Pagi-pagi sekali, Intan melihat seorang wanita paruh baya tengah menyapu tepat di depan rumah Fajar. Menggiring daun-daun kering yang berguguran, ke tempat sampah yang berada di sudut rumah. Rencananya, Intan membeli sarapan di tempat yang sudah diberitahu Fajar sebelumnya, sekaligus ingin berjalan-jalan untuk mengenal lingkungan sekitar.Namun, karena melihat wanita paruh baya yang diyakininya adalah ibu Fajar, maka Intan mau tidak mau harus menyapa terlebih dahulu.“Pagi, Bu.” Sapaan Intan tersebut, membuat wanita paruh baya itu menoleh, dan menghentikan sejenak kegiatannya.“Pagi.”Intan tersenyum sembari menutup pintu pagar, yang tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Ia menghampiri wanita tersebut, lalu memberi anggukuan sopan dan mengulurkan tangan lebih dulu. Intan mencoba bersikap ramah dengan semua orang, agar bisa dengan mudah minta bantuan jika terjadi sesuatu yang tidak terduga dengan dirinya. “Saya Intan, anak kos baru di depan.”“Ohh … saya … panggil aja Ibu Ta
“Ngapain, Jar?” Tidak biasanya putranya itu duduk-duduk di teras rumah seperti sekarang. Sepulang kantor, Fajar pasti akan langsung berada di kamar, dan hanya keluar untuk makan malam. Kecuali ada Widi berkunjung ke rumah, atau Fajar sedang kedatangan teman kantornya. Jadi wajar, bila sebagai ayah, Fikri bertanya akan hal tersebut. “Cari angin,” jawab Fajar mendadak mempertanyakan hal yang pada pada dirinya sendiri. Untuk apa juga Fajar duduk di teras rumah seperti sekarang, tetapi tidak melakukan hal apapun. “Cari angin?” Fikri berdecih, lalu duduk pada kursi rotan yang berada di samping putrannya. “Kamarmu di atas itu kurang banyak apa lagi anginnya? Tinggal buka jendela, kenyang! Masuk angin.” “Cari suasana baru.” Fajar beralasan dan menatap lurus pada rumah yang berseberangan dengannya. “Bosan di atas terus.” “Gini, ini.” Fikri menoleh dan mengarahkan telunjuknya pada Fajar. “Kalau kelamaan jomlo. Kamu itu sudah keliling pulau Jawa, tapi nggak ada satu pun perempuan yang nyang
“Kata ayah, kamu sudah kenal sama Intan.” Tati tidak akan menunda untuk menginterogasi putranya pagi ini. Mumpung Fajar baru saja duduk di meja makan, dan tengah menyendokkan nasi ke piringnya. “Ibu baru ketemu sekali, tapi … sepertinya anaknya sopan, baik, cantik juga. Karyawannya mbakmu juga, kan, ternyata?”“Jangan mulai,” pinta Fajar melihat sang ayah baru saja menarik kursi di sebelahnya, lalu duduk di sana. “Aku sama Intan nggak ada hubungan apa-apa.”“Beluum,” goda Fikri sambil menyomot tempe goreng yang sudah tersaji di meja. “Bentar lagi juga ada. Itu penerawangan Ayah,” kata Fikri lalu terkekeh pelan. “Tinggal kamunya aja, jangan terlalu pasif jadi laki-laki. Nanti keburu disambar orang, seperti Lintang.”Fajar menghela. “Lintang …”Intan berbeda dengan Lintang. Saat mengetahui gadis itu adalah putri dari pengusaha media ternama, Fajar pun sadar diri dan tidak lagi bertanya-tanya mengapa Lintang selalu menolaknya. Mungkin, perbedaan status merekalah yang membuat Lintang masi
Saat memeriksakan kandungannya pertama kali, Intan melakukannya bersama Safir. Yang kedua, Intan melakukannya bersama Retno, yaitu saat ia masuk rumah sakit tempo hari.Lantas sekarang? Intan pergi seorang diri ke dokter kandungan, tanpa ada yang menemani.Sesak? Pastinya! Intan baru merasakan, betapa pilunya memeriksakan kehamilannya seorang diri. Tanpa suami, dan tanpa satu pun keluarga ada di sisinya. Intan tiba-tiba merasa asing, dan kesepian. Ia merindukan orang tuanya, Lintang, Retno, teman-teman kampusnya, dan juga … Safir.Dasar bodoh! Satu-satunya orang yang tidak boleh lagi masuk ke dalam kehidupan Intan, adalah Safir. Pria yang sangat dicintainya, sekaligus pria yang juga memberinya luka.“Mbak, sudah sampai.”“Sudah sampai?” Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, Intan sampai melupakan keberadaannya saat ini. Kemudian, ia menegakkan tubuh dan memandang rumah Lintang dari luar pagar. Intan terdiam untuk beberapa saat, lalu menghela dan kembali menatap sopir taksi
“Pagi, Bu Tati.” Intan menyapa, saat ia baru saja menutup pintu pagar. Wanita yang tengah menyapu dedaunan kering di depan pagar rumahnya itu, segera menoleh dan tersenyum.“Mau cari sarapan?” tanya Tati sudah hafal dengan kegiatan Intan di pagi hari seperti ini. Gadis itu akan melakukan jalan pagi, dan pulangnya akan membawa kue basah, serta lauk pauk untuk disantap hari ini.“Iya, Bu. Seperti biasa,” jawab Intan lalu terkekeh pelan.“Oia, kata Widi, kamu lagi hamil, ya?” tanya Tati mendadak penasaran, dan menghampiri Intan seraya melihat perut gadis itu yang masih tidak terlihat. “Sudah berapa bulan?”“Dua, bulan.” Setelah berbohong pada Fajar tentang usia kehamilannya tempo hari, kini Intan harus kembali menutup aibnya dan tidak berani mengatakan usia kehamilan yang sesungguhnya.Rupanya, tadi malam Intan sempat menjadi topik pembicaraan di keluarga Fajar. Apa gara-gara hal tersebut, Fajar mendadak bersikap tidak jelas seperti tadi malam? Menelepon Intan tanpa tujuan, dan mengakhir
“Astaga! Aku kangeeen!” ujar Lintang sambil memeluk erat tubuh Intan. Akhirnya, setelah berpisah beberapa waktu, mereka bertemu kembali.“Aku juga kangeeen!” Saat melihat wajah Rama yang mengerut di belakang Lintang, Intan segera melepas pelukannya. Ia menghampiri Rama, lalu memberi satu pelukan juga pada bocah itu. “Tante kangen juga sama kamu.”“Tante, aku mau main.”Senyum Intan sontak memudar, setelah mendengar ucapan datar Rama. Ia melepas pelukan tersebut, dan masih melihat wajah cemberut bocah itu. “Oh, ya udah. Rama main dulu sama Sus Eni.” Saat Rama pergi, Intan menoleh pada Lintang dengan kedua alis yang tersentak tinggi. Berharap mendapat jawaban dari Lintang, atas sikap Rama yang tidak biasa barusan.“Rama ngambek.” Lintang meraih strollernya, lalu mengajak Intan menuju tempat makan yang tidak jauh dari playground. “Harusnya, hari ini kita jalan-jalan sama Mas Raga juga, tapi papanya mendadak harus pergi. Makanya manyun aja dari tadi.”“Pantes!” Intan melihat sebentar pada
“Ibu nggak ngelarang kamu berteman.”Fajar baru saja memasukkan suapan pertama ke mulutnya, saat sang ibu memasuki area dapur dan langsung memulai ceramah tanpa pemanasan terlebih dahulu.“Berteman sama siapa aja, nggak masalah,” lanjut Tati melihat keadaan kompor, dan memastikan sudah tidak menyala, karena ia akan pergi dengan sang suami sebentar lagi. “Ibu juga nggak akan ngelarang, misal kamu punya teman preman, pemulung, atau siapalah itu di luar sana. CUMA …” Tati menarik kursi di samping Fajar, lalu mendudukinya. “Ibu minta tolong, untuk kasus Intan—““Bu, aku lagi makan.”“Justru karena kamu lagi makan.” Tati menepuk lengan Fajar geregetan. “Kalau nggak begini, kamu pasti sudah kabur ke kamar terus sibuk sendiri.”Karena sang ibu tidak bisa disanggah, jalan satu-satunya adalah mempercepat suapannya ke dalam mulut.“Jar, perempuan yang ngekos di depan itu, masih banyak yang belum nikah,” sambung Tati sembari melihat Fikri memasuki dapur. Sebelum sang suami membuka mulutnya, Tati
Kalau begini caranya, sepertinya Intan tidak bisa melanjutkan kedekatannya dengan Fajar. Pria itu semakin terus terang menunjukkan perasaannya, dan Intan sungguh tidak bisa membalas itu semua. Mungkin, Intan harus mencari pekerjaan lain saja. Atau, ia juga bisa masuk ke beberapa komunitas, dan mem-branding dirinya sendiri.Intan tahu hal tersebut bisa memakan waktu yang lama, tetapi, apa boleh buat. Intan harus memutus mata rantai, yang menjadi penghubung antara dirinya dan Fajar segera mungkin, agar perasaan pria itu tidak berkembang semakin dalam lagi.Lantas, pagi itu, Intan sudah melihat Fajar berdiri di teras rumah. Pria itu pasti akan beralasan membeli kue, sehingga bisa jalan pagi bersama Intan.Kemudian, yang bisa dilakukan Intan saat Fajar menghampirinya adalah tersenyum. “Bu Tati ke mana, Mas? Tumben nggak nyapu-nyapu?”“Lagi masak,” jawab Fajar sembari berjalan bersama Intan menuju tempat biasanya. “Ibu kesiangan.”“Ohh, pantes.” Intan mengangguk-angguk. Berusaha mengumpulk