Raga yang baru masuk kamar, sontak mengerutkan dahi saat melihat Rama sudah tertidur pulas di ranjangnya. Ia menutup pintu dengan perlahan, kemudian menghampiri Lintang yang tengah menepuk-nepuk pinggul Rama yang berbaring miring, memeluk guling. “Kenapa Rama tidur di sini?” tanya Raga pelan sembari duduk di samping putranya. “Rama mendadak minta dipuk-puk kayak Mana.” Lintang hanya bisa menggeleng, melihat tingkah Rama yang terkadang bisa mengejutkan. “Kan, bisa di kasurnya sendiri, kenapa harus di sini?” Kalau begini caranya, malam ini Raga tidak bisa tidur sambil memeluk Lintang. Entah sampai kapan, Rama akan terus tidur di kamar Raga seperti sekarang. Jika dilarang, Rama pasti akan ngambek dan menyalahkan Mana. Benar-benar serba salah. Raga ingin bersikap tegas, tetapi Lintang melarangnya karena kasihan. Lintang beralasan, selama ini Rama hidup tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya. Untuk itulah, Lintang tidak akan melarang Rama tidur di kamar mereka. Karena pada waktunya
“Mas Safir, tolong sopan sedikit dengan ibu hamil.”Sambil terus membawa Intan menuju mobilnya, Safir menunjuk pria yang sedang berjalan menghampirinya. “Orang luar, jangan ikut campur.”“Mas Fajar …” Intan menggeleng pada Fajar, agar tidak membuat keributan di tempat umum. “Nggak papa,” kata Intan hanya dengan gerakan bibir, tanpa suara. Fajar juga ikut menggeleng, dan tidak bisa diam saja melihat Intan diperlakukan kasar seperti itu. Baginya, Safir sudah bertindak kelewatan. Karena itu, Fajar tidak bisa tinggal tinggal diam. Ia mempercepat langkahnya, lalu menghalangi Safir tepat ketika pria itu hendak mengitari sebuah mobil.“Lepaskan Intan, dan bicarakan semua baik-baik,” pinta Fajar sembari menahan geram di dalam dada, dan mencoba bersabar.Safir menahan napas sejenak, sembari melihat datar pada Intan. Andai tidak mengingat ada nama Sailendra di belakangnya, Safir pasti sudah menghajar Fajar karena pria itu masih saja ikut campur. “Apa hubunganmu sama orang ini?”Intan melihat F
Fajar terbelalak, saat melihat Intan menampar wajah Safir. Firasatnya benar, pasti akan terjadi sesuatu yang buruk di antara mereka berdua. Karena itulah, Fajar meninggalkan Widi dan tidak jadi pergi makan siang untuk mengikuti mobil Safir. Kemudian, di sinilah Fajar. Berada di parkiran motor, dan tengah melihat sejauh mana kedua orang itu akan melakukan pembicaraan. Namun, Fajar tidak menduga bila pertemuan tersebut akan menjadi ajang perdebatan dan berakhir dengan satu tamparan keras. Guna menghindari keributan yang mungkin akan merugikan Intan, Fajar bergegas melepas helm dan meletakkannya di tangki motor. Ia berlari menghampiri Intan, dan menarik Intan menjauh dari Safir. Fajar berdiri di antaranya, dan tetap berusaha untuk menjadi penengah yang netral, walaupun ada sebagian dari dirinya hendak memukul Safir karena telah bersikap kasar dengan Intan. “Cukup, Mas,” ujar Fajar dengan satu tangan terangkat di udara untuk memperingatkan Safir. “Kita di tempat umum, dan semua ini ngga
Kacau. Intan tidak pernah menduga, masalahnya dengan sampai bisa menimbulkan perkelahian seperti sekarang. Karena panik, Intan tidak hanya menghubungi Lintan, tetapi ia juga menelepon Widi. Hanya dua hal tersebut yang bisa Intan lakukan, karena sebagai wanita hamil, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Karena bimbingan belajar berjarak tidak sampai satu kilometer dari kafe yang didatangi Intan, maka Widi bisa datang lebih dulu ke tempat kejadian. “Saya, minta maaf, Bu,” ujar Intan tertunduk di depan Widi. Merasa bersalah, karena semua hal ini terjadi gara-gara Intan. Widi menghela. Beralih dari Intan tanpa mengucapkan satu patah kata. Ia menatap Fajar dengan luka, dan lebam di wajah sembari menggeleng. “Sejak kapan, kamu jadi preman seperti ini?” Fajar yang duduk di sudut kafe, hanya terdiam. Sementara Safir, sudah pergi entah ke mana seusai orang-orang di sekitar melerai mereka. “Sekarang, pulanglah ke rumah.” Karena tidak mendapat respons apa pun dari Fajar, maka lebih baik Widi
“Intan tadi nelpon,” Lintang berujar setelah Raga duduk di tangga teras rumah mereka. Suaminya itu baru sampai dari kediaman utama Sailendra, dan segera menghampiri Lintang yang tengah memegang stik remote control mobil listrik yang tengah Rama gunakan. “Katanya mau pindah dari kosan.”“Kapan?” Raga mengambil alih stik remote control dari tangan Lintang, dan kini, ialah yang memegang kemudi mobil yang dinaiki Rama. Padahal, Rama sudah bisa mengemudikan mobil listriknya sendiri, tetapi masih saja terlalu manja bila bersama Lintang.“Katanya terserah kita.” Lintang langsung mengalungkan tangan di lengan Raga, dan merebahkan kepalanya di pundak sang suami.“Kalau kamu nggak capek, besok kita jalan beli furniturenya.” Sembari terus mengemudikan mobil listrik Rama, Raga menceritakan semua hal yang terjadi di kediaman Sailendra. “Mana ke mana?”“Sama Eni di dalam, lagi tidur di depan tivi.” Saat kembali mengingat keributan yang diceritakan Intan, Lintang pun berceletuk. “Mas Fajar, ternyata
“Pa!” panggil Lintang sudah berdiri di depan Raga, sembari mengusap punggungnya yang terasa pegal. “Furniturnya sudah kubeli semua, tinggal ke toko elektronik.” “Yakin sudah semua? Nggak ada yang kelewat?” tanya Raga sembari memajumundurkan stroller Mana yang ada di depannya. Bocah itu tengah tertidur, dan Raga sejak tadi menjaganya, selagi Lintang membeli furniture untuk rumah yang akan ditempati Intan. Tatapan Raga beralih pada Rama yang memeluk Lintang dari samping. Kenapa putranya bisa selengket itu dengan Lintang, tetapi tidak dengan Raga? Padahal, sejak ada Mana, Raga lebih sering menghabiskan waktu dengan Rama, tetapi putranya tidak pernah memeluknya seperti itu. “Sudah,” angguk Lintang sembari mengacak-acak rambut Rama. “Diantar besok siang semuanya.” “Oke, kita ke toko elektronik kalau begitu.” Saat hendak memasukkan ponsel yang sejak tadi digunakannya, benda persegi itu lantas berbunyi singkat. Raga menyempatkan membacanya, karena pengirimnya adalah sang adik, yang sudah
“Waah, rumahnya jadi kelihatan luas.” Intan melewati pagar rumah Lintang, sembari membawa Mana dalam gendongannya. Meskipun terasa semakin berat, tetapi Intan ingin sekali menggendong balita tampan yang semakin pintar itu. Nuansa putih minimalis yang terlihat sangat bersih, benar-benar terlihat sangat melegakan. Belum lagi, ada taman kecil yang tepat berada di depan teras, yang membuat rumah Lintang yang sekarang terlihat semakin asri. “Ibu sama bapak ke sini nanti malam,” ujar Lintang sembari membuka pintu rumah, lalu memasukinya. Intan tercenung. Benar-benar belum siap, jika harus bertemu dengan Retno dan Ario yang akan berkunjung nanti malam. “Biar saya yang bawa Mana, Mbak,” pinta Eni sembari mengulurkan kedua tangannya di hadapan Mana. “Mbak Intan biar bisa bebas lihat rumah sama bu Lintang di dalam.” “Iya, Sus.” Intan akhirnya menyerahkan Mana ke tangan Eni. “Lumayan gendongannya sekarang. Bentaran aja sudah pegel.” “Nyusunya kuat, Mbak,” kata Eni sembari merebahkan Mana d
“Ma-Mas Safir.” Intan terpaku. Menatap lurus pada Safir, yang kini juga tampak terkejut melihatnya. Kaki Intan seolah berat untuk melangkah, ketika memandang Safir akhirnya berjalan dengan tatapan bingung menghampirinya.“Bu Imar?” Safir justru lebih dulu menyebut nama Imar, yang berdiri di samping Intan. Apa maksud dari ini semua? Rasanya tidak mungkin, bila Imar berhenti dari kediaman Sailendra. Terlebih, saat ini ada Intan yang masih terpaku di samping wanita paruh baya itu. Apa ini termasuk rencana Raga? Meminta alamat Safir, lalu mencari kontrakan di sekitar sini untuk Intan? “Ngapain di sini?”“Mas Safir tinggal di sini juga?” tanya Imar, kembali melihat rumah yang pagarnya ditinggalkan dalam keadaan separuh terbuka. “Apa, lagi ke tempat temannya?”“Sebentar?” Intan akhirnya bersuara, menatap tanya pada Imar. “Mas Safir tinggal di sini juga? Gimana maksudnya, Bu?”Imar sontak melipat bibir, menatap Safir. Sepertinya, Intan belum tahu mantan suaminya itu diusir dari kediaman Sail
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida