Intan terbangun ketika dering panjang ponsel mengusiknya. Dengan malas, Intan meraih ponsel yang tergeletak di lantai, lalu melihat nama yang terpajang di sana. Melihat nama sang mama ada di sana, Intan beru-buru berdehem, agar suara serak bangun tidurnya tidak terlalu kentara saat mengangkat panggilan tersebut.“Halo, Ma.”“Kamu di mana?”Pertanyaan datar dari Jenni tersebut, kontan membuat hati Intan mendadak rikuh. Bukan karena kalimat pertanyaan yang dilontarkan Jenni, tetapi lebih kepada intonasi yang terdengar tidak hangat seperti biasanya.Karena sudah sangat mengenal Jenni, Intan sudah bisa menebak, sesuatu pasti sedang terjadi.“Aku di … kampus,” jawab Intan terpaksa berbohong, karena ia belum menyiapkan diri untuk menjelaskan perceraiannya dengan Safir.“Kenapa bu Retno bilang kamu lagi dalam perjalanan ke rumah tantemu?”Firasat Intan benar. Telah terjadi sesuatu, sehingga nada bicara Jenni terdengar dingin dan lebih tegas.Apa Retno telah menelepon Jenni, dan mengatakan se
“Makasih sudah diantar, Mas.” Intan melihat warung makan prasmanan, yang sering dilewatinya ketika pulang mengajar. Ia tidak pernah mampir, karena lebih memilih tempat makan yang berada di sebelah tempatnya mengajar. Atau, Intan akan membeli makanan dari pedagang bakso yang terkadang mangkal di depan Primagala. “Oia, Mas Fajar mau ke mana?”“Saya.” Fajar melepas helmnya, lalu meletakkannya di kaca spion setelah berdiri di hadapan Intan. “Mau makan juga.”Intan mengernyit tidak percaya. Firasatnya mengatakan, Fajar hendak pergi ke suatu tempat, tetapi pria itu mengurungkan niatnya tiba-tiba.“Ibunya Mas Fajar, nggak masak?” selidik Intan mendadak mengendus aroma masakan yang membuat perutnya mual. Namun, Intan berusaha menahannya, agar jangan sampai muntah.“Ibu sama ayah saya lagi di rumah mbak Widi,” terang Fajar. “Jadi, nggak ada makanan di rumah.”Alasan Fajar cukup masuk akal, sehingga Intan akhirnya percaya-percaya saja. “Mas Fajar mau makan apa?”“Kamu sendiri mau makan apa?”Sa
Pagi-pagi sekali, Intan melihat seorang wanita paruh baya tengah menyapu tepat di depan rumah Fajar. Menggiring daun-daun kering yang berguguran, ke tempat sampah yang berada di sudut rumah. Rencananya, Intan membeli sarapan di tempat yang sudah diberitahu Fajar sebelumnya, sekaligus ingin berjalan-jalan untuk mengenal lingkungan sekitar.Namun, karena melihat wanita paruh baya yang diyakininya adalah ibu Fajar, maka Intan mau tidak mau harus menyapa terlebih dahulu.“Pagi, Bu.” Sapaan Intan tersebut, membuat wanita paruh baya itu menoleh, dan menghentikan sejenak kegiatannya.“Pagi.”Intan tersenyum sembari menutup pintu pagar, yang tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Ia menghampiri wanita tersebut, lalu memberi anggukuan sopan dan mengulurkan tangan lebih dulu. Intan mencoba bersikap ramah dengan semua orang, agar bisa dengan mudah minta bantuan jika terjadi sesuatu yang tidak terduga dengan dirinya. “Saya Intan, anak kos baru di depan.”“Ohh … saya … panggil aja Ibu Ta
“Ngapain, Jar?” Tidak biasanya putranya itu duduk-duduk di teras rumah seperti sekarang. Sepulang kantor, Fajar pasti akan langsung berada di kamar, dan hanya keluar untuk makan malam. Kecuali ada Widi berkunjung ke rumah, atau Fajar sedang kedatangan teman kantornya. Jadi wajar, bila sebagai ayah, Fikri bertanya akan hal tersebut. “Cari angin,” jawab Fajar mendadak mempertanyakan hal yang pada pada dirinya sendiri. Untuk apa juga Fajar duduk di teras rumah seperti sekarang, tetapi tidak melakukan hal apapun. “Cari angin?” Fikri berdecih, lalu duduk pada kursi rotan yang berada di samping putrannya. “Kamarmu di atas itu kurang banyak apa lagi anginnya? Tinggal buka jendela, kenyang! Masuk angin.” “Cari suasana baru.” Fajar beralasan dan menatap lurus pada rumah yang berseberangan dengannya. “Bosan di atas terus.” “Gini, ini.” Fikri menoleh dan mengarahkan telunjuknya pada Fajar. “Kalau kelamaan jomlo. Kamu itu sudah keliling pulau Jawa, tapi nggak ada satu pun perempuan yang nyang
“Kata ayah, kamu sudah kenal sama Intan.” Tati tidak akan menunda untuk menginterogasi putranya pagi ini. Mumpung Fajar baru saja duduk di meja makan, dan tengah menyendokkan nasi ke piringnya. “Ibu baru ketemu sekali, tapi … sepertinya anaknya sopan, baik, cantik juga. Karyawannya mbakmu juga, kan, ternyata?”“Jangan mulai,” pinta Fajar melihat sang ayah baru saja menarik kursi di sebelahnya, lalu duduk di sana. “Aku sama Intan nggak ada hubungan apa-apa.”“Beluum,” goda Fikri sambil menyomot tempe goreng yang sudah tersaji di meja. “Bentar lagi juga ada. Itu penerawangan Ayah,” kata Fikri lalu terkekeh pelan. “Tinggal kamunya aja, jangan terlalu pasif jadi laki-laki. Nanti keburu disambar orang, seperti Lintang.”Fajar menghela. “Lintang …”Intan berbeda dengan Lintang. Saat mengetahui gadis itu adalah putri dari pengusaha media ternama, Fajar pun sadar diri dan tidak lagi bertanya-tanya mengapa Lintang selalu menolaknya. Mungkin, perbedaan status merekalah yang membuat Lintang masi
Saat memeriksakan kandungannya pertama kali, Intan melakukannya bersama Safir. Yang kedua, Intan melakukannya bersama Retno, yaitu saat ia masuk rumah sakit tempo hari.Lantas sekarang? Intan pergi seorang diri ke dokter kandungan, tanpa ada yang menemani.Sesak? Pastinya! Intan baru merasakan, betapa pilunya memeriksakan kehamilannya seorang diri. Tanpa suami, dan tanpa satu pun keluarga ada di sisinya. Intan tiba-tiba merasa asing, dan kesepian. Ia merindukan orang tuanya, Lintang, Retno, teman-teman kampusnya, dan juga … Safir.Dasar bodoh! Satu-satunya orang yang tidak boleh lagi masuk ke dalam kehidupan Intan, adalah Safir. Pria yang sangat dicintainya, sekaligus pria yang juga memberinya luka.“Mbak, sudah sampai.”“Sudah sampai?” Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Intan sampai melupakan keberadaannya saat ini. Kemudian, ia menegakkan tubuh dan memandang rumah Lintang dari luar pagar. Intan terdiam untuk beberapa saat, lalu menghela dan kembali menatap sopir taksi
“Pagi, Bu Tati.” Intan menyapa, saat ia baru saja menutup pintu pagar. Wanita yang tengah menyapu dedaunan kering di depan pagar rumahnya itu, segera menoleh dan tersenyum.“Mau cari sarapan?” tanya Tati sudah hafal dengan kegiatan Intan di pagi hari seperti ini. Gadis itu akan melakukan jalan pagi, dan pulangnya akan membawa kue basah, serta lauk pauk untuk disantap hari ini.“Iya, Bu. Seperti biasa,” jawab Intan lalu terkekeh pelan.“Oia, kata Widi, kamu lagi hamil, ya?” tanya Tati mendadak penasaran, dan menghampiri Intan seraya melihat perut gadis itu yang masih tidak terlihat. “Sudah berapa bulan?”“Dua, bulan.” Setelah berbohong pada Fajar tentang usia kehamilannya tempo hari, kini Intan harus kembali menutup aibnya dan tidak berani mengatakan usia kehamilan yang sesungguhnya.Rupanya, tadi malam Intan sempat menjadi topik pembicaraan di keluarga Fajar. Apa gara-gara hal tersebut, Fajar mendadak bersikap tidak jelas seperti tadi malam? Menelepon Intan tanpa tujuan, dan mengakhir
“Astaga! Aku kangeeen!” ujar Lintang sambil memeluk erat tubuh Intan. Akhirnya, setelah berpisah beberapa waktu, mereka bertemu kembali.“Aku juga kangeeen!” Saat melihat wajah Rama yang mengerut di belakang Lintang, Intan segera melepas pelukannya. Ia menghampiri Rama, lalu memberi satu pelukan juga pada bocah itu. “Tante kangen juga sama kamu.”“Tante, aku mau main.”Senyum Intan sontak memudar, setelah mendengar ucapan datar Rama. Ia melepas pelukan tersebut, dan masih melihat wajah cemberut bocah itu. “Oh, ya udah. Rama main dulu sama Sus Eni.” Saat Rama pergi, Intan menoleh pada Lintang dengan kedua alis yang tersentak tinggi. Berharap mendapat jawaban dari Lintang, atas sikap Rama yang tidak biasa barusan.“Rama ngambek.” Lintang meraih strollernya, lalu mengajak Intan menuju tempat makan yang tidak jauh dari playground. “Harusnya, hari ini kita jalan-jalan sama Mas Raga juga, tapi papanya mendadak harus pergi. Makanya manyun aja dari tadi.”“Pantes!” Intan melihat sebentar pada
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida