“Sekali lagi, makasih,” ucap Lintang pada Maha yang sudah berada di atas motor sportnya dan tengah memakai sarung tangan. “Harusnya, nggak perlu sampai repot datang ke sini. Aku cuma mau—" “Santai, Lin.” Maha tersenyum miring melihat Raga yang berdiri di belakang Lintang. Karena sudah ada sedikit kesepakatan yang bisa sejalan, maka Maha memutuskan untuk pergi dari rumah Lintang. Bukannya tidak ingin berlama-lama, tetapi ada sidang yang harus dihadiri Maha dua jam lagi. “Aku jadi punya alasan buat ke sini, kan?” “Dasar berengsek,” maki Lintang, tetapi hanya di dalam hati, sementara bibirnya mengukir senyum kecil di depan Maha. “Ya, udah, hati-hati di jalan.” “Oke!” Maha memakai helm, lalu menstarter motornya. Sebelum, ia menarik gas untuk meninggalkan Lintang, Maha dengan sengaja mengulurkan tangan untuk mengacak-acak puncak kepala gadis itu. Senang sekali rasanya bisa melihat ekspresi kesal Raga. “Nanti aku ke sini lagi, see ya!” Lintang yang terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Mah
“Itu … uang Mas Raga yang tiap bulan ditransfer ke rekeningku.” Lintang memberi senyum datar pada Raga. Karena masih memendam kesal dan sedikit emosi, akhirnya Lintang mengungkapkan hal tersebut begitu saja. Harusnya, Lintang bisa menguasai diri dan tetap tenang sehingga semua itu tertutup rapat-rapat. “Ha? Jadi, sela—” “Nggak usah protes.” Lintang berdehem. Berusaha mengembalikan keangkuhannya di depan Raga. Ia tidak ingin terlihat lemah dan harus tetap tenang. “Itu hakku selama kita nikah, kan? Jadi, sah-sah aja kalau aku pake buat nyambung hidup. Situ sendiri yang dari awal ngelarang aku ini itu, jadi, ya, sudah! Jangan sekali-kali ungkit-ungkit uang yang sudah Mas Raga transfer ke rekeningku. Itu sama aja Mas Raga ngejilat ludah sendiri. Ngerti, kan, maksudnya?” “Kalau ada hak, berarti ad—” “Nggak usah ngomong masalah kewajiban.” Lintang sudah bisa menebak ke mana arah ucapan Raga. “Selama aku nikah sama Mas Raga, aku sudah berusaha nurut. Aku juga nggak pernah macam-macam di l
Lintang sudah benar-benar menutup telinga dengan gosip yang beredar di lingkungan sekitar. Ia juga tidak peduli bila para tetangga mencapnya sebagai istri yang tidak tahu diuntung, karena sudah memiliki suami seperti Raga. Bahkan, Lintang juga mendengar gosip dirinya berselingkuh dengan Maha. Karena itulah, Lintang memilih kabur dari Raga agar bisa lebih bebas menjalin hubungan dengan Maha.Ada-ada saja.Padahal, selain Maha masih ada beberapa pria yang kerap datang ke rumah Lintang untuk mengantarkan buku-buku, sekaligus bercengkrama. Namun, Lintang tidak pernah sekalipun digosipkan dengan mereka semua.Karena gosip tersebut jualah, Lintang semakin yakin untuk pindah dari tempatnya yang sekarang. Hanya tinggal menunggu ada yang menggantikannya mengontrak rumah, barulah Lintang pindah dari tempat tersebut. Untuk sementara, buku-buku yang ada akan Lintang titipkan di rumah Intan, bila Lintang belum mendapatkan tempat tinggal yang cocok.“Serius Mbak Lintang nggak ada hubungan sama pak
“Tapi, Mbak.” Suara Intan berbisik, karena khawatir akan terdengar Maha atau Raga yang sedang berada di teras rumah. Sementara Rama, seperti biasa sedang sibuk bermain dengan mobil remote controlnya, di ruang tamu Lintang. “Kalau kamu jalan sama bapak pengacara itu, tetangga pasti tambah julid. Omongannya pasti tambah lebar ke mana-mana. Apalagi kalian pergi naik motor gituan. Belum lagi, kalau pacarnya si bapak itu tahu, terus datang ke sini buat ngelabrak Mbak Lintang. Kan, tambah runyam.” Benar juga. Kenapa Lintang tidak berpikir sampai ke sana? “Beda cerita kalau kamu jalan sama mas Raga, Mbak,” sambung Intan mengeluarkan pendapatnya, karena sudah hafal dengan sikap ibu-ibu yang tinggal di sekitar lingkungan tersebut. “Meskipun tetap ada yang julid, tapi nggak akan ada yang mikir terlalu ekstrem. Seperti, Mbak Lintang pasti nanti langsung dicap cewek nggak benerlah, cewek gampangan atau … macam-macam.” Tubuh Lintang lantas merosot dengan helaan besar. Terduduk di tepi kasur sam
“Sorry, mendadak aku harus lihat rumah karena aku ada rencana pindah.” Cukup sederet kalimat tersebut yang dikirimkan Lintang pada Maha, sesaat sebelum ia menaiki ojek online yang sudah dipesan. Lintang hampir saja lupa bahwasanya ia juga memiliki rumah dari mendiang ibunya. Untuk itu, sepertinya Lintang tidak perlu mencari rumah lain lagi karena ia tidak perlu lagi bersembunyi dari Raga. Namun, kali ini Lintang tidak langsung pergi menuju rumah tersebut. Lintang akan pergi ke kantor lamanya untuk menemui Eza. Rencananya, Lintang akan meminta bantuan pada pria untuk mencarikan orang sekaligus kendaraan untuk membantunya pindah rumah. Sesampainya di kantor, Lintang menunggu Eza di lobi karena pria itu masih melakukan stok opname di akhir bulan seperti sekarang. Biasanya, para sales dan bagian administrasinya akan pulang lebih larut untuk menyelesaikan pengecekan tersebut. “Lintang …” Suara yang sudah sangat Lintang hafal, membuatnya segera mendongak lalu berdiri dari tempatnya. Seny
Sejak kemarin, Lintang sudah menonaktifkan nomor ponselnya. Ia menghindari telepon dan pesan dari Fajar, Maha, maupun Raga. Tidak hanya itu, Lintang juga tidak berada di rumah kontrakannya. Ia memilih untuk menginap di rumah mendiang sang ibu dan membersihkan seluruh ruangan untuk ditempati dalam waktu dekat. Lintang sudah muak melihat Raga dan Maha yang selalu saja berada di rumah kontrakannya, karena itulah ia mencari ketenangan di tempat yang lain.Masalah rumah kontrakan saat ini, untuk sementara akan Lintang biarkan begitu saja sampai ada orang yang ingin mengambil alih. Jika tidak, Lintang juga tidak akan rugi apa-apa, karena uang yang ia gunakan adalah milik Raga.Saat sudah berada di pengadilan, barulah Lintang mengaktifkan ponselnya, tetapi tidak berminat untuk melihat semua notifikasi yang masuk ke dalamnya. Bahkan, Lintang menutup toko buku online yang yang berada di beberapa marketplace, agar tidak memiliki tanggung jawab bila ada orderan yang masuk.“Lintang, kenapa aku n
“Oh, aku lagi istirahat. Nggak enak badan,” ujar Lintang beralasan sambil memasukkan stok buku-buku yang masih berada di kamarnya ke kardus. “Makanya hape nggak aku aktifin. Toko di marketplace aja aku tutup, Za.”“Nggak enak badan? Sakit apa?” Eza jadi curiga dengan alasan yang diberikan Lintang. “Aku sampai ke sini sama pak Fajar, karena kamu nggak bisa dihubungi.”“Mas Fajar … ke sini?” Lintang menutup kardus yang sudah penuh dengan buku, lalu beristirahat sejenak. Mengingat Fajar, jelas saja Lintang juga mengingat seorang wanita yang menggandeng lengan pria itu, Celline. Ia pun tidak perlu menjelaskan terlalu panjang, mengenai alasan sakit yang diberikannya barusan. “Mau apa?”Eza mengendik. Menutup buku catatannya, lalu memasukkan ke dalam tas ransel. “Dia cuma bilang ada yang mau diobrolin sebelum balik ke Surabaya.”“Aku lagi di rumah almarhum ibu, yang mau aku pindahin sekarang ini.” Menurut Lintang, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Fajar. Karena itulah, sampai det
Sebulan berlalu dari putusan sidang cerai antara Lintang dan Raga. Kehidupan Lintang kini lebih berwarna, karena semua beban sudah benar-benar ia lepas dari pundaknya. Dari masalah keluarga, Raga, Fajar, pun dengan Maha yang terkadang masih menelepon dan mengirimkan pesan yang bertanya mengenai tempat tinggal Lintang saat ini.Tentu saja Lintang tidak akan mau menggubrisnya, karena semua urusan di antara mereka sudah selesai.Lintang pun sudah kembali bekerja di bidang yang sama. Ia kembali menjadi sales buku di distributor berbeda, dan tetap menjalankan toko onlinenya sekaligus.Lelah? Tentu saja. Akan tetapi itulah harga yang harus dibayar bila ingin merubah masa depannya menjadi lebih baik lagi.“Kadang aku mikir, target omsetku tiap bulan terus naik, tapi, minat baca orang dengan buku cetak juga makin berkurang.” Lintang menghela panjang, ketika baru memasuki gedung diadakannya Nasional Book Fair tahunan siang itu. Salah satu event bazar buku terbesar, yang diselenggarakan setiap