“Yakin, ya, Lin?” Sekali lagi, Retno bertanya mengenai keputusan Lintang di depan kedua keluarga. “Setelah ini, kamu nggak akan bisa tarik kembali omonganmu. Jadi, sebelum semuanya terlanjur, coba pikirkan lagi baik-baik semuanya.” Lintang yang duduk di sebelah Raga, menghela. Ia mengangguk tidak ikhlas, lalu tertunduk penuh ragu meskipun keputusan sudah diucapkan. Bukannya tidak mau mengubah keputusan, tetapi Lintang sudah tidak memiliki jalan yang lebih baik lagi. “Kalau belum yakin, kamu masih bisa pikir–” “Nggak bisa, Ma,” sanggah Raga segera. “Kasihan Rama kalau harus ditunda-tunda terus. Aku juga sudah bilang itu ke Lintang, dan semuanya harus selesai malam ini juga. Karena, mau sampai kapan aku bohong ke Rama? Sementara Lintang, nggak akan bisa ngasih keputusan kalau nggak didesak seperti ini. Keluar dari rumah, atau nikah.” Tangan Lintang reflek memukul paha Raga dengan keras, hingga pria itu mengaduh. “Aku sudah bilang iya! Kita nikah! Jadi, ya, udah! Nggak usah bicara sa
“Mas Raga?”Tangan Raga baru saja terangkat untuk mengetuk pintu kamar Lintang, tetapi gadis itu sudah lebih dulu membukanya. Menatap datar, tanpa menunjukkan keramahan sama sekali. “Ngapain?” Lintang menutup pintu kamar, lalu berlalu begitu saja. “Cincin nikah,” ujar Raga segera menyusul Lintang yang berjalan menuju tangga. Menyamakan langkahnya, lalu menuruni anak tangga bersama-sama. “Aku mau ajak kamu beli cincin nikah yang baru, karena yang lama waktu itu punyanya Safir sama Biya.”“Nggak bisa,” tolak Lintang lalu tersenyum melihat Rama, yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ada Eni yang segera mengangguk sopan, lalu pergi lebih dulu dengan membawa tas sekolah bocah itu. “Aku, kerja hari ini. Mas Raga, kan, juga kerja.”“Kita jalan pas makan siang, Lin.”“Waktunya sempit,” ujar Lintang kembali memberi alasan penolakan. “Kantor Mas Raga di mana, kantorku di mana. Jauh!”Tenang … sabar …Raga tidak boleh emosi, karena sang istri tidak mengacuhkannya.“Ganteng banget, siiih,”
Lintang langsung menghela besar, saat baru saja masuk melewati pintu pagar. Di teras rumah, sudah ada Raga yang berdiri sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Memandang datar kepadanya. Untuk apa pria itu berdiri di sana?Sementara Lintang, terus saja membawa motornya menuju garasi dan memarkirkannya lebih dulu. “Hari sudah hampir malam, tapi kamu baru pulang.”Lintang langsung berjengit kaget, karena suara Raga tiba-tiba berada di belakangnya. Padahal, ia baru saja menurunkan standar motor, tetapi pria itu sudah berada di garasi, menyusulnya. “Mas!” hardik Lintang spontan berbalik, dan memegangi dadanya. “Jangan ngagetin orang!”“Ini sudah jam berapa?” tanya Raga mengabaikan ocehan Lintang. “Kenapa duluan aku yang sampai rumah?”Mulai … Pria kembali menunjukkan keposesifannya pada Lintang. “Jalanan macet,” ujar Lintang beralasan. Kemudian, ia memilih memasuki rumah melalui pintu garasi belakang. “Aku baru datang, capek, jadi nggak usah ngomel-ngomel!”Raga menarik
“Terserah!”Lintang geregetan. Sudah pasrah dan menyerah, karena tidak mampu menyeret tubuh Raga keluar dari kamarnya. Pada akhirnya, Lintang membiarkan pria itu tidur di kamarnya, tetapi hanya berada di sofa.“Pokoknya, Mas Raga nggak boleh tidur di ranjang!” lanjut Lintang langsung berbalik pergi menuju lemari. Mencari kaos longgar lengan panjang, sebuah jaket, celana pendek, dan sebuah celana panjang. Malam ini, ia akan memakai semua pakaian itu untuk tidur dan menyalakan pendingin ruangan dengan suhu yang paling rendah. Biar saja pria itu kedinginan, dan keluar dari kamar Lintang dengan sendirinya.“Hm.” Raga hanya menggumam. Mengambil satu buah bantal dari tempat tidur Lintang, kemudian meletakkannya di ujung sofa. Satu yang Raga lupa, sofa di kamar Lintang hanya terdiri dari dua seater. Tidak seperti di kamar Raga, yang ukurannya lebih panjang. Tentu saja sofa tersebut tidak akan mampu menampung tubuh Raga dengan sempurna.Saat melihat Lintang pergi menuju kamar mandi, Raga bera
Retno menendang pelan kaki Ario di bawah meja makan, ketika melihat Raga datang dengan wajah semringah, tidak seperti biasanya. Semalam, Retno sempat mendengar sedikit keributan di luar kamar. Meskipun tidak lama, tetapi Retno yakin suara tersebut adalah milik Raga serta Lintang. Karena tidak ingin ikut campur, dan keributan tersebut juga tidak terlalu lama, maka Retno mengurungkan niat untuk keluar kamar. Membiarkan kedua orang itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Ario menyematkan senyum miring. “Habis menang tender, Ga?” “Lebih dari tender,” Raga menarik kursi, tetapi belum mendudukinya. Ia melihat kursi yang biasa digunakan Rama masih kosong, begitu pula dengan milik Lintang. Kedua orang itu pasti masih sibuk di kamar membicarakan banyak hal, seperti biasa. Raga jadi bingung sendiri, mengapa Lintang dan putranya memiliki begitu banyak hal untuk dibicarakan. “Lebih dari tender?” celetuk Safir bingung. Memangnya, hal apa yang lebih membahagiakan dari mendapat sebuah tender? “Emang
“Kenapa, harus ada guling di antara kita?” Raga memiringkan tubuh. Menyangga kepala dengan satu tangan, yang bertumpu pada bantal. Padahal, Raga sudah menyingkirkan guling tersebut, dengan melemparnya di sofa. Namun, saat Lintang keluar dari kamar mandi, gadis itu mengambilnya kembali dan meletakkan tepat di tengah-tengah mereka. “Nggak usah pura-pura nggak tahu.” Lintang menyatukan kedua tangan di atas perut, dan menatap langit-langit kamar dengan banyak pikiran. Berusaha untuk tidak tertidur lebih dulu, agar ia bisa berpindah tempat. Rencana yang ada di kepala ialah, Lintang akan pindah ke sofa, atau pergi ke kamar Rama. Raga menghela panjang, lalu berbaring seperti Lintang. Menumpuk kedua tangan di atas perut, dan berdiam diri. Bila seperti ini terus, maka hubungan mereka tidak akan ada kemajuan sama sekali. “Mas.” “Hm?” Raga menoleh, tetapi gadis itu tetap pada posisinya. “Fayra,” kata Lintang teringat akan sesuatu yang pernah diucapkan Rama. “Kenapa Fayra suka minta uang ke k
Belum ada satu minggu menikah dengan Lintang, tetapi Raga sudah uring-uringan. Ia memikirkan banyak cara, agar Lintang tidak lagi bekerja dan hanya mengurus toko bukunya saja. Dengan begitu, Raga bisa meminta istrinya datang ke kantor kapan saja, karena Lintang tidak akan beralasan sibuk bekerja di lapangan. Karena itulah, kesibukan Raga menjadi dua kali lipat dari biasanya. Karena selain mengurus masalah kantor, ia juga harus mencari ruko atau tempat, yang sekiranya cocok untuk Lintang. Bila tidak sesuai dengan kehendak sang istri, jelas Raga harus kembali mencarinya. Namun, satu yang menjadi masalah bagi Raga hingga saat ini. Yaitu, Lintang tidak mau keluar dari kediaman Sailendra. Sepertinya, masih ada rasa trauma yang melekat di hati Lintang, sehingga ia tidak mau pindah dan tinggal dengan Raga seperti dulu. “Aku sudah dapatin ruko, yang dekat dari sini.” Raga masuk ke kamar Lintang, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Masih dengan pakaian kerjanya, dengan dasi yang sudah ia
Licik. Pria itu benar-benar licik. Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Raga akhirnya berhasil menembus pertahanan Lintang. Pria itu tahu benar kapan harus berhenti, dan kapan waktu yang tepat untuk melanjutkan permainannya. Lintang sampai tidak punya waktu untuk berpikir, karena sentuhan Raga sudah lebih dulu memenuhi setiap setiap sel saraf yang ada pada tubuhnya. “Makasih,” ucap Raga setelah memberi satu kecupan pada puncak kepala Lintang. Senyum Raga mengembang lebar, karena semua yang direncanakannya benar-benar berjalan sempurna. Akhirnya, malam itu Lintang sudah menjadi milik Raga seutuhnya. Tanpa hambatan, tanpa keraguan. Sementara Lintang, masih tidak mengerti harus memberi respons seperti apa. Ada sesal yang menyelinap, tetapi semua itu tertutupi dengan sikap manis Raga. Ia merasa bodoh, karena telah jatuh dengan mudahnya ke dalam pelukan pria itu. Bisa-bisanya Lintang tidak menolak dengan semua sentuhan Raga, dan membiarkan pria itu melakukan apa pun dengan dirinya.