Arlene melirik jam dari ponselnya yang saat ini sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia sedikit menggeser tubuhnya untuk mengintip keluar, beberapa ruangan dan lampu sudah mati hanya terang di beberapa bagian saja. Kemudian manik birunya menoleh ke arah jendela ruangan Liam, pria itu masih sibuk menulis sesuatu di atas kertas. Masih terlihat sangat tampan walaupun ia sudah tidak memakai jas, hanya kemeja putih yang melekat di tubuhnya. Entah berapa lama Arlene terdiam seperti itu, sudah tiga puluh lima menit ia berada di kursi dan belum beranjak karena pria itu belum memperbolehkan nya pulang sebelum pekerjaan selesai.Kedua matanya sudah lelah berjam jam di hadapkan layar laptop tanpa henti kecuali istirahat walaupun hanya beberapa menit saja. Arlene bersandar seraya memperhatikan Liam dari ruangannya, pria itu gila kerja dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk bekerja bahkan perusahaan sudah sangat sepi pria itu masih di ruangannya, dari sinilah ia tahu kenapa Kaia bertanya tentan
Arlene terdiam menatap mata Liam, ia masih mencerna apa yang baru saja pria itu katakan. Pria itu masih terus menahannya agar tidak pergi, posisi ini membuat jantung Arlene berpacu lebih cepat karena dirinya terlalu dekat dengan Liam sampai ia bisa merasakan hembusan napas itu. Dan sialnya, ia terlalu lemah untuk menjauh, seakan dirinya tak ingin lepas dari rengkuhan itu.“Aku tidak memaksamu, aku hanya ingin membantumu, aku tidak bisa membiarkanmu melakukan hal itu setiap saat. Kau akan ketergantungan dan kau akan selalu melukai dirimu sendiri. Katakan jika kau merasa sakit, katakan jika kau merasa sedih, katakan jika kau membutuhkanku, jangan pernah kau membohongiku, Arlene. Wajahmu tidak bisa berbohong.”Arlene meremas kemeja Liam, menunggu pria itu kembali berbicara.“Aku terus memperhatikanmu. Kau boleh memanggilku jika kau takut, jangan pernah menyendiri. Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, kau sangat ketakutan. Aku melihatmu, aku melihat tatapan yang kau lakukan malam
Arlene melangkah keluar dari dapur membawa secangkir kopi hitam tanpa gula untuk Liam, saat ini pria itu sedang dalam perjalanan menuju kemari. Sejak ia datang ke perusahaan satu jam yang lalu, ia selalu diingatkan kejadian semalam. Liam benar-benar menunggunya hingga tertidur bahkan ketika ia bangun, pria itu tertidur di sampingnya masih mengenakan setelan kemarin hanya saja tidak mengenakan atasan ketika tidur.Cukup terkejut tapi ia juga tidak merasa keberatan dengan itu bahkan ketika pria itu terbangunpun menanyakan apakah ia kembali bermimpi buruk? Liam sudah tahu jawabannya, ia memilih untuk diam lalu bersiap untuk bekerja. Ia berangkat lebih dulu karena ia tidak ingin jika semua orang yang ada di perusahaan tahu tentang dirinya tinggal satu atap dengan boss mereka.“Holy shit!”Arlene tersentak kaget, cangkir kopi panas yang ia bawa tak sengaja tumpah dan terjatuh ketika ia hendak masuk ke dalam ruangan. Walt tampak meringis, ia segera mengambil tisu di ruangannya kemudian memba
“Kau tidak ingin pulang, Walt?”“Kau pulang saja, pekerjaanku belum selesai.”“Berapa lama lagi? Dibawah gelap, aku takut.”“Sebentar lagi.”Catherine memutar bola matanya malas lalu menarik kursi dan duduk di depan meja pria bermanik cokelat itu. “Kau tahu, apa aku saja yang merasakan hal ini. Beberapa hari ini aku mencurigai Arlene yang begitu dekat dengan Liam, bukankah kau lihat berita pagi tadi? Apa kau tahu Liam dan Arlene benar-benar tinggal bersama?”“Tidak tahu,” jawab Walt tanpa menatap Catherine, ia tetap focus pada laptop agar pekerjaannya cepat selesai, ia ingin pulang karena ada yang lebih penting dari pertanyaan tidak penting Catherine.Catherine mendengus. “Bagaimana bisa kau tidak tahu sedangkan disini kaulah yang paling sering bersama Liam. Jadi katakan padaku Walt, aku janji untuk tidak memberitahu siapapun, apakah benar mereka tinggal bersama berdua? Tanpa orang ketiga selain Cassie?”“Kim.”Catherine berdecak. “Kim hanya tinggal sampai pukul 4 sore, lagipula wanita
Gerakan Liam terhenti ketika hendak masuk ke dalam. Ia diam di samping pintu apartment ketika berada di tengah-tengah keheningan sesaat. Tangan kanannya mengeras hingga memperlihatkan buku-buku putih mendengar apa yang Morgan katakan dan berhasil membuat jantungnya berdetak kencang. Shelley? Saudari kandung Arlene yang pernah gadis itu ceritakan di hadapan Marcia dan Shelley saat makan malam? Telinganya mendengar suara isak tangis Arlene, masih berapa banyak lagi kebohongan yang telah gadis itu tutupi selama ini?“Get out of my apartment, Mr. Krane.”Morgan menoleh. “You already know the truth?” tanyanya.“Jauhi Arlene.”Morgan melangkah penuh dengan perhatian ketika melihat tatapan Liam yang sulit diartikan. Ia masih membeku di tempat, tidak ada ekspresi di wajahnya dan tidak melepaskan pandangan dan terus menatap manik birunya dengan intens. Apakah Liam mendengar pembicaraan mereka dari awal? Apa saja yang telah pria itu dengar? Langkah Morgan terhenti tepat di samping Liam, keduanya
“Oouu sorry, kupikir kau masih mandi.” Liam menoleh. “Masuk, ini kamarmu,” ucapnya melihat Arlene hendak menutup pintu untuk keluar dari kamar karena melihatnya belum mengenakan pakaian, tidak, hanya boxer hitam yang melekat.Liam menyadari sejak pagi tadi, Arlene belum berbicara padanya mengingat apa yang hampir mereka lakukan semalam, gadis itu selalu mengalihkan pandangan bahkan ketika mereka bangun bersama saat itu Arlene sedang memeluk tubuhnya. Liam memaklumi bahwa Arlene merasa malu karena posisi mereka pagi itu tidak mengenakan pakaian, tapi mengapa harus merasa malu? Toh mereka pernah berbuat hal gila di yacht lebih dari satu kali, bukan? “Tidak, kau bisa memakai pakaianmu lebih dulu—”Liam tersenyum tipis kembali menghadap cermin. “Bagaimana bisa aku memakai pakaianku yang basah? Masuk, Arlene. Tidak ada yang perlu kau tutupi, kau sudah melihat seluruh tubuhku. Aku sangat tidak masalah jika kau ingin melihat untuk kedua kali dengan versi yang berbeda.” “Tidak—”“Arlene, ma
Mobil berwarna hitam memasuki kawasan mansion besar. Kakinya menginjak pedal rem hingga berhenti tepat di depan air mancur, perlahan pintu terbuka dan keluarlah seorang gadis bermanik hazel dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Suara ketukan sepatu terdengar ketika ia menginjakkan kakinya kelantai marmer, pintu terbuka tanpa harus bersusah payah untuk menekan bel mansion. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya ia lepaskan, meletakkan di dalam tas mahalnya.“Where's Morgan?”“Masih tidur, Nona.”Ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman miring, ia pun segera berjalan masuk kedalam mengikuti maid mansion yang akan mengantarkan dirinya untuk sampai kekamar pria itu. Matanya melirik sepanjang dinding yang memperlihatkan lukisan-lukisan romawi kuno yang terpajang. Langkahnya terhenti ketika wanita itu berhenti, pintu kamar pun terbuka. “Ada yang ingin anda minum, Miss. Court?”Shelley menggeleng. “Kau boleh pergi.”Shelley masuk ke dalam, menutup pintu kamar dan men
“Aku pikir menjadi dewasa itu menyenangkan, ternyata tidak. Aku harus terlihat baik-baik saja walaupun sebenarnya tidak, itu sangat menyebalkan.”Sejak dua puluh menit yang lalu Arlene sudah berbaring di bangku taman rumah sakit dengan Hunt yang saat ini mengelus lembut rambutnya ketika dirinya meletakkan kepalanya disalah satu paha lelaki paruh baya itu. Kedua matanya memandangi pohon-pohon yang berada di depan mereka. Tatapannya melekat, terfokus untuk menatap seekor burung yang sedang membuat sarang untuk telurnya.Hunt mendesah. “Railee, Ingat jika Dad selalu ada di hatimu sampai kapanpun jangan pernah lupakan itu. Kau tahu apa yang Dad takutkan di dunia ini?”Pandangan Arlene kali ini beralih menatap Hunt sambil menggeleng. “Katakan apa itu?” “Melihatmu menangis dan hal kedua yang benar-benar Dad takutkan adalah tidak pernah melihatmu lagi dalam pandanganku. Rasanya waktu begitu cepat, dulu kau menggenggam jariku sekarang kau menggenggam tanganku…”Kebahagiaan semua orang tua di
Jam sudah menunjukkan pukul hampir makan malam, Liam masih berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana untuk menunggu jam makan malam di yacht milik keluarga Addison setelah ia menidurkan putrinya di kamar Alexander, ia berdiri dimana tempat ini pertama kali ia melihat Arlene terjatuh dari kapal yang terparkir tepat di samping kapal pesiar miliknya dan kapal itu masih tetap disana disaat sang pemilik sudah berada di jeruji besi. Waktu terus berputar dan tepat hari ini, ia diberi sebuah kesempatan untuk berkumpul dengan semua sahabat juga keluarganya, termasuk keluarga baru Arlene. Kejadian itu sudah berlalu begitu cepat, mata Liam terus menelusuri setiap bagian-bagian penting itu. Ketika ia melompat ke dalam laut dan menarik tubuh Arlene ke dalam pelukannya lalu membawa tubuh itu ke yacht miliknya—jika malam itu ia tidak cepat menolong Arlene, mungkin saja gadis itu tidak bersamanya hingga detik ini. Rasanya begitu menyakitkan ketika mengingatnya, begitu sulit jika mencob
Beberapa bulan berlalu, ada begitu banyak hal yang telah terlewatkan dan juga banyak hal yang membuatnya sangat sibuk sejak hari kecelakaan itu. Liam dan rekan kerja sekaligus sahabatnya Walt terus mecoba agar semuanya berjalan dengan sangat mulus, ia harus memanggil dokter setiap bulannya, Arlene yang kembali trauma dengan kejadian masa lalu juga saat kecelakaan itu dan berita dukanya, Josie kehilangan bayi pertama mereka.Dan hari ini, tepat sore ini, Liam keluar dari mobilnya lalu melangkah masuk ke dalam mansion dengan setelan jas yang masih melekat di tubuh kekarnya baru saja pulang dari perusahaan. Kaki yang dilapisi sepatu pantofel itu mendorong pintu dan mendapati beberapa sahabatnya sedang menunggu di ruang billiard sambil meminum alcohol buatan Arlene. Ya, Arlene. Liam tersenyum tipis melihat gadis itu membuatkan beberapa gelas alcohol untuk Dave juga Mark yang duduk di konter. Liam mengedipkan sebelah matanya ketika sosok gadis yang ia pandang sejak tadi melihatnya begitu j
Hi, Maximiliam. Ini aku, Arlene. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah suatu kesalahan besar dan aku mengerti jika kau tidak bisa memaafkanku karena telah menutupi tentang siapa Cassie. Aku ingat ketika malam itu kau menatapku, aku pergi saat kau belum membuka matamu dan aku tak mengatakan apapun seperti yang kau katakan padaku ‘Something happened to us tonight, you can’t leave without saying any goodbye.’ Aku sangat mengingatnya. Aku tidak pernah melupakan bagaimana setiap kali kau menyentuhku malam itu, saat kau berbisik di telingaku, tidak akan pernah aku lupakan karena aku merasakan hal berbeda dari sebelumnya. Pagi itu aku terlalu takut untuk menatapmu setelah aku mengalami malam yang sangat buruk sebelum kita bertemu. Morgan, pria yang sangat aku benci kembali dalam keadaan mabuk, dia melakukan hal itu kembali padaku tetapi aku berhasil kabur dan menjatuhkan diriku dari kapal itu, berharap aku tidak lagi ada di hadapan semua orang termasuk ayah dan sepupuku tapi takdir
Arlene duduk di lantai menghadap tubuh Cassie yang berbaring di atas ranjang. Tangannya terangkat menyentuh hidung mancung itu dengan lembut, ia terus memandang sosok bayi perempuan yang terpejam dengan tenang di atas ranjang dengan pakaian tidurnya. Sudah dua jam sejak ia datang, Arlene terus berada di sisi Cassie, menidurinya, memberinya susu juga kecupan tidur siang untuknya. “Orang yang terikat takdir pasti akan bertemu kembali.” Arlene menoleh ke belakang, Walt bersandar di pintu dengan kedua tangan berada di saku celana. Pria itu mengenakan setelan jas kerja berwarna abu-abu, sejak kapan pria itu datang? Arlene kembali menghadap Cassie saat Walt masuk. Pria itu duduk di sisi ranjang, sampingnya. Jari telunjuk Walt terulur menyentuh tangan kecil Cassie, bayi itu menggenggamnya dalam satu genggaman erat. “Kau ingat perkataanku malam dimana kau melihatku pertama kali?” tanyanya. Arlene mengangguk. “Kau menuliskan nomormu di lenganku dan aku tidak menelponmu ta
7 Months AgoJosie melangkah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menghampiri Walt yang sedang membuat sarapan pagi untuk mereka. Senyuman cantik terlihat dari bibirnya lalu memeluk pria itu dari belakang dan mengecup bahu lebarnya—Walt tersenyum lalu menuangkan telur di atas piring setelah wanita itu melepaskan pelukan dan duduk di hadapannya.“Apa kau berangkat lebih pagi hari ini?” tanya Walt seraya melepaskan apronnya lalu duduk untuk sarapan.Josie mengangguk. “Hari ini aku ada meeting penting, bagaimana denganmu?”“Tidak ada.”“Apa Liam sudah menemukan gadis itu?”Walt menggeleng. “Sejak aku memberikan nomor telponku padanya, aku tidak pernah mendapatkan panggilan dari gadis itu. Josie, kau tahu, keadaannya pagi itu benar-benar kacau. Aku sangat menghawatirkannya.”“Kenapa kau tidak menahannya untuk berbicara?”“Aku melakukannya tapi gadis itu pergi lebih dulu. Aku tidak tahu seberapa banyak luka di tubuhnya, aku hanya melihat bekas luka di bagian kepala dan beberapa tanda—
Mark membulatkan kedua matanya melihat mobil menabrak pohon besar, ia langsung menghentikan mobil dan keluar. Asap mulai bermunculan dari mesin mobil, ia terdiam beberapa saat, tubuhnya membeku seketika saat melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. Mark menggeleng. “Oh, God! No, Arlene… Josie...” Mark melangkah mundur, ia segera membuka pintu mobil dan mengambil ponsel menghubungi pihak rumah sakit untuk segera mengirimkan ambulance. “Damn it! Bisakah kalian datang lebih cepat?” tanya Mark. “She’s alive! Dia menatapku, dia berbicara,” kata Mark, ia melihat bibir Arlene terbuka, ia tak tahu apa yang gadis itu bicarakan. Mark menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar hingga matanya berair. Ia menjelaskan dimana titiknya berada kemudian memutuskan sambungan telepon itu—Mark melempar ponselnya ke dalam mobil kemudian berlari mendekati mobil dan membuka pintu melihat Arlene dan Josie sudah tidak sadarkan diri di dalam. Arlene sudah tidak sadarkan
Hari demi hari telah berlalu dan tepat mala mini baru saja menggelap beberapa jam yang lalu saat Liam datang ke mansion, tempat tinggal yang baru ia beli dengan pemandangan pohon-pohon di setiap sisi mansion—terlihat sepi, hanya ada beberapa mansion disini, dengan jarak yang jauh. Mansion ini sudah layak di tempati sejak lama hanya saja memerlukan beberapa perbaikan di taman.Arlene sudah membaik walaupun membutuhkan waktu untuk melihatnya pulih dari keterpurukannya setelah kematian Hunt. Marcia hanya datang sekali dan Shelley, gadis itu merawat Arlene seperti seorang kakak. Shelley menyesal, dia selalu meminta maaf padanya tapi Liam meminta gadis itu untuk melakukannya pada Arlene.Malam ini adalah hari surat itu, tepat malam natal, pukul delapan malam Liam berdiri di depan cermin besar mempelihatkan dirinya dengan setelan jas hitam, dua kancing kemeja yang dibiarkan terbuka di bagian atas agar tidak memperlihatkan kesan terlalu formal. Ia berbalik, membuk
Dad, rasanya seperti aku ingin hidup dalam mimpi saja. Aku melihatmu dalam mimpiku semalam, kau memberikanku rasa cinta yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Kau sembuh, kau tinggal, kau berada di sofamu, kau memandang kami—aku, Cassie dan Liam sedang duduk di lantai berada di rumah yang sangat layak, karena Liam, Liam yang membawa kami, merasakan rumah lagi. Liam adalah rumahku, rumah baruku, hidup baruku, mimpi indahku, yang membuat seakan masalaluku hilang begitu saja. Aku melihat kau dan Liam saling membalas senyum, aku juga tersenyum tapi tidak bertahan lama karena aku melihatmu memudar, aku melihatmu menghilang dalam pandanganku seakan tugasmu telah usai untuk merawatku, untuk menjagaku dan menemukan sosok pria lain yang akan mengisi kekosongan hidupku. Aku tahu aku sangat telat untuk hal ini. Dad, kau tahu? Liam melamarku, dia menginginkanku, dia ingin aku ada dalam sisa hidupnya, dia ingin menua denganku, tapi aku belum menjawabnya, aku takut, aku
Liam melangkah keluar dari ruang meeting bersama Jamie, sekretaris barunya. Ini adalah kali pertama Liam mendapatkan sekretaris pria karena sebelumnya selalu wanita—apa Arlene cemburu? Ia mengambil ponselnya di atas meja kerja, ada begitu banyak panggilan telepon dari Walt, Arlene, Kaia dan juga—Josie? Bahkan secara bersamaan? Ketika hendak menelpon Walt ia dikejutkan dengan seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk lebih dulu.Liam mengangkat kepalanya. “Apa kau tidak mempunyai sopan santun, Ms. Olivia?”Wanita itu tak mendengar ucapannya, ia menutup pintu ruangan dan berjalan cepat ke arahnya. “Apa yang kau—”“Oh God! akhirnya aku menemukan boss-ku. Mr. Addison. Maaf jika aku mengatakan ini padamu—”“Katakan apa yang terjadi?” potong Liam.“Mr. Whitman mengatakan padaku pagi tadi dia pulang lebih dulu karena Mr. Seyfried meninggal pukul 9:37 jadi beliau tak bisa b