“Dik, nanti istirahat ketemu saya di ruang kesehatan.”
Indira menatap bingung dengan apa yang dilakukan pria itu, pria yang tidak lain seniornya. Mengalihkan kembali pandangan ke depan dan mencoba fokus tapi tetap saja memikirkan perkataan senior tadi, menatap Mita yang berada disampingnya dengan tatapan bingung.“Tadi siapa?” bisik Indira.“Kayaknya senior deh, kamu nanti jangan lupa kesana.” Mita mengatakan tanpa menatap Indira.Materi yang disampaikan berjalan cukup lama, Indira mulai mencatat apa saja yang penting. Mendengarkan semuanya tanpa ada yang terlewatkan, menjelang istirahat tugas diberikan dengan membentuk kelompok berdasarkan absen.“Jangan lupa ke ruang kesehatan,” ucap Mita mengingatkan.“Hampir aja lupa,” ucap Indira sambil memukul keningnya pelan.“Kalian ke kantin?” tanya Lia, salah satu mahasiswi baru sama seperti Indira dan Mira.“Aku yang ke kantin,” jawab Mita.“Kamu?” Lia menatap Indira.“Dipanggil sama senior, kalian ke kantin aja. Aku nitip minum sama roti ya.” Indira memberikan uang pada Mita.Mereka bertiga keluar dari ruangan, langkah Indira berhenti di salah satu pintu sedangkan kedua temannya melanjutkan langkahnya menuju kantin. Indira menatap pintu bingung, tidak tahu siapa nama senior yang memanggilnya tadi.“Cari siapa?” tanya salah satu senior wanita.“Gue panggil dia,” sahut senior pria yang tadi memanggil Indira sebelum membuka mulut “Ayo ikut.”Indira memilih mengikuti langkah senior yang memanggilnya, memasuki ruangan yang tampak sepi. Menutup pintu dengan pikirannya masih bertanya-tanya tentang apa kesalahan yang baru saja dirinya lakukan sampai-sampai harus dipanggil oleh senior, tidak berani menatap senior pria yang bersandar di meja dengan Indira dihadapannya.“Indira Pradipta, kamu tahu letak kesalahan kamu kenapa saya panggil?” Indira langsung menggelengkan kepalanya “Kamu tidak menghargai senior yang berbicara di depan sampai-sampai melamun?”Indira menatap senior pria dihadapannya dengan tatapan terkejut, seketika dirinya ingat berada dimana sekarang. Fakultas psikologi, orang-orang yang berada disini pastinya belajar membaca bahasa tubuh dan ekspresi wajah jadi tahu apa yang ada didalam isi kepala atau dipikirkan oleh orang tersebut.“Kenapa diam? Benar kata-kata saya? Apa senior kamu terlalu membosankan sampai-sampai kamu tidak mau mendengarkan?”“Bukan begitu, kak.” Indira langsung membantahnya.“Lalu?”“Tiba-tiba aja blank.” Indira memberikan alasan yang sangat masuk akal.Senior dihadapannya hanya menggelengkan kepalanya “Kamu beruntung karena saya yang tahu coba kalau senior lain pasti habis.”“Maaf, kak.” Indira menundukkan kepalanya merasa tidak enak dan bersalah.“Kamu tahu siapa saya?” Indira langsung menggelengkan kepalanya “Fajar Putra Mardani panggilannya Fajar, ingat nama ini baik-baik.”“Baik, kak.” Indira menganggukkan kepalanya masih tidak berani menatap seniornya, Fajar.“Saya mau kasih hukuman buat kamu.”Indira mengangkat kepalanya terkejut dengan kata-kata Fajar, tidak menyangka akan mendapatkan hukuman di hari pertamanya masuk perguruan tinggi. Menatap Fajar dengan harapan yang di dengarnya tidak benar, bisa dikatakan salah mendengar apa yang dikatakan Fajar.“Kamu mau tahu hukumannya?” tanya Fajar.Indira menganggukkan kepalanya ragu tanpa melepaskan tatapan pada Fajar, senyum kecil terlihat di bibir Fajar membuat Indira menatap terkejut. Menggelengkan kepalanya cepat, tidak boleh terpesona dengan senior yang baru dikenalnya ini.“Bagaimana mau tahu hukumannya?” Fajar bertanya lagi yang diangguki Indira “Saya nggak tahu kamu mau tahu atau tidak, memang kamu mau dihukum?”“Nggak mau dihukum, kak.” Indira menjawab cepat.Indira melihat Fajar memberikan kantong plastik yang tadi dibawanya, menatap bingung atas kantong plastik yang diberikan Fajar. Tatapan mereka bertemu, Fajar seakan memberitahukan Indira untuk mengambil kantong plastik, sedikit ragu Indira mengambilnya dengan tatapan bingung.“Kamu makan dulu,” ucap Fajar dengan menunjukkan kantong plastik yang ada di tangan Indira “Saya nggak tahu kamu suka atau tidak.”“Terima kasih, kak. Pasti aku makan setelah ini.” Indira langsung menjawabnya.Fajar menganggukkan kepalanya “Lebih baik kamu istirahat dulu masalah hukuman saya pikirkan terlebih dahulu.”“Baik, kak.” Indira menanggapi dengan sopan.Keluar dari ruangan dengan bertanya-tanya, seharusnya bukan hanya dirinya saja yang tidak memperhatikan orang berbicara didepan tapi kenapa hanya dirinya saja yang dipanggil. Menggelengkan kepalanya untuk tidak berpikir aneh-aneh, bisa saja memang dirinya yang sedang apes.Melangkahkan kakinya menuju musholla untuk melakukan ibadah, langkah Indira terhenti saat melihat Fajar berada didepan dan mereka akan melakukan jamaah. Melihat itu membuat Indira langsung menggunakan mukena dan bergabung bersama, setelah selesai Indira kembali ke ruangan dan teringat kantong plastik yang diberikan Fajar dengan segera dibuka dan dimakannya.“Ini pesanan kamu,” ucap Lia yang mengambil tempat duduk disamping Indira “Kamu satu kelompok sama siapa?”“Makasih, aku belum ketemu anak-anaknya yang mana. Mita kemana?”“Mita di musholla, memang siapa saja anak-anaknya?” Indira langsung mengambil catatan dan memperlihatkan pada Lia “Shinta, tadi duduk disampingku kalau yang lain nggak tahu aku.”“Nanti aku cari,” ucap Indira langsung menerima bukunya.Memilih tidak banyak bicara dengan menikmati pesananannya, Indira sudah makan dua bungkus roti. Lia sendiri masih setia duduk disamping Indira dengan memainkan ponselnya, mencoba untuk tidak peduli dengan menikmati makanannya.“Aku tadi lihat ada senior cakep banget.” Lia membuka suara membuat Indira menatap kearahnya “Tadi memang kamu kemana? Habis melakukan kesalahan apa?”“Dipanggil ke ruang kesehatan, nggak tahu salahnya apa mungkin lagi apes aja.” Indira mengangkat bahunya saat menjawab.Indira juga tidak bertanya tentang senior yang dimaksud, bagi dirinya senior semua sama. Tampan atau tidak bukan utama dirinya mencari pasangan, Indira lebih menyukai pria dewasa dengan ibadahnya yang bagus.“Indira ya?” suara seseorang membuat Indira menatap kearahnya “Tio, kita satu kelompok. Nanti selesai acara ngerjain tugasnya ya.”“Ok, yang lain udah tahu siapa saja?” Indira langsung menanggapi Tio.“Sudah, tapi ada beberapa yang belum. Kita ketemu di gazebo ya nanti.” Tio menjawab yang diangguki Indira.Menatap Tio yang berjalan menjauh dari mereka, tampaknya memang Indira harus mengenal banyak anak disini. Menatap sekitar dan ruangan terisi penuh, tampaknya yang keterima di tahunnya sangat banyak dan tidak mungkin mengenal mereka satu per satu dengan cepat.“Mas Wahyu tadi bilang kalau angkatan kita paling banyak dibanding tahun sebelumnya,” ucap Lia seakan paham dengan yang dilakukan Indira dan membuat Indira menatap kearahnya.“Gimana bisa kenal sama mereka cepat?”Acara orientasi berlangsung sampai sore, Indira sendiri sudah lumayan lelah dan merindukan ranjangnya. Acara selesai langsung lanjut dengan mengerjakan tugas, Indira sudah benar-benar lelah dan membutuhkan istirahat, beberapa kali mamanya menghubungi tentang keberadaannya dan dijemput jam berapa..Fokus dengan tugas yang dikerjakan, perlahan Indira mulai mengenal beberapa anak itupun juga dari teman-teman satu kelompoknya saja. Indira baru mengetahui dan bertemu dengan anak dari saudara papanya dan itu artinya mereka masih mempunyai hubungan saudara meskipun jauh, hebatnya lagi Indira satu kelompok dan memiliki nomer absen yang tidak terlalu jauh.Tugas yang dikerjakan bersama akhirnya selesai sudah, membagi tugas tentang siapa yang mengeprint dan menjilidnya menjadi satu. Indira sudah menawarkan tapi nyatanya ada yang lebih cepat, akhirnya mereka satu per satu pulang tapi ada juga yang masih bertahan di gazebo untuk saling mengenal satu sama lain.“Dijemput?” tanya Dita, saudara I
“Game hari ini,” ucap Mita yang duduk disamping Indira “Kemarin kamu dijemput?”“Ya, haduh game aja ini? Moga aku kuat.” Mita menggenggam tangan Indira “Kalau capek istirahat aja, bilang sama senior-senior pasti dikasih.”Melangkah ke halaman belakang perpustakaan, tempat yang digunakan untuk permainan. Indira tidak tahu permainan apa yang akan mereka lakukan, berbicara dengan Mita dan teman-teman yang lain sambil menunggu para senior datang.“Kemarin aku lihat kamu sama Mas Fajar.” Lia membuka suaranya yang diangguki Indira “Kalian dekat?”“Nggak juga, cuman temani aku sampai dijemput.” Indira memberikan jawaban sebenarnya.“Dewasa dia, kriteria aku banget.” Lia mengatakan dengan ekspresi bahagia.Indira saling menatap dengan Mita yang hanya bisa mengangkat bahu, mereka baru mengenal Lia jadi tidak tahu seperti apa dia sebenarnya. Indira sendiri tidak terlalu mengenal Fajar dengan baik, mereka baru bertemu kemarin dan tidak berbeda jauh dengan senior yang lain.“Katanya dia MA,” uca
Berjalan bersama dengan Dito ke tempat yang dikatakan Wahyu, Indira jelas bingung alasan memanggil dirinya juga. Tidak memiliki kepentingan sama sekali dengan kegiatan di angkatannya, tidak mau banyak tanya memilih mengikuti kata senior.“Kalian sudah shalat?” tanya Fajar dengan suara datarnya tapi tatapannya mengarah pada Indira.“Belum, mas.” Dito menjawab langsung.“Kalian shalat dulu aja nanti baru kesini,” ucap Wahyu memberikan saran.Indira yang paham dengan tatapan Fajar memilih menganggukkan kepalanya “Dit, kita shalat dulu aja.”Dito hanya bisa menuruti Indira, berjalan kearah musholla. Indira masih bisa mendengar suara Wahyu yang mengejek Fajar, menggelengkan kepalanya agar tidak berpikir negatif.“Disuruh cepat datang begitu sudah datang malah dimarahin, nasib jadi maba begini amat.” Dito menggelengkan kepalanya.Indira menepuk punggung Dito pelan “Makanya besok kalau jadi senior jangan galak-galak sama junior.”Meninggalkan Dito yang ingin memaki dirinya, memilih melakukan
Balik ke tempat permainan tadi dengan lesu, pikirannya kemana-mana terutama tentang apa yang dikatakan Fajar. Senior yang dengan seenaknya mengajak pacaran tanpa meminta jawaban dan satu lagi tidak bertanya dirinya punya kekasih atau tidak, Indira yakin jika semua ini adalah permainan atau taruhan yang dilakukan seniornya jadi dirinya tidak akan menggunakan perasaan jika keluar sama dia.“In, ngelamun aja.” Sinta menepuk pelan lengan Indira.“Ada kejadian apa?” tanya Indira menatap Sinta yang berada disampingnya.“Mas Wahyu ngasih arahan game selanjutnya.” Sinta menjawab dengan memberi kode agar Indira menatap ke depan.Melakukan apa yang dilakukan Sinta, menatap ke depan dan tidak sengaja tatapannya bertemu dengan Fajar yang sedang berbicara dengan senior-senior wanita. Interaksi mereka sangat baik, bisa dilihat kalau senior wanita yang berada dihadapannya menatap penuh kekaguman, bukan perasaan cinta atau suka.“Lihat apaan?” bisik pria yang ada disamping Indira membuatnya terkejut
Perjalanan diisi dengan keheningan diantara mereka berdua, tidak tahu harus memulai bicara apa. Hubungan mereka hanya senior dan junior, tidak lebih dan hukuman yang didapatnya membuat Indira tidak tahu harus melakukan apa.“Kita makan dulu ya, dik.” Fajar membuka suaranya.“Ya, kak. Memang aku bisa nolak?”“Nggak, pintar kalau kamu paham. Kita makan di warung langganan aku nggak masalah?” tanya Fajar hati-hati.“Makan dimana saja yang penting makan, tapi tempatnya bersih dan nggak ada kucing, kan?”“Bersih, memang kenapa kalau ada kucing?”“Trauma sama kucing.” “Kayaknya nggak ada, tapi nggak tahu lagi. Gimana? Masih mau?”“Boleh, tapi nanti jangan malu kalau aku angkat kaki ya?”Fajar menatap tidak percaya mendengar Indira berbicara dengan sangat santai, bagaimana bisa gadis dengan santainya bicara akan mengangkat kaki saat makan. Fajar menggelengkan kepalanya pelan, menatap sekilas pada Indira yang
Tidak tahu apa yang dibicarakan Fajar dengan kedua orangtuanya, Indira hanya memberikan surat keterangan dokter jika tidak bisa ikut acara. Wahyu yang menerimanya hanya bisa diam dan tidak mengeluarkan suara apapun, bahkan bertanya pads Indira lebih.“Kamu benar nggak ikut acara itu?” tanya Mita yang diangguki Indira “Aku juga nggak dapat ijin, gimana ya bilangnya?”“Aku nggak tahu.” Indira sama sekali tidak bisa membantu Mita.Indira yang tidak berangkat membuat beberapa teman lainnya melakukan hal yang sama, beberapa kali Indira melihat ekspresi Wahyu takut dengan pemikirannya yang macam-macam tentang dirinya. Setelah mengantarkan ke rumah belum melihat keberadaan Fajar sama sekali, perasaan lega dan penasaran tentang keberadaan Fajar menjadi satu.“Mas Fajar lagi sibuk ngurus masalah RSJ,” ucap Ryan yang tiba-tiba duduk disamping Indira.“Aku nggak cari dia. Kamu kenapa disini?” tanya Indira penasaran.“Besok kita berangkat me
“Bukannya teman-teman kamu berangkat? Terus ngapain ke kampus? Habis dari kampus kemana?” tanya mama, Nuri.“Mau lihat mereka berangkat, ma. Habis dari kampus mau ke toko buku.”“Sama siapa? Pak Diman dipakai sama Bagas, terus kamu pulangnya gimana?”“Angkot masih banyak, ma. Aku berangkat kalau gitu.”“Seniormu kemarin siapa namanya? Ganteng orangnya, dia suka sama kamu?”“Kak Fajar? Nggak lah, mana mungkin dia naksir aku. Aku berangkat kalau gitu, ma.”Indira mengambil tangan Nuri mencium punggung tangannya, keluar diantar supir keluar menuju kampus, tidak peduli dengan masalah pulang karena sudah janjian dengan Gina, sahabatnya. Perjalanan rumah ke kampus tidak terlalu jauh, hanya saja Indira belum mendapatkan ijin untuk menggunakan kendaraan sendiri. Keadaan fakultasnya sudah mulai ramai, Indira memilih sedikit menjauh karena tidak enak dengan teman-teman yang lain. Bus yang akan mengantarkan mereka semua sudah bera
Tidak banyak yang tahu tentang hubungan Fajar dan Indira, walaupun banyak yang bertanya-tanya tapi Indira tidak pernah menjawab dengan pasti. Indira hanya menceritakan pada Mita, teman sekolahnya dulu. Ryan, pria itu tetangga Fajar jadi tahu banyak tentang hubungan mereka berdua dan tidak masuk kedalam hitungan.Indira tidak pernah tahu kalau Fajar selalu berhubungan dengan papanya, Ahmad. Baru tahu ketika mereka jalan pada saat yang lain psycho camp, jalan yang menurut Fajar adalah kencan tapi tidak dengan Indira.“Sebenarnya kamu sendiri sama Mas Fajar gimana?” tanya Mita saat mereka menunggu dosen masuk.“Nggak tahu, gosip-gosip itu membuat aku jaga semuanya.”“Itu kan gosip belum tentu benar.” Mita mengingatkan yang diangguki Indira “Kamu sudah ketemu sama Mas Romi?”“Ah...untung kamu bilang, soalnya Aulia cerewet banget buat aku ketemu sama Mas Romi.”“Jadwal kuliahnya beda jadinya sulit ketemu.” Indira membenarkan perkataa
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi