“Jangan lupa ke rumah sakit, nanti Rama nggak mau makan siang.” Lintang menggeram setelah membaca sebuah pesan dari Raga. Ingin rasanya melempar ponsel di tangan, tetapi kalau rusak, Lintang jelas akan merogoh koceknya dalam-dalam. Bagi Lintang, ponsel seharga satu atau dua juta masih termasuk mahal. Karena itulah, ia harus menjaga dan bertanggung jawab atas barang yang dimiliki. Tidak perlu diingatkan pun, Lintang memang sudah berencana pergi ke rumah sakit. Daripada Rama tidak mau makan, dan pada akhirnya hanya membuat Lintang kepikiran, lebih baik ia mengalah dulu. Tanpa menghubungi Eni terlebih dahulu, Lintang langsung saja pergi ke rumah sakit, dengan membawa satu kotak donat. Tidak hanya itu, Lintang juga membawa dua bungkus mi ayam untuk makan siang bersama Eni. Sementara Rama, nantinya akan Lintang bujuk untuk memakan makanan dari rumah sakit. Setelah mengetuk lalu membuka pintu kamar tempat Rama di rawat, Lintang tidak langsung masuk ke dalam. Ia berdiri di ambang pintu, d
“Lintang datang lagi?” Retno merentangkan satu tangannya, untuk menunjuk kamar rawat inap Rama dari kejauhan. “Kenapa jadi berkelanjutan? Dan kenapa firasat Mama … Ga, kamu itu dari mau rujuk, pindah rumah jadi tetangga Lintang. Terus, sekarang? Apa lagi?” “No comment.” “No comment gimana maksudnya?” tuntut Retno semakin mencurigai sesuatu. “Kamu yang ajak Mama keluar, terus kamu juga yang bilang no comment? Mending Mama masuk lagi ke dalam, di sini panas.” “Ma, Mama.” Raga dengan cepat menghalangi langkah Retno. “Rama itu mulai susah diatur dan nurutnya cuma sama Lintang.” “Rama juga nurut sama Mama,” sanggah Retno. “Kamu aja yang ngada-ngada. Sejak kamu mau rujuk sama Lintang waktu itu, Mama sudah curiga kalau kamu mulai suka sama dia. Ngaku aja, Ga, nggak usah ditutupin.” Raga menggaruk leher dengan decakan kecil. “Mama jangan salah paham dulu. Mama, kan, tahu kenapa aku mau rujuk waktu itu. Jadi, nggak ad—” “Bohong aja terus.” Retno menepuk pelan dada putranya. “Tapi kamu ngg
Begitu pintu lift tertutup, tubuh Lintang spontan merosot lega. Berjongkok, dengan tatapan tertuju pada lantai lift yang terus berjalan turun. Sebenarnya, Lintang tidak ada masalah bicara dengan Raga di tempat yang terbuka, terlebih bila ada orang di sekitar mereka. Namun, saat membayangkan akan berada berdua di dalam lift yang tertutup, ingatan Lintang sontak berlari pada kejadian malam itu. Bagi Lintang, malam itu adalah malam yang sangat mengerikan. Melihat wajah Raga yang penuh amaran, ditambah dengan perlakuan kasarnya kepada Lintang, membuatnya merasa ngeri bila harus berada di satu ruang tertutup bersama pria itu. Saat denting lift berbunyi, Lintang segera bangkit dan bergegas keluar. Menarik napasnya dalam-dalam, lalu mencoba tersenyum untuk membuat mood-nya kembali tenang dan ceria. Saat Lintang sudah berjalan di area lobi, satu panggilan membuatnya menghentak kaki dengan keras lalu berhenti. Lintang berbalik, dan melihat Raga sudah di depan mata dengan terengah-engah. “Ap
“Kalau Rama makan bubur, nanti yang makan makanan rumah sakit siapa?” Pagi itu, Lintang datang lebih awal dan bubur ayam pun sudah tersedia seperti kemarin. Ia kembali menyuapi Rama, yang sudah tidak lagi memakai selang oksigen. Namun, masih ada jarum infus yang terpasang di lengan kiri bocah itu. Paling tidak, keadaan Rama sudah menunjukkan kemajuan. Semalam, Lintang sudah tidak sanggup bila harus pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rama. Karena itu, ia hanya melakukan panggilan video dengan bocah itu, dan bicara panjang lebar sambil menunggu Rama menyelesaikan makan malamnya. “Papa yang makan,” jawab Rama setelah menelan buburnya. Lintang membuka buburnya sendiri, lalu memakannya. Sementara bubur yang satu lagi, sedang disantap Raga di sofa. “Tante, kalau nanti aku sudah pulang, Tante pindah lagi ke rumah oma, ya?” celetuk Rama dengan wajah penuh harap. “Kan, Tante sudah pernah bilang, Tante sekarang sudah punya rumah sendiri,” kata Lintang mengingatkan. “Jadi nggak numpang la
“Kenapa nggak masuk?” Raga sedikit bingung melihat Lintang. Tidak biasanya gadis itu mengirimkan pesan padanya, dan meminta Raga keluar ruangan untuk berbicara empat mata. Ditambah, Lintang menuliskan pesan agar tidak memberitahukan Rama bila gadis itu datang ke rumah sakit. Karena di dalam ruangan masih ada Retno yang menjaga putranya, maka Raga bisa meninggalkan Rama untuk menemui Lintang yang menunggunya di dekat lift. “Sorry, Mas, tapi aku nggak bisa datang ke sini lagi.” Kendati berat, tetapi Lintang sudah mengambil keputusan. Sepanjang hari itu, Lintang selalu saja memikirkan permintaan Rama yang menginginkannya untuk menjadi ibu dari bocah itu. Karena itulah, Lintang harus membicarakan beberapa hal dengan Raga terlebih dahulu. “Dan, tolong kasih penjelasan juga ke Rama.” “Kenapa?” “Karena Rama minta aku jadi mamanya.” Lintang menggeleng tegas, untuk menunjukkan penolakannya. Ia tidak akan mau masuk ke dalam lubang yang sama dua kali. “Dan aku nggak mau ngasih harapan palsu
Gelisah. Hal tersebutlah yang dirasakan Lintang sejak terbangun tengah malam, dan tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Lintang merasa ada yang salah, tetapi tidak mengerti di mana letak kesalahannya. Ia kembali mengingat setiap detail pekerjaan yang dilakukannya kemarin, dan tidak ada yang terlewatkan sedikit pun. Masalah dengan Maha pun sudah Lintang akhiri dengan tegas. Tinggal menunggu pencairan dana saja, dan setelah itu Lintang benar-benar menjadi orang kaya baru. Semua sudah terasa sempurna, kecuali … Rama. Mengapa pikiran Lintang tiba-tiba dipenuhi dengan nama bocah itu? Daripada terus memikirkan hal yang tidak-tidak, lebih baik Lintang bergegas menghabiskan mi instannya lalu pergi ke kantor. Baru juga dua suapan masuk ke mulut Lintang, ia mendengar bunyi ketukan di pagar rumahnya. Dengan malas, Lintang beranjak dari meja makan dan pergi ke depan. Seingat Lintang, ia sudah membayar semua iuran bulanan di lingkungan tersebut, jadi tidak mungkin bila satpam komplek perum
Lintang menghapus air matanya dengan segera, ketika melihat kondisi Rama yang terbaring lemah dan dalam kondisi tertidur. Selang infus yang masih saja menancap, dan bocah itu sampai harus memakai masker oksigen untuk membantu pernapasannya. Bunyi monitor yang berada di ruangan tersebut semakin membuat Lintang cemas, dan menyesali keputusannya untuk menjauh dari Rama.Andai saja ….“Rama …” Lintang menarik napas panjang disertai cairan hendak mengalir keluar dari hidung. Ia menggenggam tangan Rama, dan satu tangan lagi mengusap puncak kepala bocah itu. “Tante di sini, cepat sembuh, ya.”Air mata Lintang kembali menetes, dan merutuk dirinya berulang kali. Walaupun nasib Rama jauh lebih beruntung dari dirinya ketika masih kecil, tetapi naluri Lintang sebagai seorang wanita tetap tidak bisa mengabaikan bocah itu sama sekali.Raga benar. Lintang memang baru sebentar tinggal bersama keluarga Sailendra. Namun, kedekatannya dengan Ramalah yang membuat hati mereka memiliki jalinan kasih yang e
“Kenapa nggak di makan?” Soto yang dimakan Raga sudah habis separuh, tetapi Lintang belum menyentuh miliknya sama sekali. Gadis itu terlihat gelisah, dan tidak bisa duduk dengan tenang. Saat wanita lebih mementingkan perasaan daripada logika, di situlah Raga memanfaatkan semua hal yang ia bisa. Menekan perasaan Lintang melalui kondisi Rama. “Sotonya pasti sudah dingin, mau aku pesankan yang baru?” lanjut Raga. Lintang menggeleng. Selera makannya benar-benar hilang, saat memikirkan dua hal yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi, ada kondisi Rama yang dipertaruhkan, dan Lintang tidak bisa membaca masa depan. Ia tidak tahu, hal apa lagi yang bisa menimpa Rama bila Lintang tidak berada di sisi bocah itu. Lintang tidak ingin membawa rasa sesal seumur hidup, bila terjadi sesuatu yang lebih buruk daripada sekadar masuk ke ruang ICU. Namun, di sisi lain, Lintang sudah tidak bisa tinggal satu atap dengan Raga. Demi apa pun itu, Lintang tidak ingin membawa rasa takut dan kekhawatiran ak