Dengan wajah cemberutnya, Fayra menarik kursi di samping Raga lalu duduk di sana. Kedua pria itu sudah memesan makan siang lebih dulu, karena Fayra terlambat datang sesuai janjinya dengan Safir. “Akhirnya datang juga.” Safir terus menyantap smoked beef mushroom-nya dengan lahap. “Nggak ada makanan berat di sini.” Jika tahu begini, Raga tidak akan mau diajak Safir ke kafe tersebut. Ia akan memilih pergi ke kafe, atau restoran di sekitarnya untuk membeli makanan yang lebih berat. “Cuma minuman, sama roti.” “Emang konsepnya gitu, Mas.” Fayra mengambil cinnamon rolls yang ada di hadapan Raga tanpa permisi, lalu melahapnya. Bagi Fayra, Raga dan Safir sudah ia anggap saudara sendiri. Karena itulah, ia tidak pernah merasa sungkan dengan kedua orang itu, kendati dulunya Fayra sangat menyukai Raga. Namun, hal tersebut sudah berlalu, karena Fayra sadar pria itu tidak lagi dapat tersentuh sama sekali sejak Raga menikah lagi dengan Lintang untuk kedua kalinya. “Kita nggak sedia makanan berat.”
Aneh.Jenni melihat keanehan pada hubungan putrinya dengan Safir. Sejak masuk ke dalam mobil dan duduk berdampingan di kursi bagian depan, kedua orang itu sama sekali tidak saling bertegur sapa. Benar-benar seperti orang asing yang tidak pernah saling mengenal. Intan yang biasanya banyak bicara dengan Jenni maupun Heru, mengapa bisa menutup rapat mulutnya saat bersama Safir.Jenni yang duduk di belakang, jadi semakin bingung. Pernikahan seperti apa yang sedang dijalani kedua orang itu? Atau, jangan-jangan keduanya sedang bertengkar, dan masih enggan bertegur sapa. “Kalian berdua, bertengkar lagi?” tanya Jenni tidak ingin memendam rasa penasarannya. Jika kedua orang itu memang sedang berselisih paham, lebih baik diselesaikan dulu baik-baik, daripada harus diam-diaman seperti sekarang.Safir menoleh sekilas pada Intan yang juga menatapnya. Ia tidak bisa mengalihkan fokus terlalu lama, karena tengah menyetir mobil.“Nggak, Ma.” Intan menoleh ke belakang sebentar. “Kenapa Mama tanya beg
“Mas.” Intan masuk ke kamarnya, setelah Imar memberi sebuah informasi yang baru saja diberitahu oleh Idha. “Kata bu Imar, nanti siangan ada yang ngirimin jas sama dasi-dasimu ke sini.”Intan menangkap ada yang aneh. Mengapa Safir kembali bekerja dengan setelan jas seperti dahulu kala. Ataukah, akan ada acara dalam waktu dekat, sehingga Safir membutuhkan pakaian tersebut untuk dikenakan?“Ya.” Safir masih berdiri di depan meja rias Intang, sembari memasang dasinya. “Aku minta dibawakan ke sini.” Safir melirik pada lemari dua pintu yang berdiri sejajar dengan meja rias. “Kosongkan isi lemari yang ada gantungannya, karena aku mau taroh jas, sama kemejaku di sana.”Sabar. Intan menarik napas, karena Safir memberi perintah semaunya sendiri. “Biar, aku belikan lemari yang khusus buat gantung jas sama kemeja Mas Safir nanti siang. Jadi—”“Nggak perlu,” Safir menarik simpul dasinya yang sudah rapi, dan selesai. “Satu atau dua minggu ini, kita pindah dari sini.”“Pindah?” Intan yang baru henda
“Kamarmu di bawah, ujung.” Safir menunjuk sebuah kamar yang berada di ujung lorong. Tepat berhadapan dengan pintu utama rumah. Karena Safir pernah berkunjung beberapa kali ke rumah tersebut, jadi ia sudah hafal dengan seluk beluk seluruh ruangannya. “Semua sudah dibersihkan, dan beberapa barang juga sudah diganti kata mas Raga. Kamu bisa istirahat langsung di sana.”Intan mengangguk. Interaksinya dengan Safir beberapa hari belakangan ini sangat minim sekali. Bahkan, pernah dalam sehari ia tidak bicara sama sekali dengan pria itu, meskipun mereka berada satu atap. Safir lebih banyak berada di kamar sendiri, dan hanya keluar jika makan, atau mandi.Intan sampai tidak berani mengajak Safir bicara, perihal mobil, dan kepindahan rumah setelah mendapatkan informasi dari Lintang.“Aku ke kamar dulu.”“Oke.” Safir bergerak lebih dulu mendahului Intan, untuk menaiki tangga. “Kamarku di atas, kalau ada apa kamu bisa telpon, dan nggak usah naik ke atas.”Alih-alih pergi ke kamar, Intan justru me
“Kamu yang ngajak Safir, Tan?”Setelah berpisah dari Raga, juga Rama, Lintang segera menginterogasi adik iparnya. Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Safir mendadak menelepon Raga dan mengatakan tidak perlu menjemput Intan. Jangan-jangan, kedua orang itu sudah berbaikan dan memutuskan untuk menjalani rumah tangga dengan baik.Intan menggeleng. Sejak tadi, ia tidak bisa menyamai langkah Lintang yang bisa berjalan dengan cepat daripadanya. Padahal, tubuh Lintang terlihat semakin berisi, dan perutnya pun lebih besar dari milik Intan. Kakak iparnya itu, sungguh tidak memiliki kendala apa pun, dan bisa berjalan tanpa beban sama sekali.Tidak seperti Intan, yang semakin ke sini, semakin tidak bisa berjalan terlalu jauh. Dirinya mudah lelah, padahal tubuhnya tidak terlihat seberat Lintang.“Mas Safir itu nggak jelas,” keluh Intan kemudian menceritakan semua hal yang dialaminya sejak tadi malam, hingga saat sedang menunggu jemputan Lintang. “Mbak Lin juga kenapa nggak ngabari, kalau nggak j
“Mas, kenapa mulutmu itu nggak berhenti ngunyah dari tadi?” Dari kentang goreng, popcorn, corndog, dan sekarang, Raga tengah menyantap es krim sambil berjalan menuju restoran untuk makan siang. Tidak hanya Raga, tetapi Rama pun sedang menyantap es krim yang sama, kecuali Safir.“Karena aku lapar,” jawab Raga terus terang.Bukan jawaban seperti itu yang sebenarnya ingin didengar Safir. Yang ia tahu, Raga tidak pernah makan camilan terus-terusan seperti sekarang. Jadi, apa sebenarnya pemicu perubahan Raga tersebut?“Oia, kalau kamu mau belajar masalah inves saham, kita bisa bicara sekalian makan siang,” tambah Raga lalu menunjuk restoran yang akan mereka masuki dengan dagunya. “Kita makan di sana.”Safir mengangguk pelan sembari ternganga. Lintang dan Intan, sudah lebih dulu berada di sana dan memesankan makanan untuk mereka. “Masih sanggup makan, Mas?”“Masih.” Jangankan Safir, Raga sendiri saja, juga terheran-heran dengan nafsu makannya belakangan ini. “Aku, kan, belum makan nasi.”“C
“Sudah sampai, Tan.” Safir melirik pada Intan, yang masih saja tertidur pulas sambil bersedekap memeluk tas selempangnya. Intan menunduk, dengan wajah yang tertutup dengan rambutnya yang terurai.Tidak kunjung mendapat respons hingga Safir membuka pintu mobil, ia pun tidak jadi keluar. Safir menepuk lengan Intan terlebih dahulu, untuk membangunkannya. “Tan, kita sudah sampai.”“Intan.” Suara Safir sedikit keras, karena gadis itu tidak juga meresponsnya. “Bangun.”“Hm.” Intan menggumam saat merasa tubuhnya sedikit berguncang. Ditambah dengan suara Safir, yang lumayan keras memanggilnya.“Bangun, kita sudah sampai rumah.”“Mas Safir duluan aja,” ujar Intan dengan suara berat dan serak. Tidak hanya itu, Intan juga sama sekali tidak membuka mata ketika bicara dengan Safir. “Aku capeek banget. Bentar lagi, mataku masih berat.”Safir berdecak, kemudian keluar untuk membuka pagar rumah. Kalau dulu, ia tidak perlu repot-repot keluar dari mobil untuk membuka pagar seperti sekarang, karena suda
“Sudah ditunggu mas Safir di meja makan, Mbak.”Intan sempat bengong untuk beberapa saat, guna memproses perkataan Imar yang berada di depan kamarnya. Wanita paruh baya itu baru saja mengetuk kamar, dan langsung menyampaikan hal tersebut ketika Intan membuka pintu.“Mau ngapain?” Jika Safir memang ingin bicara dengan Intan, mengapa pria itu tidak datang saja langsung ke kamar? Mengapa harus menyuruh Imar menghampiri Intan seperti sekarang.“Makan sore katanya, Mbak.”“Makan sore?” Sikap Safir semakin terasa aneh saja. “Siapa yang mau makan sore, Bu?”Imar menggaruk kepala bagian belakangnya. Memang terasa aneh, karena Safir tidak pernah bersikap seperti ini. Bila pria itu mau makan, Safir akan makan dengan mengambil semuanya seorang diri. Hanya jika ada Imar di dapur, barulah Safir minta untuk di siapkan segala sesuatunya. Namun, tidak demikian dengan sore ini. “Mas Safir sama Mbak Intan.”“Orang itu salah makan, apa, ya?” Intan keluar dan menutup pintu kamarnya. Ia berjalan bersama I
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida