“Ibu nggak ngelarang kamu berteman.”Fajar baru saja memasukkan suapan pertama ke mulutnya, saat sang ibu memasuki area dapur dan langsung memulai ceramah tanpa pemanasan terlebih dahulu.“Berteman sama siapa aja, nggak masalah,” lanjut Tati melihat keadaan kompor, dan memastikan sudah tidak menyala, karena ia akan pergi dengan sang suami sebentar lagi. “Ibu juga nggak akan ngelarang, misal kamu punya teman preman, pemulung, atau siapalah itu di luar sana. CUMA …” Tati menarik kursi di samping Fajar, lalu mendudukinya. “Ibu minta tolong, untuk kasus Intan—““Bu, aku lagi makan.”“Justru karena kamu lagi makan.” Tati menepuk lengan Fajar geregetan. “Kalau nggak begini, kamu pasti sudah kabur ke kamar terus sibuk sendiri.”Karena sang ibu tidak bisa disanggah, jalan satu-satunya adalah mempercepat suapannya ke dalam mulut.“Jar, perempuan yang ngekos di depan itu, masih banyak yang belum nikah,” sambung Tati sembari melihat Fikri memasuki dapur. Sebelum sang suami membuka mulutnya, Tati
Kalau begini caranya, sepertinya Intan tidak bisa melanjutkan kedekatannya dengan Fajar. Pria itu semakin terus terang menunjukkan perasaannya, dan Intan sungguh tidak bisa membalas itu semua. Mungkin, Intan harus mencari pekerjaan lain saja. Atau, ia juga bisa masuk ke beberapa komunitas, dan mem-branding dirinya sendiri.Intan tahu hal tersebut bisa memakan waktu yang lama, tetapi, apa boleh buat. Intan harus memutus mata rantai, yang menjadi penghubung antara dirinya dan Fajar segera mungkin, agar perasaan pria itu tidak berkembang semakin dalam lagi.Lantas, pagi itu, Intan sudah melihat Fajar berdiri di teras rumah. Pria itu pasti akan beralasan membeli kue, sehingga bisa jalan pagi bersama Intan.Kemudian, yang bisa dilakukan Intan saat Fajar menghampirinya adalah tersenyum. “Bu Tati ke mana, Mas? Tumben nggak nyapu-nyapu?”“Lagi masak,” jawab Fajar sembari berjalan bersama Intan menuju tempat biasanya. “Ibu kesiangan.”“Ohh, pantes.” Intan mengangguk-angguk. Berusaha mengumpulk
“Kenapa aku nggak dikasih tahu, kalau jalannya sempit gini?” Raga menggumam kesal sendiri, saat memasuki area tempat tinggal tinggal Intan. Jalan menuju rumah Intan memang hanya satu jalur saja, tetapi, bila Raga memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan ada mobil lain yang hendak lewat, pasti akan membutuhkan effort yang lumayan. Jika tidak ahli, mungkin body mobilnya akan sedikit bersenggolan dengan mobil lainnya. “Pake mobil Safir harusnya kalau begini.”“Ya udah, pelan-pelan aja, Pa,” ujar Lintang yang duduk di belakang bersama Mana. Sementara Rama, berada di samping kemudi bersama sanga papa. “Nanti parkirnya bisa mepet-mepet pagar.”“Nanti beli mobil lagi ajalah, yang kecilan.” Mengingat mobil yang digunakan Rama dan Lintang juga berukuran lebar, sepertinya Raga akan membeli satu city car yang berukuran kecil.“Mobil listrik aja, Pa,” pinta Lintang sudah sering melihat mobil kecil dengan warna-warna yang menggemaskan, berkeliaran di jalan. “Bentuknya lucu, mungil.”“Mama beli se
Sejak masuk ke kamar kosan Intan, Lintang masih membahas tentang hal-hal umum karena masih ada Rama bersama mereka. Membicarakan tentang perkembangan Mana, kehamilan mereka, juga perkembangan Rama di sekolah. Setelah Rama mulai bosan, dan memilih pergi untuk bersama Raga, barulah Lintang bisa sedikit serius.“Kamu ada hubungan sama mas Fajar?” Lintang rasa, ia tidak perlu berbasa-basi.Intan menggeleng, sambil menepuk-nepuk bokong Mana yang sedang bertelungkup di kasurnya. “Kenapa Mbak Lintang tanya begitu?”“Karena waktu itu … katanya Safir, dia sempat ketemu kamu makan siang berdua, kan?” Jika melihat ukuran kamar yang ditempati Intan, sepertinya Lintang akan membujuk gadis itu agar segera pindah saja. Lintang merasa tidak tega, jika harus membiarkan Intan yang hamil berada di kamar yang sempit tersebut. Lebih baik Intan menempati rumah Lintang, agar orang tua gadis itu bisa bebas mengunjungi putrinya. “Terus sekarang, kamu malah ngekos di depan rumah mas Fajar.”“Aku nggak ada hubu
“Mau ke mana!” desis Tati menahan siku Fajar yang hendak berlalu melewati pagar rumah. Mobil Raga baru saja menjauh, tetapi putranya itu sepertinya hendak pergi ke kosan Intan. “Nggak dengar tadi mas Raga bilang, kalau keluarga mereka sebenarnya masih mau Intan sama suaminya itu rujuk?”“Dengar.” Fajar mengangguk. Raga memang sempat mengatakan, keluarga besarnya masih berharap Intan dan Safir rujuk kembali. Meskipun, pria itu tidak menjelaskan mengenai penyebab perceraian mereka. Raga hanya mengatakan, kedua orang itu hanya termakan emosi sehingga terjadi hal seperti sekarang.Namun, Fajar jelas saja tidak bisa memercayainya.“Terus kamu mau ngapain?” tanya Tati semakin geregetan dengan putranya. Tidak bisakah Fajar mencari gadis lain yang statusnya sama-sama lajang, dan tidak merepotkan seperti sekarang. Sebagai seorang ibu, Tati pasti menginginkan, agar putranya mendapat pasangan yang statusnya sama-sama belum menikah.Akan beda ceritanya, bila status Fajar saat ini adalah seorang d
Raga yang baru masuk kamar, sontak mengerutkan dahi saat melihat Rama sudah tertidur pulas di ranjangnya. Ia menutup pintu dengan perlahan, kemudian menghampiri Lintang yang tengah menepuk-nepuk pinggul Rama yang berbaring miring, memeluk guling. “Kenapa Rama tidur di sini?” tanya Raga pelan sembari duduk di samping putranya. “Rama mendadak minta dipuk-puk kayak Mana.” Lintang hanya bisa menggeleng, melihat tingkah Rama yang terkadang bisa mengejutkan. “Kan, bisa di kasurnya sendiri, kenapa harus di sini?” Kalau begini caranya, malam ini Raga tidak bisa tidur sambil memeluk Lintang. Entah sampai kapan, Rama akan terus tidur di kamar Raga seperti sekarang. Jika dilarang, Rama pasti akan ngambek dan menyalahkan Mana. Benar-benar serba salah. Raga ingin bersikap tegas, tetapi Lintang melarangnya karena kasihan. Lintang beralasan, selama ini Rama hidup tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya. Untuk itulah, Lintang tidak akan melarang Rama tidur di kamar mereka. Karena pada waktunya
“Mas Safir, tolong sopan sedikit dengan ibu hamil.”Sambil terus membawa Intan menuju mobilnya, Safir menunjuk pria yang sedang berjalan menghampirinya. “Orang luar, jangan ikut campur.”“Mas Fajar …” Intan menggeleng pada Fajar, agar tidak membuat keributan di tempat umum. “Nggak papa,” kata Intan hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. Fajar juga ikut menggeleng, dan tidak bisa diam saja melihat Intan diperlakukan kasar seperti itu. Baginya, Safir sudah bertindak kelewatan. Karena itu, Fajar tidak bisa tinggal tinggal diam. Ia mempercepat langkahnya, lalu menghalangi Safir tepat ketika pria itu hendak mengitari sebuah mobil.“Lepaskan Intan, dan bicarakan semua baik-baik,” pinta Fajar sembari menahan geram di dalam dada, dan mencoba bersabar.Safir menahan napas sejenak, sembari melihat datar pada Intan. Andai tidak mengingat ada nama Sailendra di belakangnya, Safir pasti sudah menghajar Fajar karena pria itu masih saja ikut campur. “Apa hubunganmu sama orang ini?”Intan melihat F
Fajar terbelalak, saat melihat Intan menampar wajah Safir. Firasatnya benar, pasti akan terjadi sesuatu yang buruk di antara mereka berdua. Karena itulah, Fajar meninggalkan Widi dan tidak jadi pergi makan siang untuk mengikuti mobil Safir. Kemudian, di sinilah Fajar. Berada di parkiran motor, dan tengah melihat sejauh mana kedua orang itu akan melakukan pembicaraan. Namun, Fajar tidak menduga bila pertemuan tersebut akan menjadi ajang perdebatan dan berakhir dengan satu tamparan keras. Guna menghindari keributan yang mungkin akan merugikan Intan, Fajar bergegas melepas helm dan meletakkannya di tangki motor. Ia berlari menghampiri Intan, dan menarik Intan menjauh dari Safir. Fajar berdiri di antaranya, dan tetap berusaha untuk menjadi penengah yang netral, walaupun ada sebagian dari dirinya hendak memukul Safir karena telah bersikap kasar dengan Intan. “Cukup, Mas,” ujar Fajar dengan satu tangan terangkat di udara untuk memperingatkan Safir. “Kita di tempat umum, dan semua ini ngga
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida