“Kenapa berhenti di sini?” Fajar menoleh ke belakang, setelah menghentikan motornya di tepi jalan. Lembaga bimbingan belajar yang mereka tuju, hanya berjarak sekitar 300 meter lagi, tetapi Intan sudah memintanya menepikan motor. Sepanjang jalan, mereka memang lebih banyak diam, karena topik pembicaraan yang akan mereka lakukan tidak cocok dilakukan dalam perjalanan. Mereka harus duduk berdua, dan membicarakan semuanya dengan serius. “Mumpung kursinya ada yang kosong, Mas,” kata Intan menunjuk kursi besi yang berada di trotoar, sembari turun dari motor Fajar. “Terus di situ nggak panas.” Ia melepas helm, kemudian memberikannya pada Fajar. Intan berjalan lebih dulu, lalu duduk dan tinggal menunggu pria itu menghampirinya. Intan masih ingat, bagaimana tatapan tajam Safir tertuju padanya, ketika ia berangkat kerja diantar oleh Fajar. Pria itu tidak bisa melakukan hal apa pun, karena akan ada hukuman yang menanti, bila Safir berani membuat keributan lagi dengan Fajar di tempat umum. Nam
Dugaan Lintang benar, Biya saat ini sedang bersama Rama, juga Anwar di halaman samping rumah. Ternyata, Anwar membelikan Rama sebuah mobil-mobilan listrik dan remote controlnya saat ini sedang berada di tangan Biya.Lintang benar-benar bingung dengan sikap Rama. Bocah itu senang sekali bermain mobil-mobilan, tetapi malas sekali mengemudikan mobilnya sendiri. Ia lebih senang duduk santai di atas sana, dan membiarkan seseorang mengendalikannya.“Rama … ayo masuk,” ajak Lintang hanya berdiri di sudut rumah, tanpa ingin mendekati Anwar yang berada di sebelah Biya. “Kita mau pulang bentar lagi.”Ketiga orang yang berada di taman tersebut, kompak menoleh pada Lintang.“Kenapa buru-buru pulang?” Anwar melambai pada Lintang, dan meminta putrinya itu agar datang menghampiri. Bukan hanya berdiri di sudut rumah. “Sebentar lagi makan siang, tinggallah dulu.”Lintang menggeleng, dan enggan menghampiri karena ada Biya di sana. “Mas Raga ada perlu, Pak, jadi, kita mau pergi bentar lagi.”Anwar tahu
“Jadi, kita selesaikan masalahnya malam ini juga.” Raga bersedekap. Duduk menengahi dua orang, yang saling melempar tatapan datar. Meskipun Raga tidak terlalu menyukai Fajar, tetapi malam ini ia harus bersikap netral di depan keduanya.“Pak Raga, saya nggak punya masalah sama mas Safir,” sahut Fajar yang juga bersedekap. Duduk tegak, sama seperti Raga.“Lo, yang mukul gue duluan waktu itu!” seru Safir sambil menunjuk Fajar. Jika tidak ada Raga, Safir ingin sekali melayangkan tinju pada Fajar sekali lagi. “Dan sekarang, lo bilang nggak punya masalah sama gue, heh! Sudah pikun, lo?”“Pak Raga tahu, alasan saya mukul Safir waktu itu?” Fajar berusaha tenang ketika memberi penjelasan pada Raga. “Intan lagi hamil, tapi dia tarik-tarik seenaknya. Apa dia nggak pernah mikir, dengan kandungannya Intan? Bagaimana kalau sampai kenapa-napa? Bukannya Intan sudah pernah pingsan waktu di pameran waktu itu, kan? Itu artinya, kandungan Intang harus dapat perhatian ekstra, bukan main tarik—““Sudah gue
“Dengar, Tan, aku nggak mau dibuat pusing dengan masalah seperti ini.” Andai Safir dan Fajar tidak pernah saling baku hantam sebelumnya, Raga pasti tidak akan bersikap seperti sekarang. “Dan aku juga sebenarnya nggak mau ikut campur.”Intan tertunduk dan tidak berani menatap Raga yang berdiri di hadapannya. Sementara Lintang, saat ini duduk pada sofa berbeda, yang berada di samping Intan.“Jadi, tolong kasih ketegasan sama dua orang tadi.” Raga mengangkat tangan dan mengarahkan telunjuknya ke rumah Safir. “Kalau memang kamu nggak tertarik “berhubungan” sama mereka, jangan pernah lagi kasih kesempatan apa pun!”Intan mengangguk, dan masih tidak berani memandang Raga. “Saya, sudah bilang ke mas Fajar, kalau kita itu temenan aja, dan—““Nggak usah teman-temanan!” putus Raga lalu bertolak pinggang. “Langsung cut! Biar nggak ada modus di belakang.”Lintang mencebik, karena Raga sedang membicarakan dirinya sendiri. Jadi wajar, Raga menganggap sikap Fajar yang mendatangi rumah Intan adalah m
“Kalau nggak ikhlas diajak rujuk itu bilang.”Intan berdecak sembari memicingkan tatapannya pada Safir. Mobil Raga baru saja berlalu, tetapi pria itu sudah berani mengucapkan kalimat yang tidak enak didengar. Proses rujuk yang berlangsung cepat dan mendadak, membuat Intan tidak bisa memikirkan banyak hal. Apalagi dengan sikap Raga yang tegas, dan mengintimidasi itu, membuat Intan tidak berani untuk membantah.Bukannya tidak mau rujuk dengan Safir, tetapi, Intan ingin melihat pria itu berubah lebih dulu. Meskipun lambat, tetapi Intan akan sabar menunggu.“Balik ajalah ke rumahmu di depan sana, Mas,” usir Intan tetapi dengan suara yang tidak menantang. “Aku kalau nggak mikir anak, mana mau rujuk sama kamu.”Bukan hanya karena anak, tetapi Intan belum bisa pindah ke lain hati. Sebenarnya, Intan sudah mencoba membuka hati untuk Fajar, tetapi, tetap saja ada perasaan mengganjal saat bersama pria itu. Intan tidak bisa menemukan sesuatu yang bisa membuat hatinya bergetar, serta chemistry yan
Safir melirik Intan yang berjalan melewatinya menuju dapur. Gadis itu memakai daster tanpa lengan, yang jatuh sekitar 10 sentimeter di atas lutut. Intan terus saja berjalan tanpa menoleh, ataupun melirik pada Safir sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi gadis itu masih belum juga tidur. Apa sebenarnya yang dilakukan Intan di dapur di jam seperti sekarang?Apa Intan sengaja melewati Safir dengan pakaian seperti itu, untuk menggodanya?Safir yang duduk di sofa bed di depan televisi lantas berdecak. Mengambil sebuah bantal sofa lalu memeluknya, dan kembali menonton televisi. Ia memilih tidak mengacuhkan Intan, dan kembali pada kegiatannya semula.Tadinya, Safir hendak kembali pulang dan tidur di rumahnya sendiri. Namun, melihat fasilitas tempat tinggal Intan yang terlampau lengkap, Safir memutuskan untuk tidur di rumah gadis itu saja. Akhirnya, malam ini Safir bisa tidur dengan pendingin ruangan, dan tidak perlu terbangun tengah malam hanya untuk berburu nyamuk.Tida
“Mulai sekarang, sebelum bicara atau bertindak, harus dipikirkan lagi baik-baik.” Heru tidak ingin berceramah panjang lebar, setelah mendengar penjelasan kompak dari Safir dan putrinya. Mereka mengaku, semua masalah yang terjadi kemarin hanya karena ego semata. Tinggal bersama dengan situasi yang tidak terduga, ternyata membuahkan perdebatan, yang berakhir dengan pertengkaran, lalu perceraian. Namun, setelah mereka berpisah, barulah keduanya sadar dengan kesalahannya masing-masing. Mereka memutuskan untuk rujuk, dan memilih tinggal berpisah dari orang tua agar bisa semakin mandiri. “I-iya,” angguk Intan akhirnya bisa bernapas dengan lega, karena kedua orang tuanya percaya dengan semua skenario Raga. Dari awal sampai akhir, Intan dan Safir hanya mengikuti semua instruksi yang diberikan Raga tadi malam, dan berimprovisasi sesuai dengan situasi. “Kami juga minta maaf, kalau sudah ngerepotin papa sama mama.” “Lain kali jangan kabur-kaburan lagi seperti kemarin,” pinta Jenni memberi tat
“Mas, bangun.”Setelah pembicaraan yang terjadi jelang tidur tadi malam, Intan semakin sadar pria itu tidak mungkin lagi menjatuhkan hati padanya. Intan saja yang selama ini terlalu bodoh, dan tetap berharap pada keajaiban yang ternyata tidak mungkin ada.Bukannya bangun, Intan justru merasakan tangan Safir yang mengalung di tubuhnya semakin erat. Pagi ini, pemenang taruhannya sudah jelas. Intan akan memenangkan nominal yang mereka pertaruhkan, karena Safir sudah melewati batas yang sudah ditentukan.Namun, tetap saja hati Intan terasa getir karena semua hal yang terjadi pagi ini, hanyalah kesemuan belaka. Setelah Safir terbangun dari tidurnya dan tersadar, pria itu pasti akan kembali menjauh dan bersikap dingin pada Intan.Karena itulah, Intan harus mulai belajar melepas semua perasaan itu dari sekarang. Tidak perlu lagi berharap dengan cinta Safir, dan Intan akan berusaha mandiri.“Mas, kalau nggak bangun, 500 ribumu jadi satu juta.”Safir benar-benar tidak mengacuhkan Intan. Pria i