“Mas Raga?”Tangan Raga baru saja terangkat untuk mengetuk pintu kamar Lintang, tetapi gadis itu sudah lebih dulu membukanya. Menatap datar, tanpa menunjukkan keramahan sama sekali. “Ngapain?” Lintang menutup pintu kamar, lalu berlalu begitu saja. “Cincin nikah,” ujar Raga segera menyusul Lintang yang berjalan menuju tangga. Menyamakan langkahnya, lalu menuruni anak tangga bersama-sama. “Aku mau ajak kamu beli cincin nikah yang baru, karena yang lama waktu itu punyanya Safir sama Biya.”“Nggak bisa,” tolak Lintang lalu tersenyum melihat Rama, yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ada Eni yang segera mengangguk sopan, lalu pergi lebih dulu dengan membawa tas sekolah bocah itu. “Aku, kerja hari ini. Mas Raga, kan, juga kerja.”“Kita jalan pas makan siang, Lin.”“Waktunya sempit,” ujar Lintang kembali memberi alasan penolakan. “Kantor Mas Raga di mana, kantorku di mana. Jauh!”Tenang … sabar …Raga tidak boleh emosi, karena sang istri tidak mengacuhkannya.“Ganteng banget, siiih,”
Lintang langsung menghela besar, saat baru saja masuk melewati pintu pagar. Di teras rumah, sudah ada Raga yang berdiri sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Memandang datar kepadanya. Untuk apa pria itu berdiri di sana?Sementara Lintang, terus saja membawa motornya menuju garasi dan memarkirkannya lebih dulu. “Hari sudah hampir malam, tapi kamu baru pulang.”Lintang langsung berjengit kaget, karena suara Raga tiba-tiba berada di belakangnya. Padahal, ia baru saja menurunkan standar motor, tetapi pria itu sudah berada di garasi, menyusulnya. “Mas!” hardik Lintang spontan berbalik, dan memegangi dadanya. “Jangan ngagetin orang!”“Ini sudah jam berapa?” tanya Raga mengabaikan ocehan Lintang. “Kenapa duluan aku yang sampai rumah?”Mulai … Pria kembali menunjukkan keposesifannya pada Lintang. “Jalanan macet,” ujar Lintang beralasan. Kemudian, ia memilih memasuki rumah melalui pintu garasi belakang. “Aku baru datang, capek, jadi nggak usah ngomel-ngomel!”Raga menarik
“Terserah!”Lintang geregetan. Sudah pasrah dan menyerah, karena tidak mampu menyeret tubuh Raga keluar dari kamarnya. Pada akhirnya, Lintang membiarkan pria itu tidur di kamarnya, tetapi hanya berada di sofa.“Pokoknya, Mas Raga nggak boleh tidur di ranjang!” lanjut Lintang langsung berbalik pergi menuju lemari. Mencari kaos longgar lengan panjang, sebuah jaket, celana pendek, dan sebuah celana panjang. Malam ini, ia akan memakai semua pakaian itu untuk tidur dan menyalakan pendingin ruangan dengan suhu yang paling rendah. Biar saja pria itu kedinginan, dan keluar dari kamar Lintang dengan sendirinya.“Hm.” Raga hanya menggumam. Mengambil satu buah bantal dari tempat tidur Lintang, kemudian meletakkannya di ujung sofa. Satu yang Raga lupa, sofa di kamar Lintang hanya terdiri dari dua seater. Tidak seperti di kamar Raga, yang ukurannya lebih panjang. Tentu saja sofa tersebut tidak akan mampu menampung tubuh Raga dengan sempurna.Saat melihat Lintang pergi menuju kamar mandi, Raga bera
Retno menendang pelan kaki Ario di bawah meja makan, ketika melihat Raga datang dengan wajah semringah, tidak seperti biasanya. Semalam, Retno sempat mendengar sedikit keributan di luar kamar. Meskipun tidak lama, tetapi Retno yakin suara tersebut adalah milik Raga serta Lintang. Karena tidak ingin ikut campur, dan keributan tersebut juga tidak terlalu lama, maka Retno mengurungkan niat untuk keluar kamar. Membiarkan kedua orang itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Ario menyematkan senyum miring. “Habis menang tender, Ga?” “Lebih dari tender,” Raga menarik kursi, tetapi belum mendudukinya. Ia melihat kursi yang biasa digunakan Rama masih kosong, begitu pula dengan milik Lintang. Kedua orang itu pasti masih sibuk di kamar membicarakan banyak hal, seperti biasa. Raga jadi bingung sendiri, mengapa Lintang dan putranya memiliki begitu banyak hal untuk dibicarakan. “Lebih dari tender?” celetuk Safir bingung. Memangnya, hal apa yang lebih membahagiakan dari mendapat sebuah tender? “Emang
“Kenapa, harus ada guling di antara kita?” Raga memiringkan tubuh. Menyangga kepala dengan satu tangan, yang bertumpu pada bantal. Padahal, Raga sudah menyingkirkan guling tersebut, dengan melemparnya di sofa. Namun, saat Lintang keluar dari kamar mandi, gadis itu mengambilnya kembali dan meletakkan tepat di tengah-tengah mereka. “Nggak usah pura-pura nggak tahu.” Lintang menyatukan kedua tangan di atas perut, dan menatap langit-langit kamar dengan banyak pikiran. Berusaha untuk tidak tertidur lebih dulu, agar ia bisa berpindah tempat. Rencana yang ada di kepala ialah, Lintang akan pindah ke sofa, atau pergi ke kamar Rama. Raga menghela panjang, lalu berbaring seperti Lintang. Menumpuk kedua tangan di atas perut, dan berdiam diri. Bila seperti ini terus, maka hubungan mereka tidak akan ada kemajuan sama sekali. “Mas.” “Hm?” Raga menoleh, tetapi gadis itu tetap pada posisinya. “Fayra,” kata Lintang teringat akan sesuatu yang pernah diucapkan Rama. “Kenapa Fayra suka minta uang ke k
Belum ada satu minggu menikah dengan Lintang, tetapi Raga sudah uring-uringan. Ia memikirkan banyak cara, agar Lintang tidak lagi bekerja dan hanya mengurus toko bukunya saja. Dengan begitu, Raga bisa meminta istrinya datang ke kantor kapan saja, karena Lintang tidak akan beralasan sibuk bekerja di lapangan. Karena itulah, kesibukan Raga menjadi dua kali lipat dari biasanya. Karena selain mengurus masalah kantor, ia juga harus mencari ruko atau tempat, yang sekiranya cocok untuk Lintang. Bila tidak sesuai dengan kehendak sang istri, jelas Raga harus kembali mencarinya. Namun, satu yang menjadi masalah bagi Raga hingga saat ini. Yaitu, Lintang tidak mau keluar dari kediaman Sailendra. Sepertinya, masih ada rasa trauma yang melekat di hati Lintang, sehingga ia tidak mau pindah dan tinggal dengan Raga seperti dulu. “Aku sudah dapatin ruko, yang dekat dari sini.” Raga masuk ke kamar Lintang, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Masih dengan pakaian kerjanya, dengan dasi yang sudah ia
Licik. Pria itu benar-benar licik. Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Raga akhirnya berhasil menembus pertahanan Lintang. Pria itu tahu benar kapan harus berhenti, dan kapan waktu yang tepat untuk melanjutkan permainannya. Lintang sampai tidak punya waktu untuk berpikir, karena sentuhan Raga sudah lebih dulu memenuhi setiap setiap sel saraf yang ada pada tubuhnya. “Makasih,” ucap Raga setelah memberi satu kecupan pada puncak kepala Lintang. Senyum Raga mengembang lebar, karena semua yang direncanakannya benar-benar berjalan sempurna. Akhirnya, malam itu Lintang sudah menjadi milik Raga seutuhnya. Tanpa hambatan, tanpa keraguan. Sementara Lintang, masih tidak mengerti harus memberi respons seperti apa. Ada sesal yang menyelinap, tetapi semua itu tertutupi dengan sikap manis Raga. Ia merasa bodoh, karena telah jatuh dengan mudahnya ke dalam pelukan pria itu. Bisa-bisanya Lintang tidak menolak dengan semua sentuhan Raga, dan membiarkan pria itu melakukan apa pun dengan dirinya.
“Katanya sebentar!” Lintang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dengan terburu. Karena ulah Raga, akhirnya ia harus mengirim pesan pada supervisornya dan izin terlambat karena ada urusan keluarga. “Aku nggak mau lagi, ya, diajak begitu-gitu di jam mau berangkat kerja! Jadi bohong, kan, akunya!” “Jadi, kapan mau lihat ruko?” Kembali, rencana Raga berjalan sempurna. Lintang akan terlambat kerja, dan hal ini akan ia lakukan terus-menerus sampai istrinya itu menyerah, dan berhenti bekerja. Lebih baik membuka usaha sendiri, atau, tidak usah buka usaha saja sekalian. Biar saja Lintang berada di rumah dan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Hanya mengurus Raga, Rama dan anak-anak mereka nantinya. “Maaas, kalau aku ngomong itu didengar.” “Aku dengar.” Raga menahan tawa, saat melihat Lintang menarik resleting ranselnya dengan cemberut. “Dijawab kalau dengar.” “Kamu sudah tahu, apa yang aku mau,” jawab Raga sambil meraih tas yang hendak diangkat Lintang. “Kita lihat ruko, cocok, bayar
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida