“Bapak yakin Lintang bakal datang ke sini?” Raga skeptis akan informasi yang didapat Aris dari pengacara Lintang tempo hari. Di hari persidangan, Raga sengaja datang lebih awal ke pengadilan, agar bisa bertemu dan bicara lebih dulu dengan Lintang. Namun, sampai 15 menit sidang akan digelar, Lintang dan pengacaranya belum juga muncul di hadapan. “Yakin.” Aris yang masih duduk dengan Raga di salah satu koridor, mengangguk menegaskan. “Tapi Mas, pak Yadi sudah bilang, mbak Lintang nggak mau ada mediasi, atau …” Aris berdiri, ketika melihat pria yang baru saja dibicarakan berbelok menuju koridor, dan berjalan ke arah mereka. Pandangan Aris lantas memicing, saat melihat ada Anwar yang menyusul, lalu mensejajarkan langkah dengan Yadi, pengacara Lintang. Tidak hanya itu, Aris benar-benar dibuat terkejut saat melihat satu pengacara lagi yang berjalan santai di belakang Anwar, sembari membaca sebuah berkas. Namun, tidak ada sosok Lintang bersama mereka. “Sepertinya pak Anwar bawa satu penga
“Maaf, tadi siang Bapak ada urusan mendadak.” Anwar segera beranjak dari kursinya, untuk menghampiri Lintang yang baru masuk ke ruang kerjanya. Gadis itu, kembali mendatangi kantor Anwar sore harinya untuk membicarakan sesuatu. “Duduk dulu.” Lintang mengangguk, kemudian menjatuhkan tubuhnya dengan perlahan pada sofa yang sama ketika ia datang tempo hari. “Aku sudah bicara sama pak Yadi di telepon. Beliau bilang, Bapak yang minta pak Maha untuk—” “Pengacaramu sudah melakukan “negosiasi” dengan Aris, pengacaranya Raga,” putus Anwar cepat, agar Lintang tidak salah paham. “Makanya, proses perceraianmu masih menggantung sampai sekarang. Karena itu, papa minta Maha membereskan semuanya, karena dia nggak akan melakukan negosiasi apa pun dengan pihak Raga.” “Oh …” Lintang melepas ucapannya dengan helaan panjang. Merasa bersalah karena tidak mengacuhkan Maha siang tadi. Rupa-rupanya, pria itu diutus Anwar untuk mempercepat proses perceraian Lintang yang sudah terhambat karena ulah Raga. “Jad
“Mas … Raga.” Lintang mundur satu langkah. Tidak pernah menduga akan bertemu pria itu, di kantor Anwar seperti sekarang. Sejauh ini, Lintang sudah menyembunyikan diri. Ia tidak pergi ke mana pun, agar tidak bertemu dengan Raga secara kebetulan, seperti di toko buku tempo hari. “Lin …” Raga tidak jadi melangkah ke dalam lift dan melanjutkan ucapannya, karena Maha tiba-tiba menghalangi jalannya. “Saya mau bicara dengan Lintang.” “Tapi klien saya tidak mau bicara dengan Anda,” balas Maha formal. “Lintang.” Raga memanggil tanpa memedulikan Maha. Dari balik bahu pria itu, Raga bisa melihat kepala Lintang yang tidak ingin menampakkan diri. Gadis itu benar-benar menghindarinya dan tampak enggan melihat Raga sama sekali. “Ayo bicara sebentar.” “Pak Raga, liftnya mau dipakai orang lain, tolong pergi karena kami mau keluar,” pinta Maha masih berusaha sopan sembari menahan pintu lift agar tidak tertutup. Ia sadar saat ini masih berada di dalam lingkup perusahaan media. Banyak reporter yang m
Maha tersenyum tipis. Merasa puas, saat bisa menghalangi langkah Raga yang tidak bisa menyusul Lintang. “Ada yang mau saya tanyakan, terkait pembicaraan Pak Raga dengan Lintang barusan.” Raga menarik napas panjang sebentar. Menatap tidak suka pada Maha, karena sudah mencampuri urusannya terlalu dalam dengan Lintang. Terlebih lagi, pria itu tidak bisa diajak bekerja sama sehingga proses perceraian Raga akhirnya berjalan sebagaimana mestinya. “Silakan, dan jangan bertele-tele.” “Kenapa rujuk?” tanya Maha bersedekap dan tidak berniat untuk duduk karena tidak ingin berlama-lama. “Karena cintakah? Atau, cuma mau lebih menekan Lintang karena sudah lari dan membuat hubungan dua keluarga putus?” “Bukan dua-duanya,” jawab Raga jujur dan tidak merisaukan Lintang yang sudah pergi dari kafe. Sudah ada seseorang, yang akan mengikuti gadis itu di luar sana dan kali ini Lintang tidak akan lepas dari pantauannya. Tunggu saja. “Kalau begitu, tidak ada alasan untuk rujuk, dan saya akan usahakan kal
“Berengseeek!” Dari kemarin sore, baik hati dan mulut Lintang sibuk mengumpat. Mengeluarkan emosi yang tidak bisa tersalurkan, sampai-sampai ia tidak bisa berkonsentrasi untuk merekap pemasukan toko onlinenya pada hari itu. Pagi ini pun, Lintang tidak mood pergi ke mana pun untuk membeli sarapan. Mi instan dan telur yang ada di dapur pun, tidak berniat untuk di masaknya sama sekali, karena rasa lapar itu seolah tenggelam dalam kekesalannya. Lintang yang sedari tadi masih berbaring dan belum beranjak ke mana pun, tiba-tiba menutup wajahnya dengan bantal. Ia mencoba menggeram, berteriak sekencang mungkin agar bisa melegakan perasaannya. Namun, tetap saja perbuatannya itu sia-sia. Rasa kesal di hati Lintang masih belum bisa pergi juga. Tok tok Pasti Intan, tebak Lintang segera bangkit dan beranjak pergi membukakan pintu. Gadis itu mungkin hendak mengajaknya sarapan di luar, atau memasak mi instan di dapurnya seperti biasa bila tidak ada jam kuliah pagi. Akan tetapi, alangkah terkej
“Tante, buburku nggak habis, tapi aku sudah kenyang.”Mendengar hal tersebut, Lintang segera menjaga jarak dengan Raga. Segera mengubah wajah marahnya dengan tersenyum manis. Tidak mungkin Lintang akan marah-marah di depan bocah, yang tidak ada urusannya dengan masalah mereka.“Masih banyak, apa tinggal dikit?” Lintang menjatuhkan bokongnya di lantai teras. Bersila, kemudian bersandar pasrah pada dinding tembok di belakangnya. Ia hanya perlu bersabar, hingga dua minggu ke depan. Setelah kesaksiannya nanti, Lintang yakin hakim akan segera memberi putusan atas perceraiannya dengan Raga.“Tinggal dikiiit,” ujar Rama lalu menghampiri Lintang dan duduk di pangkuan gadis itu.Sedangkan Raga, akhirnya ikut duduk di lantai teras dan ia mengambil posisi tepat di samping Lintang. Gadis itu pasti tidak bisa bergeser ke mana pun, karena ada Rama di pangkuan.“Mas.” Lintang tidak bisa mengeraskan suaranya untuk protes pada Raga, karena ada Rama. “Masih banyak tempat kosong, kenapa duduk di situ.”
“Sekali lagi, makasih,” ucap Lintang pada Maha yang sudah berada di atas motor sportnya dan tengah memakai sarung tangan. “Harusnya, nggak perlu sampai repot datang ke sini. Aku cuma mau—" “Santai, Lin.” Maha tersenyum miring melihat Raga yang berdiri di belakang Lintang. Karena sudah ada sedikit kesepakatan yang bisa sejalan, maka Maha memutuskan untuk pergi dari rumah Lintang. Bukannya tidak ingin berlama-lama, tetapi ada sidang yang harus dihadiri Maha dua jam lagi. “Aku jadi punya alasan buat ke sini, kan?” “Dasar berengsek,” maki Lintang, tetapi hanya di dalam hati, sementara bibirnya mengukir senyum kecil di depan Maha. “Ya, udah, hati-hati di jalan.” “Oke!” Maha memakai helm, lalu menstarter motornya. Sebelum, ia menarik gas untuk meninggalkan Lintang, Maha dengan sengaja mengulurkan tangan untuk mengacak-acak puncak kepala gadis itu. Senang sekali rasanya bisa melihat ekspresi kesal Raga. “Nanti aku ke sini lagi, see ya!” Lintang yang terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Mah
“Itu … uang Mas Raga yang tiap bulan ditransfer ke rekeningku.” Lintang memberi senyum datar pada Raga. Karena masih memendam kesal dan sedikit emosi, akhirnya Lintang mengungkapkan hal tersebut begitu saja. Harusnya, Lintang bisa menguasai diri dan tetap tenang sehingga semua itu tertutup rapat-rapat. “Ha? Jadi, sela—” “Nggak usah protes.” Lintang berdehem. Berusaha mengembalikan keangkuhannya di depan Raga. Ia tidak ingin terlihat lemah dan harus tetap tenang. “Itu hakku selama kita nikah, kan? Jadi, sah-sah aja kalau aku pake buat nyambung hidup. Situ sendiri yang dari awal ngelarang aku ini itu, jadi, ya, sudah! Jangan sekali-kali ungkit-ungkit uang yang sudah Mas Raga transfer ke rekeningku. Itu sama aja Mas Raga ngejilat ludah sendiri. Ngerti, kan, maksudnya?” “Kalau ada hak, berarti ad—” “Nggak usah ngomong masalah kewajiban.” Lintang sudah bisa menebak ke mana arah ucapan Raga. “Selama aku nikah sama Mas Raga, aku sudah berusaha nurut. Aku juga nggak pernah macam-macam di l
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida