“Masuk.”Lintang mengangguk mendengar perintah datar Indri. Melangkah masuk ke ruang VVIP rumah sakit, tempat Anwar di rawat. Andai pria itu tidak memintanya datang, Lintang tidak akan pergi ke rumah sakit meskipun mendengar pria itu jatuh sakit. Memang sekeras itulah, hati Lintang saat ini.Menurut sopir keluarga Dewantara yang menjemput Lintang di rumah, Anwar sudah berada di rumah sakit selama tiga hari. Sepulang dari luar kota, kesehatan Anwar menurun dan harus dilarikan ke rumah sakit dengan segera. Sepertinya, kelelahanlah yang menjadi pemicu hingga pria itu harus mendapatkan perawatan dengan segera.Lintang melihat Biya di sofa. Gadis yang tengah memandang ponselnya itu, melirik datar sekilas pada Lintang. Namun, Lintang tidak mau repot-repot menyapa, apalagi menggubrisnya.Yang jadi tujuan Lintang hanyalah Anwar. Setelah pria itu menyampaikan maksud hatinya, maka Lintang akan segera pulang. Pria itu masih terlihat pucat, tetapi Lintang rasa kondisinya sudah jauh lebih baik.“A
“Sandiwara selesai,” ucap Lintang tidak jauh dari pintu keluar ruang Anwar dirawat. Mempercepat langkahnya, walau terasa percuma karena Maha pasti dengan mudah sejajar dengannya. “Aku tahu, kamu begitu karena ada mas Raga, tapi, sekarang nggak usah akting buat manas-manasin dia. Kami udah cerai, dan nggak perlu yang begitu-begitu lagi.”“Siapa yang akting,” sanggah Maha setelah selesai memasukkan berkas ke tasnya dengan terburu. “Aku beneran mau ngantar kamu, Lin. Aku juga sudah tahu di mana kamu tinggal, dari om Anwar.”“Sekali aja kamu ke rumah, aku bakal pindah lagi.”Maha berhenti sambil meraih siku Lintang, agar gadis itu tidak meneruskan langkahnya. “Hei! Kamu ini kenapa? Semua kebaikan orang terus aja kamu tolak. Om Anwar ngasih saham lima persen karena dia peduli sama kamu, tapi apa balasanmu? Minta cash? Di mana adabmu sebagai anak?”“Sudah?” Lintang menarik tangannya dari cengkraman Maha. Semua yang dikatakan Maha barusan, tidak akan berpengaruh banyak bagi Lintang. Ia sudah
Lintang berdecak. Menutup pintu rumah dengan tendangan pelan. Menguncinya, kemudian berbalik. Ia bersandar pada daun pintu, lalu merosot jatuh. Mendudukkan dirinya di lantai. Seharusnya, hari ini ia tidak perlu bertemu dengan Raga. Namun … Yang membuatnya semakin kesal ialah, saat Lintang menyebutkan alamat tempat tinggalnya, Raga tetap memasang wajah datar. Pria itu berakting seolah-olah tidak pernah tahu di mana rumah Lintang. Padahal, Raga pernah mendatangi rumah Lintang satu kali. Tidak hanya itu, atas permintaan Rama, akhirnya Lintang memberi nomor telepon barunya pada Raga. Lintang benar-benar terjebak, dan kali ini ia tidak mungkin mengganti nomor ponselnya lagi. Seluruh customer barunya sudah mengetahui nomor Lintang, jadi, mau tidak mau ia harus tetap menghadapi kejadian yang tidak terduga di depan sana. Apapun itu. Akan tetapi, baru saja Lintang hendak menyingkirkan semua pikirannya mengenai Raga, ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tidak ada dalam daftar kontaknya men
Kalau sudah begini, bagaimana bisa Lintang menghindari Raga? Pagi-pagi sekali, Lintang pergi ke rumah sakit karena sudah berjanji membawakan bubur ayam untuk sarapan bocah itu pagi ini. Sebelumnya, ia sudah meminta Raga menyuruh seseorang membelinya terlebih dahulu, karena hal tersebut termasuk kewajiban pria itu sebagai seorang ayah. Lintang hanya membantu dan selebihnya tidak ingin ikut campur. “Temui David di lobi, dia sudah beli bubur ayamnya.” Lintang membaca sebuah pesan dari Raga, setelah memarkirkan motornya. Pria itu menyuruh supir pribadinya, untuk membeli bubur ayam permintaan Rama tadi malam. Untuk itu, Lintang bergegas masuk ke lobi rumah sakit, dan mengambil bubur ayam yang berjumlah tiga porsi dari tangan David. “Kok, beli tiga?” tanya Lintang sambil mengangkat kantong kresek bening yang berisi tiga buah tempat bubur. “Disuruhnya tiga, Bu, sama bapak.” “Ya, udah, makasih.” Lintang bergegas pergi ke lantai tempat Rama di rawat, dan segera menuju ke ruang bocah itu.
“Jangan lupa ke rumah sakit, nanti Rama nggak mau makan siang.” Lintang menggeram setelah membaca sebuah pesan dari Raga. Ingin rasanya melempar ponsel di tangan, tetapi kalau rusak, Lintang jelas akan merogoh koceknya dalam-dalam. Bagi Lintang, ponsel seharga satu atau dua juta masih termasuk mahal. Karena itulah, ia harus menjaga dan bertanggung jawab atas barang yang dimiliki. Tidak perlu diingatkan pun, Lintang memang sudah berencana pergi ke rumah sakit. Daripada Rama tidak mau makan, dan pada akhirnya hanya membuat Lintang kepikiran, lebih baik ia mengalah dulu. Tanpa menghubungi Eni terlebih dahulu, Lintang langsung saja pergi ke rumah sakit, dengan membawa satu kotak donat. Tidak hanya itu, Lintang juga membawa dua bungkus mi ayam untuk makan siang bersama Eni. Sementara Rama, nantinya akan Lintang bujuk untuk memakan makanan dari rumah sakit. Setelah mengetuk lalu membuka pintu kamar tempat Rama di rawat, Lintang tidak langsung masuk ke dalam. Ia berdiri di ambang pintu, d
“Lintang datang lagi?” Retno merentangkan satu tangannya, untuk menunjuk kamar rawat inap Rama dari kejauhan. “Kenapa jadi berkelanjutan? Dan kenapa firasat Mama … Ga, kamu itu dari mau rujuk, pindah rumah jadi tetangga Lintang. Terus, sekarang? Apa lagi?” “No comment.” “No comment gimana maksudnya?” tuntut Retno semakin mencurigai sesuatu. “Kamu yang ajak Mama keluar, terus kamu juga yang bilang no comment? Mending Mama masuk lagi ke dalam, di sini panas.” “Ma, Mama.” Raga dengan cepat menghalangi langkah Retno. “Rama itu mulai susah diatur dan nurutnya cuma sama Lintang.” “Rama juga nurut sama Mama,” sanggah Retno. “Kamu aja yang ngada-ngada. Sejak kamu mau rujuk sama Lintang waktu itu, Mama sudah curiga kalau kamu mulai suka sama dia. Ngaku aja, Ga, nggak usah ditutupin.” Raga menggaruk leher dengan decakan kecil. “Mama jangan salah paham dulu. Mama, kan, tahu kenapa aku mau rujuk waktu itu. Jadi, nggak ad—” “Bohong aja terus.” Retno menepuk pelan dada putranya. “Tapi kamu ngg
Begitu pintu lift tertutup, tubuh Lintang spontan merosot lega. Berjongkok, dengan tatapan tertuju pada lantai lift yang terus berjalan turun. Sebenarnya, Lintang tidak ada masalah bicara dengan Raga di tempat yang terbuka, terlebih bila ada orang di sekitar mereka. Namun, saat membayangkan akan berada berdua di dalam lift yang tertutup, ingatan Lintang sontak berlari pada kejadian malam itu. Bagi Lintang, malam itu adalah malam yang sangat mengerikan. Melihat wajah Raga yang penuh amaran, ditambah dengan perlakuan kasarnya kepada Lintang, membuatnya merasa ngeri bila harus berada di satu ruang tertutup bersama pria itu. Saat denting lift berbunyi, Lintang segera bangkit dan bergegas keluar. Menarik napasnya dalam-dalam, lalu mencoba tersenyum untuk membuat mood-nya kembali tenang dan ceria. Saat Lintang sudah berjalan di area lobi, satu panggilan membuatnya menghentak kaki dengan keras lalu berhenti. Lintang berbalik, dan melihat Raga sudah di depan mata dengan terengah-engah. “Ap
“Kalau Rama makan bubur, nanti yang makan makanan rumah sakit siapa?” Pagi itu, Lintang datang lebih awal dan bubur ayam pun sudah tersedia seperti kemarin. Ia kembali menyuapi Rama, yang sudah tidak lagi memakai selang oksigen. Namun, masih ada jarum infus yang terpasang di lengan kiri bocah itu. Paling tidak, keadaan Rama sudah menunjukkan kemajuan. Semalam, Lintang sudah tidak sanggup bila harus pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rama. Karena itu, ia hanya melakukan panggilan video dengan bocah itu, dan bicara panjang lebar sambil menunggu Rama menyelesaikan makan malamnya. “Papa yang makan,” jawab Rama setelah menelan buburnya. Lintang membuka buburnya sendiri, lalu memakannya. Sementara bubur yang satu lagi, sedang disantap Raga di sofa. “Tante, kalau nanti aku sudah pulang, Tante pindah lagi ke rumah oma, ya?” celetuk Rama dengan wajah penuh harap. “Kan, Tante sudah pernah bilang, Tante sekarang sudah punya rumah sendiri,” kata Lintang mengingatkan. “Jadi nggak numpang la
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida