“Bawa sebentar.”Belum sempat Safir membuka mulut untuk protes masalah Intan, Raga sudah menyerahkan Mana ke gendongannya lebih dulu. Safir yang sama sekali tidak pernah menggendong bayi, jelas saja kebingungan. Bagaimana bila Mana bergerak-gerak, menggeliat, atau menangis di tangannya?Lantas, haruskah Safir mendekap Mana dengan erat, atau melonggarkan pelukannya saat ini? Atau, bagaimana bila Mana tiba-tiba terjatuh dari gendongannya? Raga pasti akan membunuh Safir detik itu juga.“Mas—““Aku mau ke kamar mandi,” sahut Raga berjalan cepat memasuki rumah yang ditempati Safir tanpa permisi. Karena bangunannya pasti sama dengan rumah yang ditempati Intan, maka Raga tidak perlu lagi bertanya di mana letak kamar mandinya. Lagi pula, perumahan yang ditempati Safir dan Intan, ukurannya tidaklah besar. Jadi, pasti sangat mudah untuk menemukan kamar mandi di rumah tersebut.“Merepotkan!” desis Safir lalu melihat lurus pada rumah di seberangnya, sembari mendekap erat tubuh Mana dalam pelukann
“Masak apa, Bu?” Raga langsung menyelonong ke dapur, karena mencium aroma masakan yang membuat perutnya mendadak kembali minta diisi. Melihat ada bakwan sayur, dan tahu isi di atas meja makan, Raga segera duduk di samping Lintang, lalu menyomot satu buah tahu isi sembari memangku Mana. “Sayur asem, Mas. Telur ceplok, sama empal daging,” jawab Imar lalu mematikan kompornya. “Mas Raga mau makan? Biar saya siapin.” “Boleh, Bu,” jawab Raga. “Nasi sama sayurnya sedikit aja, empalnya banyakin. Nggak usah telur.” Lintang berdecak, lalu mengambil Mana dari pangkuan Raga. “Papa tadi sudah sarapan sama Rama, tapi masih mau makan lagi?” “Lapar lagi, Ma.” Sambil mengunyah tahu isinya, Raga memandang Intan yang duduk berseberangan dengan Lintang. Raga yakin, Lintang sudah menjelaskan perihal Safir yang ternyata tinggal di depan rumah Intang. Tidak ada unsur kesengajaan, karena baik Raga maupun Lintang, juga sama-sama terkejut mendapati kenyataan tersebut. “Kalau Safir buat masalah, kamu bisa la
Sejak pindah rumah, Safir hanya sekali bertatap muka dengan Intan. Yakni, pada malam Intan menutup pagar dengan kasar tepat di depan wajahnya, dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh. Tidak hanya itu, Intan tanpa ragu mengusir Safir dengan terang-terangan, dan itu wajar. Intan berhak marah marah dan sangat membencinya. Safir pun tidak mau mempermasalahkannya.Namun, yang membuat Safir bingung ialah, Imar selalu mengirimkan sarapan pada Safir atas perintah Intan setiap harinya. Untuk itu, Safir jelas tidak akan menolak, karena hal tersebut juga akan menghemat pengeluarannya.Apa sebenarnya yang diinginkan Intan? Apa dengan mengirimkan sarapan setiap hari, gadis itu berharap hati Safir akan melunak?Sebenarnya, dengan kondisi Safir sekarang, ia membutuhkan pekerjaan yang mampu menyokong hidupnya dengan baik. Safir pun yakin, ia sebenarnya juga bisa mendapatkan satu pekerjaan mumpuni di perusahaan yang bonafide.Akan tetapi, ada konsekuensi besar yang harus Safir tanggung, bila ia berani
“Kenapa berhenti di sini?” Fajar menoleh ke belakang, setelah menghentikan motornya di tepi jalan. Lembaga bimbingan belajar yang mereka tuju, hanya berjarak sekitar 300 meter lagi, tetapi Intan sudah memintanya menepikan motor. Sepanjang jalan, mereka memang lebih banyak diam, karena topik pembicaraan yang akan mereka lakukan tidak cocok dilakukan dalam perjalanan. Mereka harus duduk berdua, dan membicarakan semuanya dengan serius. “Mumpung kursinya ada yang kosong, Mas,” kata Intan menunjuk kursi besi yang berada di trotoar, sembari turun dari motor Fajar. “Terus di situ nggak panas.” Ia melepas helm, kemudian memberikannya pada Fajar. Intan berjalan lebih dulu, lalu duduk dan tinggal menunggu pria itu menghampirinya. Intan masih ingat, bagaimana tatapan tajam Safir tertuju padanya, ketika ia berangkat kerja diantar oleh Fajar. Pria itu tidak bisa melakukan hal apa pun, karena akan ada hukuman yang menanti, bila Safir berani membuat keributan lagi dengan Fajar di tempat umum. Nam
Dugaan Lintang benar, Biya saat ini sedang bersama Rama, juga Anwar di halaman samping rumah. Ternyata, Anwar membelikan Rama sebuah mobil-mobilan listrik dan remote controlnya saat ini sedang berada di tangan Biya.Lintang benar-benar bingung dengan sikap Rama. Bocah itu senang sekali bermain mobil-mobilan, tetapi malas sekali mengemudikan mobilnya sendiri. Ia lebih senang duduk santai di atas sana, dan membiarkan seseorang mengendalikannya.“Rama … ayo masuk,” ajak Lintang hanya berdiri di sudut rumah, tanpa ingin mendekati Anwar yang berada di sebelah Biya. “Kita mau pulang bentar lagi.”Ketiga orang yang berada di taman tersebut, kompak menoleh pada Lintang.“Kenapa buru-buru pulang?” Anwar melambai pada Lintang, dan meminta putrinya itu agar datang menghampiri. Bukan hanya berdiri di sudut rumah. “Sebentar lagi makan siang, tinggallah dulu.”Lintang menggeleng, dan enggan menghampiri karena ada Biya di sana. “Mas Raga ada perlu, Pak, jadi, kita mau pergi bentar lagi.”Anwar tahu
“Jadi, kita selesaikan masalahnya malam ini juga.” Raga bersedekap. Duduk menengahi dua orang, yang saling melempar tatapan datar. Meskipun Raga tidak terlalu menyukai Fajar, tetapi malam ini ia harus bersikap netral di depan keduanya.“Pak Raga, saya nggak punya masalah sama mas Safir,” sahut Fajar yang juga bersedekap. Duduk tegak, sama seperti Raga.“Lo, yang mukul gue duluan waktu itu!” seru Safir sambil menunjuk Fajar. Jika tidak ada Raga, Safir ingin sekali melayangkan tinju pada Fajar sekali lagi. “Dan sekarang, lo bilang nggak punya masalah sama gue, heh! Sudah pikun, lo?”“Pak Raga tahu, alasan saya mukul Safir waktu itu?” Fajar berusaha tenang ketika memberi penjelasan pada Raga. “Intan lagi hamil, tapi dia tarik-tarik seenaknya. Apa dia nggak pernah mikir, dengan kandungannya Intan? Bagaimana kalau sampai kenapa-napa? Bukannya Intan sudah pernah pingsan waktu di pameran waktu itu, kan? Itu artinya, kandungan Intang harus dapat perhatian ekstra, bukan main tarik—““Sudah gue
“Dengar, Tan, aku nggak mau dibuat pusing dengan masalah seperti ini.” Andai Safir dan Fajar tidak pernah saling baku hantam sebelumnya, Raga pasti tidak akan bersikap seperti sekarang. “Dan aku juga sebenarnya nggak mau ikut campur.”Intan tertunduk dan tidak berani menatap Raga yang berdiri di hadapannya. Sementara Lintang, saat ini duduk pada sofa berbeda, yang berada di samping Intan.“Jadi, tolong kasih ketegasan sama dua orang tadi.” Raga mengangkat tangan dan mengarahkan telunjuknya ke rumah Safir. “Kalau memang kamu nggak tertarik “berhubungan” sama mereka, jangan pernah lagi kasih kesempatan apa pun!”Intan mengangguk, dan masih tidak berani memandang Raga. “Saya, sudah bilang ke mas Fajar, kalau kita itu temenan aja, dan—““Nggak usah teman-temanan!” putus Raga lalu bertolak pinggang. “Langsung cut! Biar nggak ada modus di belakang.”Lintang mencebik, karena Raga sedang membicarakan dirinya sendiri. Jadi wajar, Raga menganggap sikap Fajar yang mendatangi rumah Intan adalah m
“Kalau nggak ikhlas diajak rujuk itu bilang.”Intan berdecak sembari memicingkan tatapannya pada Safir. Mobil Raga baru saja berlalu, tetapi pria itu sudah berani mengucapkan kalimat yang tidak enak didengar. Proses rujuk yang berlangsung cepat dan mendadak, membuat Intan tidak bisa memikirkan banyak hal. Apalagi dengan sikap Raga yang tegas, dan mengintimidasi itu, membuat Intan tidak berani untuk membantah.Bukannya tidak mau rujuk dengan Safir, tetapi, Intan ingin melihat pria itu berubah lebih dulu. Meskipun lambat, tetapi Intan akan sabar menunggu.“Balik ajalah ke rumahmu di depan sana, Mas,” usir Intan tetapi dengan suara yang tidak menantang. “Aku kalau nggak mikir anak, mana mau rujuk sama kamu.”Bukan hanya karena anak, tetapi Intan belum bisa pindah ke lain hati. Sebenarnya, Intan sudah mencoba membuka hati untuk Fajar, tetapi, tetap saja ada perasaan mengganjal saat bersama pria itu. Intan tidak bisa menemukan sesuatu yang bisa membuat hatinya bergetar, serta chemistry yan
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida