“Tante, buburku nggak habis, tapi aku sudah kenyang.”Mendengar hal tersebut, Lintang segera menjaga jarak dengan Raga. Segera mengubah wajah marahnya dengan tersenyum manis. Tidak mungkin Lintang akan marah-marah di depan bocah, yang tidak ada urusannya dengan masalah mereka.“Masih banyak, apa tinggal dikit?” Lintang menjatuhkan bokongnya di lantai teras. Bersila, kemudian bersandar pasrah pada dinding tembok di belakangnya. Ia hanya perlu bersabar, hingga dua minggu ke depan. Setelah kesaksiannya nanti, Lintang yakin hakim akan segera memberi putusan atas perceraiannya dengan Raga.“Tinggal dikiiit,” ujar Rama lalu menghampiri Lintang dan duduk di pangkuan gadis itu.Sedangkan Raga, akhirnya ikut duduk di lantai teras dan ia mengambil posisi tepat di samping Lintang. Gadis itu pasti tidak bisa bergeser ke mana pun, karena ada Rama di pangkuan.“Mas.” Lintang tidak bisa mengeraskan suaranya untuk protes pada Raga, karena ada Rama. “Masih banyak tempat kosong, kenapa duduk di situ.”
“Sekali lagi, makasih,” ucap Lintang pada Maha yang sudah berada di atas motor sportnya dan tengah memakai sarung tangan. “Harusnya, nggak perlu sampai repot datang ke sini. Aku cuma mau—" “Santai, Lin.” Maha tersenyum miring melihat Raga yang berdiri di belakang Lintang. Karena sudah ada sedikit kesepakatan yang bisa sejalan, maka Maha memutuskan untuk pergi dari rumah Lintang. Bukannya tidak ingin berlama-lama, tetapi ada sidang yang harus dihadiri Maha dua jam lagi. “Aku jadi punya alasan buat ke sini, kan?” “Dasar berengsek,” maki Lintang, tetapi hanya di dalam hati, sementara bibirnya mengukir senyum kecil di depan Maha. “Ya, udah, hati-hati di jalan.” “Oke!” Maha memakai helm, lalu menstarter motornya. Sebelum, ia menarik gas untuk meninggalkan Lintang, Maha dengan sengaja mengulurkan tangan untuk mengacak-acak puncak kepala gadis itu. Senang sekali rasanya bisa melihat ekspresi kesal Raga. “Nanti aku ke sini lagi, see ya!” Lintang yang terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Mah
“Itu … uang Mas Raga yang tiap bulan ditransfer ke rekeningku.” Lintang memberi senyum datar pada Raga. Karena masih memendam kesal dan sedikit emosi, akhirnya Lintang mengungkapkan hal tersebut begitu saja. Harusnya, Lintang bisa menguasai diri dan tetap tenang sehingga semua itu tertutup rapat-rapat. “Ha? Jadi, sela—” “Nggak usah protes.” Lintang berdehem. Berusaha mengembalikan keangkuhannya di depan Raga. Ia tidak ingin terlihat lemah dan harus tetap tenang. “Itu hakku selama kita nikah, kan? Jadi, sah-sah aja kalau aku pake buat nyambung hidup. Situ sendiri yang dari awal ngelarang aku ini itu, jadi, ya, sudah! Jangan sekali-kali ungkit-ungkit uang yang sudah Mas Raga transfer ke rekeningku. Itu sama aja Mas Raga ngejilat ludah sendiri. Ngerti, kan, maksudnya?” “Kalau ada hak, berarti ad—” “Nggak usah ngomong masalah kewajiban.” Lintang sudah bisa menebak ke mana arah ucapan Raga. “Selama aku nikah sama Mas Raga, aku sudah berusaha nurut. Aku juga nggak pernah macam-macam di l
Lintang sudah benar-benar menutup telinga dengan gosip yang beredar di lingkungan sekitar. Ia juga tidak peduli bila para tetangga mencapnya sebagai istri yang tidak tahu diuntung, karena sudah memiliki suami seperti Raga. Bahkan, Lintang juga mendengar gosip dirinya berselingkuh dengan Maha. Karena itulah, Lintang memilih kabur dari Raga agar bisa lebih bebas menjalin hubungan dengan Maha.Ada-ada saja.Padahal, selain Maha masih ada beberapa pria yang kerap datang ke rumah Lintang untuk mengantarkan buku-buku, sekaligus bercengkrama. Namun, Lintang tidak pernah sekalipun digosipkan dengan mereka semua.Karena gosip tersebut jualah, Lintang semakin yakin untuk pindah dari tempatnya yang sekarang. Hanya tinggal menunggu ada yang menggantikannya mengontrak rumah, barulah Lintang pindah dari tempat tersebut. Untuk sementara, buku-buku yang ada akan Lintang titipkan di rumah Intan, bila Lintang belum mendapatkan tempat tinggal yang cocok.“Serius Mbak Lintang nggak ada hubungan sama pak
“Tapi, Mbak.” Suara Intan berbisik, karena khawatir akan terdengar Maha atau Raga yang sedang berada di teras rumah. Sementara Rama, seperti biasa sedang sibuk bermain dengan mobil remote controlnya, di ruang tamu Lintang. “Kalau kamu jalan sama bapak pengacara itu, tetangga pasti tambah julid. Omongannya pasti tambah lebar ke mana-mana. Apalagi kalian pergi naik motor gituan. Belum lagi, kalau pacarnya si bapak itu tahu, terus datang ke sini buat ngelabrak Mbak Lintang. Kan, tambah runyam.” Benar juga. Kenapa Lintang tidak berpikir sampai ke sana? “Beda cerita kalau kamu jalan sama mas Raga, Mbak,” sambung Intan mengeluarkan pendapatnya, karena sudah hafal dengan sikap ibu-ibu yang tinggal di sekitar lingkungan tersebut. “Meskipun tetap ada yang julid, tapi nggak akan ada yang mikir terlalu ekstrem. Seperti, Mbak Lintang pasti nanti langsung dicap cewek nggak benerlah, cewek gampangan atau … macam-macam.” Tubuh Lintang lantas merosot dengan helaan besar. Terduduk di tepi kasur sam
“Sorry, mendadak aku harus lihat rumah karena aku ada rencana pindah.” Cukup sederet kalimat tersebut yang dikirimkan Lintang pada Maha, sesaat sebelum ia menaiki ojek online yang sudah dipesan. Lintang hampir saja lupa bahwasanya ia juga memiliki rumah dari mendiang ibunya. Untuk itu, sepertinya Lintang tidak perlu mencari rumah lain lagi karena ia tidak perlu lagi bersembunyi dari Raga. Namun, kali ini Lintang tidak langsung pergi menuju rumah tersebut. Lintang akan pergi ke kantor lamanya untuk menemui Eza. Rencananya, Lintang akan meminta bantuan pada pria untuk mencarikan orang sekaligus kendaraan untuk membantunya pindah rumah. Sesampainya di kantor, Lintang menunggu Eza di lobi karena pria itu masih melakukan stok opname di akhir bulan seperti sekarang. Biasanya, para sales dan bagian administrasinya akan pulang lebih larut untuk menyelesaikan pengecekan tersebut. “Lintang …” Suara yang sudah sangat Lintang hafal, membuatnya segera mendongak lalu berdiri dari tempatnya. Seny
Sejak kemarin, Lintang sudah menonaktifkan nomor ponselnya. Ia menghindari telepon dan pesan dari Fajar, Maha, maupun Raga. Tidak hanya itu, Lintang juga tidak berada di rumah kontrakannya. Ia memilih untuk menginap di rumah mendiang sang ibu dan membersihkan seluruh ruangan untuk ditempati dalam waktu dekat. Lintang sudah muak melihat Raga dan Maha yang selalu saja berada di rumah kontrakannya, karena itulah ia mencari ketenangan di tempat yang lain.Masalah rumah kontrakan saat ini, untuk sementara akan Lintang biarkan begitu saja sampai ada orang yang ingin mengambil alih. Jika tidak, Lintang juga tidak akan rugi apa-apa, karena uang yang ia gunakan adalah milik Raga.Saat sudah berada di pengadilan, barulah Lintang mengaktifkan ponselnya, tetapi tidak berminat untuk melihat semua notifikasi yang masuk ke dalamnya. Bahkan, Lintang menutup toko buku online yang yang berada di beberapa marketplace, agar tidak memiliki tanggung jawab bila ada orderan yang masuk.“Lintang, kenapa aku n
“Oh, aku lagi istirahat. Nggak enak badan,” ujar Lintang beralasan sambil memasukkan stok buku-buku yang masih berada di kamarnya ke kardus. “Makanya hape nggak aku aktifin. Toko di marketplace aja aku tutup, Za.”“Nggak enak badan? Sakit apa?” Eza jadi curiga dengan alasan yang diberikan Lintang. “Aku sampai ke sini sama pak Fajar, karena kamu nggak bisa dihubungi.”“Mas Fajar … ke sini?” Lintang menutup kardus yang sudah penuh dengan buku, lalu beristirahat sejenak. Mengingat Fajar, jelas saja Lintang juga mengingat seorang wanita yang menggandeng lengan pria itu, Celline. Ia pun tidak perlu menjelaskan terlalu panjang, mengenai alasan sakit yang diberikannya barusan. “Mau apa?”Eza mengendik. Menutup buku catatannya, lalu memasukkan ke dalam tas ransel. “Dia cuma bilang ada yang mau diobrolin sebelum balik ke Surabaya.”“Aku lagi di rumah almarhum ibu, yang mau aku pindahin sekarang ini.” Menurut Lintang, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Fajar. Karena itulah, sampai det
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida