahannya dan berlari ke depan rumahnya sambil berteriak-teriak meminta maaf itu benar-benar mengusik perasaan Mirela, kalau dia memang sudah memutuskan untuk menikahi wanita lain, mengapa dia melakukan hal yang sangat memalukan tersebut? Mirela benar-benar tidak dapat memahami apa yang ada di dalam pikiran Rengga saat itu, apakah hal tersebut terlahir dari rasa bersalah terhadap dirinya karena telah meninggalkannya di hari pertunangan mereka dan mempermalukannya? Ataukah memang karena pemuda itu sesungguhnya benar-benar mencintainya? 'Tidak! Kalau Dia sungguh mencintai Aku, Dia tidak akan mundur apa pun alasannya, toh Aku tidak menuntutnya harus menjadi orang sukses ataupun pengusaha untuk dapat menikahiku,' batin Mirela sambil menggelengkan kepalanya berusaha untuk menepis semua keraguan dan simpati yang mulai menguasai dirinya. Gadis itu melemparkan pandangannya pada jendela kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, Mirela mengalihk
Pras tidak mengerti mengapa pengusaha besar seperti Dean mau ikut campur dalam urusan percintaan antara adiknya dan Rengga. Terakhir Pras juga mendengar kabar dari orang terpercayanya kalau Dean sedang mencari Mirela. 'Apa sebenarnya maksud Dean? Apakah semua yang Dia lakukan masih belum cukup? Apa salah Mirela hingga harus menanggung semua ini?' batin Pras bertanya-tanya tidak mengerti. Pras memutuskan untuk menghalangi pergerakan Dean dalam mencari Mirela, dia memang enggan berurusan dengan Dean, tapi dia tidak bisa tinggal diam melihat adiknya dikejar dan dicari sedemikian rupa seperti maling. Bukankah mereka yang telah mencuri kebahagiaan yang seharusnya menjadi milik Mirela? "Dean ... sepertinya persimpangan antara kita sudah tidak lagi dapat dihindari, jika Kamu bersikeras terus mengganggu adikku, Aku tidak akan tinggal diam," desis Pras sambil meremas kertas laporan dari anak buahnya tentang pergerakan Dean "Uhuk ... uhuk!" Dean yang sedang minum di kantornya terbatuk-b
Perhatian Rengga terpecah ketika mendengar suara panggilan dari ponselnya. Itu Dean! Kakak iparnya. "Ck! Mau ngapain lagi si brengsek itu meneleponku?" gumam Rengga cemberut. "Halo?!" sapa Rengga ketika mengangkat panggilan teleponnya. "Apakah adikku tidak cukup hingga Kamu masih saja memikirkan gadis lain?" todong Dean kesal tanpa basa basi. Rengga terdiam, apakah istrinya telah mengadu kepada kakaknya? "Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun, Kamu dan adikku sudah menikah, jadi jangan pikirkan wanita lain lagi siapa pun orangnya. Kamu tidak diizinkan untuk memikirkan wanita lain selain adikku," tegas Dean penuh penekanan. Rengga memutar bola matanya bosan mendengar larangan Dean yang tidak masuk akal. 'Cih! tidak boleh memikirkan wanita lain? Memangnya Dia bisa mengatur pikiranku juga?' cibir Rengga dalam hati sambil tersenyum sinis. "Kenapa Kamu diam?" tanya Dean kesal mendapati sikap Rengga yang sepi dan hening. "Apa yang Aku harus ucapkan? Apakah Aku harus berterim
Ini adalah sebuah kesengajaan! Sinta sengaja melukai anaknya agar Dean datang ke rumah ini menemui dirinya dan anaknya. Sejak Dean pindah dari rumah ini, dia tidak pernah datang atau menemuinya. Jika anak ini kangen pada papanya, Dean akan menyuruh kepala pelayan untuk membawa anaknya ke tempat yang dia tunjuk.Bagaimana dengan Sinta? Dia sama sekali tidak diizinkan untuk ikut dalam pertemuan antara Dean dan anaknya.Sinta ingin bertemu, tapi Dean tidak mau. Apapun cara yang Sinta lakukan sepertinya Dean tetap tidak bergeming! Pria itu benar-benar tidak mau lagi menemui Sinta.Sementara Sinta resah dengan kondisi anaknya yang dia buat sendiri, Dean masih memanjakan Mirela yang sakit akibat perbuatannya."Sepertinya aku sudah agak baikan," kata Mirela sambil duduk di tempat tidur. "Kamu sebaiknya menengok anak itu, bagaimanapun dia anak kandungmu!" kata Mirela sambil menghela napas panjang."Apakah kamu benar-benar tidak sakit lagi?""Setelah dioleskan obat oleh dokter aku sudah tidak
Mirela terdiam mendengar perkataan narsis suaminya. Memang benar suaminya itu memiliki tubuh yang bagus, tapi apakah harus menyanjung diri sendiri seperti itu?"Mengapa kamu diam? Apakah kamu tidak setuju dengan perkataan aku?" tanya Dean saat melihat istrinya itu hanya berdiam diri tidak merespon kata-katanya."Apakah kamu harus memuji diri sendiri?" tanya Mirela sambil tersenyum tidak berdaya."Tentu, bukankah air laut memang asin sendiri?" kata Dean balik bertanya.Mirela langsung terkekeh geli sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. Dulu dia berpikir Dean adalah orang yang dingin dan tidak banyak omong. Bukankah itu yang selalu dikatakan oleh sahabat dan kakaknya? Tapi ternyata setelah menikah dengannya, Mirela mendapati Dean tidak sedingin yang dipikirkan kebanyakan orang. Kadang dia juga bisa lucu dan polos seperti anak kecil yang menantikan pujian."Baiklah, suamiku memang memiliki tubuh yang bagus dan ideal," puji Mirela pada akhirnya.D
Perkiraan Mirela memang tepat, setelah melakukan hubungan intim dengan Dean, dia benar-benar tidak bisa bangun hingga Dean bergegas mencari dokter wanita untuk mengobati Mirela yang mengeluh sangat sakit di bagian intinya.Dokter itu hanya berdecak saat melihat apa yang terjadi pada daerah intim Mirela yang bengkak. Dia melirik Dean, ada semacam rasa kesal terlintas di wajah dokter itu. Laki-laki ini benar-benar buas, pikir dokter wanita itu sambil mengolesi salep pada bagian intim Mirela.Mirela merasakan sejuk dan nyaman di bagian intimnya saat sang dokter mengoleskan sesuatu di sana. Sedangkan Dean hanya diam menerima pandangan kesal sang dokter yang bolak balik ditujukan padanya. Apakah itu sangat parah? Tanya Dean dalan hati. Dia benar-benar tidak dapat mengendalikan diri saat berhubungan intim dengan Mirela. Itu benar-benar sangat enak hingga Dean merasa enggan untuk berhenti. "Bagaimana?" tanya Dean kepada dokter wanita itu tanpa dapat menyembunyikan rasa ingin tahunya."Ini b
Melihat bagaimana lembutnya Dean memperlakukan Mirela, petugas hotel wanita itu terpaku tidak bergerak di tempatnya. Dia membayangkan kalau saja yang mendapatkan perlakuan itu adalah dirinya sendiri, betapa bahagianya.Dia baru tersadar setelah mendengar bentakan Dean yang mempertanyakan untuk apa dia masih berada di sini."Maaf tuan, apakah ada hal lain yang tuan perlukan?" tanya petugas wanita itu sopan, tapi tidak meninggalkan kesan genit dari nada suara dan gerak geriknya.Mirela yg berada dalam gendongan suaminya mengangkat wajahnya dan heran melihat sikap genit petugas hotel yang ada di hadapannya saat ini. Mirela mengerutkan kening, biasanya petugas-petugas hotel ini baik yang pria maupun wanita, selalu menampilkan kesan ramah dan sopan, tapi tidak ada nada genit sama sekali dalam suaranya.Dia menatap wajah suaminya ingin tahu apakah suaminya sedang melihat kegenitan petugas itu. Di luar dugaan Mirela, saat ini Dean malah sedang menatap wajah Mirela penuh kelembutan. Sedikitpu
Mirela dan Dean melalui malam pertama mereka dengan penuh gairah. Dean benar-benar merasa puas bisa bersatu dengan wanita yang sudah lama dia kejar dan dambakan. Pagi harinya Dean bangun dengan enerjik sementara Mirela merasakan tubuhnya seperti habis tertabrak. Dia merasakan sakit dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya. Itu semua dikarenakan aksi suaminya menjarah dan menggiling dirinya bolak balik. Mirela tidak menyangka kalau suaminya, Dean akan sangat antusias sekali melakukan penyatuan mereka tersebut berulang-ulang.Dean merasa kasihan melihat istrinya terkapar tidak berdaya akibat keganasannya semalam. Dia pun berinisiatif untuk membantu istrinya membersihkan diri di kamar mandi. Dean membopong tubuh Mirela ke kamar mandi dan mulai memandikan istrinya terlebih dahulu.Mirela mulai merasa nyaman dan pegal-pegal nya hilang ketika merasakan siraman air hangat dan pijatan lembut Dean di tubuhnya. Hal ini berbeda dengan Dean yang mati-matian menahan hasratnya agar tidak memakan istrin
Dean menghela napas mendengar pertanyaan Mirela, apakah istrinya ini akan marah jika dia mengatakan terus terang kalau rumah yang sebelumnya Dean tempati saat ini dihuni oleh Sinta dan anaknya."Dia menginginkan tinggal di rumahku untuk menemani anak itu," kata Dean hati-hati sambil menatap wajah istrinya ingin melihat apakah ada perubahan setelah mendengar apa yang dia katakan.Mirela mengerutkan kening mendengar Sinta ikut tinggal di rumah Dean. Apa maksudnya? Sekalipun Dean tidak berniat menikahi Sinta, Mirela akan tetap merasa tidak nyaman jika tinggal satu atap dengan wanita yang pernah melahirkan anak suaminya tersebut."Apakah kamu akan menikahinya?" tanya Mirela ingin tahu.Kalau jawabannya iya maka Mirela tidak akan ragu untuk menggugat cerai suami yang baru dinikahinya ini."Tidak.""Aku tidak bisa tinggal bersama dia ...""Jangan khawatir, kamu dan aku akan pindah dari sana dan menempati rumah kita sendiri," potong Dean semangat."Lalu bagaimana dengan anak itu?""Biarkan d
"B-bagus bos," kata manajer hotel pada akhirnya."Tentu saja orang tampan sepertiku akan tetap tampan walau memakai apapun," kata Dean bangga." ... "Manajer hotel hanya menelan ludah, tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa mendengar kata-kata narsis bosnya itu. Bosnya memang tampan, justru karena tampan itu dia benar-benar tidak cocok memakai baju petugas hotel."Siapkan troli untuk mengangkut makanan!" perintah Dean sambil memperbaiki dasinya."Baik."Manajer hotel langsung menghubungi bagian dapur untuk menyiapkan apa yang dipesan oleh bosnya dan membawanya langsung ke kantornya.Tidak lama sepasang petugas hotel mengantarkan pesanan manajer ke kantornya dan merasa heran melihat pria tampan memakai seragam pegawai hotel."Ehm ...ini bos kita, beliau akan memberikan kejutan untuk istrinya," jelas manajer agar anak buahnya tidak bersikap kurang ajar kepada Dean.Keduanya hanya mengangguk dan berlalu dari kantor manajer setelah memberikan hormat kepada Dean.Dean menanggapi ke
Mirela yang sedang menikmati hari-hari indah dan tenangnya di hotel tempat dia menginap selama beberapa hari ini, mulai merasa heran dengan semua fasilitas yang diberikan oleh hotel tersebut. Dia melihat pengunjung hotel lain sama sekali tidak memiliki keistimewaan yang sama. Dia mulai mencari tahu dengan bertanya kepada pegawai hotel yang membereskan kamarnya. Namun, pegawai itu hanya mengatakan kalau Mirela telah memenangkan undian yang diam-diam dilakukan oleh pihak hotel untuk memilih satu pengunjung yang beruntung untuk mendapatkan pelayanan terbaik. Mirela hanya mengangguk memahami apa yang dikatakan oleh petugas hotel tersebut. Bagaimanapun masuk akal kalau hotel sebesar ini mengadakan undian seperti ini. Cuma yang agak aneh mengapa itu dilakukan secara diam-diam? Apakah itu untuk mencegah timbulnya rasa iri di hati para pengunjungnya? Apapun itu Mirela tidak merasa keberatan untuk mendapatkan pelayanan terbaik. Bukankah itu menguntungkan dirinya sendiri? Mengapa harus dit
Sinta tersenyum sinis mendengar perkataan Dean. Dia sangat percaya kalau Dean bisa melakukan apa saja pada orang-orang yang berusaha menghalangi jalannya untuk memiliki Mirela. Apa yang terjadi pada Rengga juga telah di dengar oleh Sinta. Namun, Sinta mengetahui titik lemah Dean, selama Mirela sendiri yang menyetujui Sinta menjadi istri ke dua Dean, Sinta yakin Dean pasti tidak akan menolak lagi untuk menikahi dirinya."Jika kamu ingin anak itu aku yang mengurus aku akan mengurusnya, tapi aku tidak akan mengikuti keinginanmu untuk menikah denganku atau menjadi istri keduaku!" kata Dean tegas.Sedikitpun Dean tidak ingin membuat kesalahan dalam membangun mahligai rumah tangganya bersama Mirela. Dean mendapatkan Mirela dengan susah payah setelah sekian lama mengincarnya, jadi wajar kalau Dean tidak ingin diganggu oleh siapapun atau apapun yang dapat merusak hubungannya dengan Mirela."Bagaimana kalau Mirela menyetujui?" tanya Sinta penuh harap."Sekalipun dia menyetujui, aku tetap tida