Hari-hari telah berlalu, melewati hari demi hari tanpa berbicara dengan Liam sepatah atau dua patah kata jika bukan urusan pekerjaan. Bahkan untuk saat ini pun tidak ada yang memulai pembicaraan lebih dulu, baik Liam ataupun Arlene. Karena setiap kali ia keluar dari pintu kamar, Liam masuk begitujuga sebaliknya. Tiada hari tanpa bekerja, Liam selalu sibuk dengan pekerjaannya ketika di penthouse. Pria itu tak melupakan posisinya sebagai sosok ayah untuk Cassie, terkadang Liam memindahkan Arlene untuk tidur di kamarnya bersama Cassie dan pria itu berada di kamar lain.
Kedua matanya terpejam sesaat lalu mendorong pintu ruangan Liam. Pria itu masih berada di tempatnya, terfokus pada laptop belum beralih ke arahnya. Ia membawa paperbag dan meletakkan beberapa makanan di atas meja sofa untuk Liam karena pria itu tak sempat untuk makan diluar karena jadwal yang padat.
“Makan siangmu sudah aku siapkan, sir. Kau bisa memakannya dulu sebelum dingin, aku akan membawa dokumen ya
“Aku belum pernah menikah ataupun memiliki kekasih dalam hiduku begitupun dalam hubungan seks. Jadi dapat disimpulkan aku belum pernah memiliki anak sebelumnya dan Cassie bukan putri kandungku.” Arlene masih tetap diam, belum memutuskan untuk mengeluarkan satu kalimat dari mulutnya sementara Liam mengeluarkan semua isi yang ada di brankas tersebut dan memintanya untuk datang dan duduk di kursi kerja itu sedangkan Liam, pria itu mulai memberikan beberapa lembar isi dari surat tersebut. “Ibunya membuang Cassie—menitipkan Cassie padaku...” To Mr. Addison. From me, Cassiopeia’s Mother. Pertama-tama, aku ingin menjelaskan kenapa aku harus melakukan ini. Aku tahu kau sulit memahami kondisiku, aku tak berniat melakukan ini, sungguh. Aku mencintai putriku melebihi diriku sendiri, dia adalah dunia baruku. Aku paham jika kau membenciku karena telah menelantarkan putriku sendiri di basement-mu tapi percayalah, saat ini aku s
Perlahan kedua mata biru Arlene terbuka ketika merasakan pukulan di wajahnya. Pandangan pertama setelah mata sudah sepenuhnya terbuka adalah Cassie, bayi itu tertawa saat Liam menggendongnya, pria itu tersenyum tipis dengan wajah khas bangun tidur. “Pagi…” Arlene mengangguk pelan. “Pagi…” gumamnya seraya tersenyum. “Apa kau bermimpi buruk?” Arlene menggeleng. “Pukul berapa ini? Sejak kapan kalian terbangun?” “5, 25 menit yang lalu.” Hening cukup lama, Liam menoleh ke arah balkon kamar, pagi ini cukup dingin karena semalaman hujan rintik. Ia menurunkan pandangannya pada Arlene, gadis itu hanya diam melamun seakan mendapatkan tempat ternyaman untuk bangun dari tidurnya. Ini bagian dari Arlene yang sangat ia suka yaitu wajah bangun tidur, terlihat sangat alami tanpa riasan. Wajahnya putih, bibirnya merah muda alami dan terlihat agak tebal. Pagi ini adalah bagian paling indah yang pernah ia dapatkan dari pagi sebelumnya. Kali ini a
Mobil Liam berhenti tepat di depan restoran, ia segera keluar diikuti Arlene—gadis itu tersenyum manis kemudian Liam menggenggam tangan itu dan masuk ke dalam. Malam ini Arlene terlihat sangat cantik dengan balutan dress sebatas paha berwarna hitam senada dengan setelan jas milik Liam. Pria itu terus menggenggam tangannya sepanjang jalan saat mereka menginjakkan kakinya di restoran ini hingga langkah kakinya terhenti dan senyumnya memudar selama beberapa detik tertahan ketika menatap Liam. Apa ini? Mengapa ada keluarga Court? “Kenapa kau membawaku ke tempat ini?” Arlene buru-buru menjauh saat Liam hendak membawanya masuk. Tatapannya penuh pertanyaan dan memperlihatkan emosi yang jarang ia perlihatkan pada Liam. “Kita bicarakan di dalam saja—” “Jawab aku. Ada apa ini? Mengapa mereka di dalam? Bukankah seharusnya kita makan malam berdua?” Liam menarik napas dalam dan menarik tangannya—dengan gerakan cepat, Arlene kembali menghempas pegangan itu, ia butu
Bulan sudah memasuki awal Oktober. Tepat pagi ini, sekitar pukul 6:10 AM Liam membuka matanya setelah 3 jam tertidur. Ia menoleh ke samping berharap Arlene masih terpejam menghadapnya sekarang tak ada sejak pertengkaran yang terjadi 6 jam yang lalu, gadis itu pergi membawa semua barangnya tanpa sisa, hanya pemberian darinya saja yang sengaja ditinggal.Liam menyingkap selimut dan mengambil posisi duduk menghadap walk in closet, ia menempatkan kedua siku di atas paha seraya menunduk lalu mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya bangkit ke kamar mandi. Liam menghabiskan 15 menit di dalam kamar mandi untuk menenangkan pikirannya dan saat hendak keluar, manik birunya menangkap sebuah kalung bertuliskan nama ‘Railee’ di atas meja di walk in closet, itu milik Arlene yang tertinggal. Ia meraih kalung tersebut dan menyimpannya di balik saku jas. Pagi ini, ia memakai setelan jas yang pernah Arlene simpan selama satu tahun di dalam lemari.Tepat pukul 7:
“Arlene… apa kau baik-baik saja?”Arlene mengangguk. “Yeah, aku baik-baik saja, Cath. Kau tidak perlu khawatir, aku hanya lelah.”“Mau minum, Arlene?”Kedua matanya terbuka, Catherine berdiri di hadapannya seraya menyodorkan gelas kosong di tangan kiri sedangkan alcohol berada di tangan kanannya. Satu tarikan diujung bibirnya terlihat. “Aku tidak minum, tubuhku tidak bisa melakukannya, kau saja,” tolak Arlene dengan sopan.Catherine memutar bola matanya malas kemudian meletakkan gelas yang ia pegang di tangan Arlene lalu menuangkan setengah minuman berwarna kekuningan tersebut. “Harimu berat, kan? Hanya satu gelas, kau membutuhkan ini, tidak baik menolak pemberian sahabatmu sendiri,” ucap Catherine seraya mengedipkan sebelah matanya.Seutas senyuman tipis terlihat di bibir Arlene kemudian menegaknya dengan sekali tegukan hingga kandas. Catherine tersenyum seraya menuangkan kembali m
Arlene terbangun dengan mata sedikit membengkak. Manik birunya menatap ke segala arah—ruangannya terasa sangat sunyi, aroma rumah sakit menyeruak indera penciumannya. Sudah 3 hari ia berada di tempat ini, sangat berat mengetahui bahwa ia hamil dan kehilangan janinnya.Sementara itu, langkah Liam terhenti ketika hendak masuk, manik birunya melihat Arlene sudah membuka matanya. Gadis itu duduk di sofa panjang dekat jendela rumah sakit membelakanginya sambil memeluk lutu dengan pandangan kosong. Liam belum beranjak dari tempatnya, ia memandangi Arlene yang masih terlihat begitu cantik bahkan ketika masih terlarut dalam kesedihan selama 3 hari memilih diam, tidak ingin berbicara dengannya.Tangan Liam terangkat menyentuh kenop pintu dan membukanya perlahan. Arlene tidak menoleh dan Liam menutup rapat pintu itu lalu melangkah mendekati Arlene dan duduk di samping Arlene sambil meletakkan paperbag berisikan makan siang yang ia beli tadi. Mata biru Liam memandangi wajah
Maserati milik Liam memasuki pekarangan mansion miliknya. Suasana malam disini sangat tenang dan dingin, tidak mendengar kendaraan berlalu-lalang disini karena semuanya benar-benar sepi, hanya ada beberapa mansion yang jaraknya lumayan jauh dari mansion miliknya. Liam mematikan mesin mobil dan keluar membawa tas di tangan kiri sementara tangan kanannya mendorong pintu mansion kemudian menutupnya kembali. Ia melangkah menaiki anak tangga menuju kamar Cassie—senyuman tipis terlihat di bibir Liam ketika ia membuka pintu kamar. Bayi perempuan itu sedikit terkejut dan terbangun karenanya. Liam mendekat dan mencium bibir Cassie hingga bayi itu tersenyum dan menendang-nendang kakinya ke udara sambil menyentuh wajah tampannya. “Goodnight, sweetie...” Liam memberikan bonekanya pada Cassie kemudian mengusap lembut kening bayi itu hingga terpejam kembali. “Kau tahu betapa beruntungnya aku mendapatkan kalian dalam genggamanku sekarang?” gumam Liam memandangi wajah Cassie
Siang hari ini seakan hari baru, hari seperti Arlene terlahir kembali tanpa masalah apapun, walaupun masih ada satu masalah yang menjanggal dalam hatinya. Pertama kali ia merasakan sesuatu yang sepanjang hari membuat jantungnya terus berdebar setelah Liam mengucapkan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Rasanya sangat aman ketika berada dalam pelukannya, rasanya sangat senang ketika pertama kali menciumnya tahun lalu untuk pertama kali. Pada titik itulah segalanya berubah, Liam merubah hidupnya sangat drastis. Arlene menginginkan Liam lebih dari sekedar ciuman lembutnya—ia menginginkan semua yang ada pada Liam, termasuk bagaimana cara Liam menatapnya, memanggil namanya dan bagaimana cara pria itu membisikkan sesuatu di telinganya—Tapi apakah Liam akan menerimanya kembali? “Aku baru sampai di apartment, ada apa?” Arlene memindahkan ponsel ke telinga sebelah lalu memiringkan kepala, menjepit ponsel yang berada di antara bahu dan telinga sementara je
Jam sudah menunjukkan pukul hampir makan malam, Liam masih berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana untuk menunggu jam makan malam di yacht milik keluarga Addison setelah ia menidurkan putrinya di kamar Alexander, ia berdiri dimana tempat ini pertama kali ia melihat Arlene terjatuh dari kapal yang terparkir tepat di samping kapal pesiar miliknya dan kapal itu masih tetap disana disaat sang pemilik sudah berada di jeruji besi. Waktu terus berputar dan tepat hari ini, ia diberi sebuah kesempatan untuk berkumpul dengan semua sahabat juga keluarganya, termasuk keluarga baru Arlene. Kejadian itu sudah berlalu begitu cepat, mata Liam terus menelusuri setiap bagian-bagian penting itu. Ketika ia melompat ke dalam laut dan menarik tubuh Arlene ke dalam pelukannya lalu membawa tubuh itu ke yacht miliknya—jika malam itu ia tidak cepat menolong Arlene, mungkin saja gadis itu tidak bersamanya hingga detik ini. Rasanya begitu menyakitkan ketika mengingatnya, begitu sulit jika mencob
Beberapa bulan berlalu, ada begitu banyak hal yang telah terlewatkan dan juga banyak hal yang membuatnya sangat sibuk sejak hari kecelakaan itu. Liam dan rekan kerja sekaligus sahabatnya Walt terus mecoba agar semuanya berjalan dengan sangat mulus, ia harus memanggil dokter setiap bulannya, Arlene yang kembali trauma dengan kejadian masa lalu juga saat kecelakaan itu dan berita dukanya, Josie kehilangan bayi pertama mereka.Dan hari ini, tepat sore ini, Liam keluar dari mobilnya lalu melangkah masuk ke dalam mansion dengan setelan jas yang masih melekat di tubuh kekarnya baru saja pulang dari perusahaan. Kaki yang dilapisi sepatu pantofel itu mendorong pintu dan mendapati beberapa sahabatnya sedang menunggu di ruang billiard sambil meminum alcohol buatan Arlene. Ya, Arlene. Liam tersenyum tipis melihat gadis itu membuatkan beberapa gelas alcohol untuk Dave juga Mark yang duduk di konter. Liam mengedipkan sebelah matanya ketika sosok gadis yang ia pandang sejak tadi melihatnya begitu j
Hi, Maximiliam. Ini aku, Arlene. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah suatu kesalahan besar dan aku mengerti jika kau tidak bisa memaafkanku karena telah menutupi tentang siapa Cassie. Aku ingat ketika malam itu kau menatapku, aku pergi saat kau belum membuka matamu dan aku tak mengatakan apapun seperti yang kau katakan padaku ‘Something happened to us tonight, you can’t leave without saying any goodbye.’ Aku sangat mengingatnya. Aku tidak pernah melupakan bagaimana setiap kali kau menyentuhku malam itu, saat kau berbisik di telingaku, tidak akan pernah aku lupakan karena aku merasakan hal berbeda dari sebelumnya. Pagi itu aku terlalu takut untuk menatapmu setelah aku mengalami malam yang sangat buruk sebelum kita bertemu. Morgan, pria yang sangat aku benci kembali dalam keadaan mabuk, dia melakukan hal itu kembali padaku tetapi aku berhasil kabur dan menjatuhkan diriku dari kapal itu, berharap aku tidak lagi ada di hadapan semua orang termasuk ayah dan sepupuku tapi takdir
Arlene duduk di lantai menghadap tubuh Cassie yang berbaring di atas ranjang. Tangannya terangkat menyentuh hidung mancung itu dengan lembut, ia terus memandang sosok bayi perempuan yang terpejam dengan tenang di atas ranjang dengan pakaian tidurnya. Sudah dua jam sejak ia datang, Arlene terus berada di sisi Cassie, menidurinya, memberinya susu juga kecupan tidur siang untuknya. “Orang yang terikat takdir pasti akan bertemu kembali.” Arlene menoleh ke belakang, Walt bersandar di pintu dengan kedua tangan berada di saku celana. Pria itu mengenakan setelan jas kerja berwarna abu-abu, sejak kapan pria itu datang? Arlene kembali menghadap Cassie saat Walt masuk. Pria itu duduk di sisi ranjang, sampingnya. Jari telunjuk Walt terulur menyentuh tangan kecil Cassie, bayi itu menggenggamnya dalam satu genggaman erat. “Kau ingat perkataanku malam dimana kau melihatku pertama kali?” tanyanya. Arlene mengangguk. “Kau menuliskan nomormu di lenganku dan aku tidak menelponmu ta
7 Months AgoJosie melangkah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menghampiri Walt yang sedang membuat sarapan pagi untuk mereka. Senyuman cantik terlihat dari bibirnya lalu memeluk pria itu dari belakang dan mengecup bahu lebarnya—Walt tersenyum lalu menuangkan telur di atas piring setelah wanita itu melepaskan pelukan dan duduk di hadapannya.“Apa kau berangkat lebih pagi hari ini?” tanya Walt seraya melepaskan apronnya lalu duduk untuk sarapan.Josie mengangguk. “Hari ini aku ada meeting penting, bagaimana denganmu?”“Tidak ada.”“Apa Liam sudah menemukan gadis itu?”Walt menggeleng. “Sejak aku memberikan nomor telponku padanya, aku tidak pernah mendapatkan panggilan dari gadis itu. Josie, kau tahu, keadaannya pagi itu benar-benar kacau. Aku sangat menghawatirkannya.”“Kenapa kau tidak menahannya untuk berbicara?”“Aku melakukannya tapi gadis itu pergi lebih dulu. Aku tidak tahu seberapa banyak luka di tubuhnya, aku hanya melihat bekas luka di bagian kepala dan beberapa tanda—
Mark membulatkan kedua matanya melihat mobil menabrak pohon besar, ia langsung menghentikan mobil dan keluar. Asap mulai bermunculan dari mesin mobil, ia terdiam beberapa saat, tubuhnya membeku seketika saat melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. Mark menggeleng. “Oh, God! No, Arlene… Josie...” Mark melangkah mundur, ia segera membuka pintu mobil dan mengambil ponsel menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulance. “Damn it! Bisakah kalian datang lebih cepat?” tanya Mark. “She’s alive! Dia menatapku, dia berbicara,” kata Mark, ia melihat bibir Arlene terbuka, ia tak tahu apa yang gadis itu bicarakan. Mark menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar hingga matanya berair. Ia menjelaskan dimana titiknya berada kemudian memutuskan sambungan telepon itu—Mark melempar ponselnya ke dalam mobil kemudian berlari mendekati mobil dan membuka pintu melihat Arlene dan Josie sudah tidak sadarkan diri di dalam. Arlene sudah tidak sadarkan
Hari demi hari telah berlalu dan tepat mala mini baru saja menggelap beberapa jam yang lalu saat Liam datang ke mansion, tempat tinggal yang baru ia beli dengan pemandangan pohon-pohon di setiap sisi mansion—terlihat sepi, hanya ada beberapa mansion disini, dengan jarak yang jauh. Mansion ini sudah layak di tempati sejak lama hanya saja memerlukan beberapa perbaikan di taman.Arlene sudah membaik walaupun membutuhkan waktu untuk melihatnya pulih dari keterpurukannya setelah kematian Hunt. Marcia hanya datang sekali dan Shelley, gadis itu merawat Arlene seperti seorang kakak. Shelley menyesal, dia selalu meminta maaf padanya tapi Liam meminta gadis itu untuk melakukannya pada Arlene.Malam ini adalah hari surat itu, tepat malam natal, pukul delapan malam Liam berdiri di depan cermin besar mempelihatkan dirinya dengan setelan jas hitam, dua kancing kemeja yang dibiarkan terbuka di bagian atas agar tidak memperlihatkan kesan terlalu formal. Ia berbalik, membuk
Dad, rasanya seperti aku ingin hidup dalam mimpi saja. Aku melihatmu dalam mimpiku semalam, kau memberikanku rasa cinta yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Kau sembuh, kau tinggal, kau berada di sofamu, kau memandang kami—aku, Cassie dan Liam sedang duduk di lantai berada di rumah yang sangat layak, karena Liam, Liam yang membawa kami, merasakan rumah lagi. Liam adalah rumahku, rumah baruku, hidup baruku, mimpi indahku, yang membuat seakan masalaluku hilang begitu saja. Aku melihat kau dan Liam saling membalas senyum, aku juga tersenyum tapi tidak bertahan lama karena aku melihatmu memudar, aku melihatmu menghilang dalam pandanganku seakan tugasmu telah usai untuk merawatku, untuk menjagaku dan menemukan sosok pria lain yang akan mengisi kekosongan hidupku. Aku tahu aku sangat telat untuk hal ini. Dad, kau tahu? Liam melamarku, dia menginginkanku, dia ingin aku ada dalam sisa hidupnya, dia ingin menua denganku, tapi aku belum menjawabnya, aku takut, aku
Liam melangkah keluar dari ruang meeting bersama Jamie, sekretaris barunya. Ini adalah kali pertama Liam mendapatkan sekretaris pria karena sebelumnya selalu wanita—apa Arlene cemburu? Ia mengambil ponselnya di atas meja kerja, ada begitu banyak panggilan telepon dari Walt, Arlene, Kaia dan juga—Josie? Bahkan secara bersamaan? Ketika hendak menelpon Walt ia dikejutkan dengan seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk lebih dulu.Liam mengangkat kepalanya. “Apa kau tidak mempunyai sopan santun, Ms. Olivia?”Wanita itu tak mendengar ucapannya, ia menutup pintu ruangan dan berjalan cepat ke arahnya. “Apa yang kau—”“Oh God! akhirnya aku menemukan boss-ku. Mr. Addison. Maaf jika aku mengatakan ini padamu—”“Katakan apa yang terjadi?” potong Liam.“Mr. Whitman mengatakan padaku pagi tadi dia pulang lebih dulu karena Mr. Seyfried meninggal pukul 9:37 jadi beliau tak bisa b