“Bukannya teman-teman kamu berangkat? Terus ngapain ke kampus? Habis dari kampus kemana?” tanya mama, Nuri.
“Mau lihat mereka berangkat, ma. Habis dari kampus mau ke toko buku.”“Sama siapa? Pak Diman dipakai sama Bagas, terus kamu pulangnya gimana?”“Angkot masih banyak, ma. Aku berangkat kalau gitu.”“Seniormu kemarin siapa namanya? Ganteng orangnya, dia suka sama kamu?”“Kak Fajar? Nggak lah, mana mungkin dia naksir aku. Aku berangkat kalau gitu, ma.”Indira mengambil tangan Nuri mencium punggung tangannya, keluar diantar supir keluar menuju kampus, tidak peduli dengan masalah pulang karena sudah janjian dengan Gina, sahabatnya. Perjalanan rumah ke kampus tidak terlalu jauh, hanya saja Indira belum mendapatkan ijin untuk menggunakan kendaraan sendiri.Keadaan fakultasnya sudah mulai ramai, Indira memilih sedikit menjauh karena tidak enak dengan teman-teman yang lain. Bus yang akan mengantarkan mereka semua sudah berada di tempat parkir, menatap mereka dari kejauhan dengan tatapan iri.“Mau lihat Mas Fajar berangkat?” suara seseorang yang duduk disampingnya.“Nggak masuk barusan?” Indira tidak menjawab pertanyaan Ryan.“Lima belas menit lagi berangkat, tapi aku nggak lihat Mas Fajar sama sekali.” Ryan mencari keberadaan Fajar.“Ruang BEM kali atau ngurus yang lain.” Indira menanggapi sambil lalu.“In, ngapain kesini? Katanya nggak ikut?” tanya Sinta yang sudah ada dihadapannya.“Mau lihat kalian berangkat,” jawab Indira dengan senyum tipisnya.“Mita nggak ikut juga ya?” tanya Lia yang tiba-tiba bergabung.“Nggak ikut dia?” tanya Indira terkejut.“Kamu nggak tahu?” tanya Lia penasaran yang dijawab Indira dengan gelengan kepalanya. “Informasi yang beredar mamanya masuk rumah sakit.”Indira hanya menganggukkan kepalanya, kalau boleh jujur sebenarnya sudah tahu Mita tidak akan ikut. Mita tidak berbeda jauh dengan dirinya yang tidak akan mendapatkan persetujuan dari orang tua, apalagi orang tua Mita memiliki jabatan penting di kampus jadi bisa dengan mudah mendapatkan dispensasi berbeda seperti dirinya.“Kita kumpul, udah mau berangkat.” Ryan membuyarkan lamunan Indira.Memeluk dua temannya yang baru dikenal dan berjalan bersama Ryan ke teman-teman yang lain berkumpul, mereka mulai meninggalkan fakultas satu per satu. Indira menatap mereka dari jauh, menghembuskan nafas panjang, perasaan tidak rela menghampiri dirinya saat melihat teman-temannya pergi. Bukan pertama kali Indira mengalami ini semua, kedua orang tuanya akan memberikan ijin jika memang bermanfaat untuk pendidikan atau dirinya menikah.“Mau disini atau pulang?”Indira hampir mundur saat mendengar suara disampingnya “Kak Fajar!”“Kenapa?” tanya Fajar menahan senyum melihat ekspresi Indira.“Nggak ikut berangkat?” tanya Indira setelah berhasil menenangkan dirinya.Fajar menggelengkan kepalanya “Pacarku nggak berangkat jadi kenapa aku harus berangkat.” Indira membuka mulutnya tidak percaya “Jadi mau disini terus atau pulang atau kencan?”“Kencan?” Indira mengulangi kata-kata Fajar yang menganggukkan kepalanya “Memang mau kencan dimana?”“Ya, udah kita berangkat sekarang. Naik sepeda motor nggak masalah, kan?”“Nggak papa, asal kencangnya nggak jalan kaki aja.” Indira menenangkan Fajar.Fajar memberikan helm dan jacket yang membuat Indira menatap bingung “Baju kamu pendek nanti kena panas jadinya hitam.”Indira menggelengkan kepalanya membalikkan jacket pada Fajar “Aku malah pingin coklat gitu kaya Kak Fajar.”Fajar seketika mengacak rambut Indira dengan gemas “Kita berangkat sekarang.”Memastikan Indira sudah menggunakan helm, mereka keluar dari parkiran fakultas yang sudah mulai sepi. Sedikit penasaran Fajar tidak berangkat ke acara, tapi rasanya Indira tidak tahu harus bertanya mulai darimana. Kendaraan Fajar berhenti di tempat parkir sepeda yang sedikit jauh dari mall, Indira tahu jika parkiran sepeda di mall ini ada dua pilihan yaitu di gang tempat rumah penduduk atau masuk kedalam tapi jalannya jauh.“Kita ke mall atau makan disini?” tanya Indira langsung.“Kamu mau makan disini?” tanya Fajar dengan ekspresi terkejutnya.“Aku pernah makan disini, kak. Warung biru itu, mie ayam sebelah sana, donat yang disitu, gorengan dekat pintu masuk mall itu, otak-otak di sebelahnya, terus mana lagi ya? Kalau minuman standard sih kalau bukan es teh ya air mineral. Jadi kita makan disini terus ke mall atau gimana?” Indira menatap Fajar yang masih terkejut.“Memang orang tua kamu nggak masalah kamu makan di tempat begini?” tanya Fajar penasaran.Indira langsung menggelengkan kepalanya “Penting enak, kenapa nggak. Uang saku orang tua harus pintar menghemat, nanti kalau ada lebih baru beli yang mahal. Terus kita gimana?”Fajar tersenyum mendengarnya, gadis dihadapannya ini memang anak yang berasal dari keluarga cukup. Sedikit banyak Fajar tahu bagaimana kehidupannya, tapi tidak menyangka tidak terlalu masalah dengan hal-hal seperti ini. Fajar mengajaknya kesini tadi untuk melihat reaksinya setelah kemarin mengajaknya makan di tempat langganan bersama teman angkatannya dulu.“Kakak, kita mau kemana?” tanya Indira menggerakkan tangannya dihadapan Fajar.“Mall atau makan dulu?” tanya Fajar membuat Indira mengerucutkan bibirnya.“Masuk mall aja dulu.”Berjalan bersama memasuki mall, berdampingan tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Beberapa kali Fajar melihat dari sudut matanya ekspresi wajah Indira yang sudah mulai pucat, menghembuskan nafas panjang dengan memegang tangannya yang membuat langkah Indira berhenti karena terkejut.“Sorry, aku kira kamu...”“Aku nggak papa kok, kak. Tenang aja.” Indira tersenyum tipis pada Fajar.Berjalan kembali, kali ini Fajar hanya diam dan tidak berusaha untuk menggenggam tangannya. Memasuki mall yang seketika hembusan nafas panjang dikeluarkan Indira, Fajar menatap bingung dengan apa yang dilakukannya. Tidak membuka suaranya dengan melanjutkan langkahnya mengikuti Indira yang berjalan disampingnya, langkah Indira berhenti yang lagi-lagi membuat Fajar mengerutkan keningnya.“Kita ke food court aja, aku mau bicara sama kakak.”“Bicara apa?”Indira tidak menjawab, menggenggam tangan Fajar untuk mengikuti dirinya. Melihat tangan mereka yang saling bertautan seketika membuat jantung Fajar berdetak kencang, selama ini tidak ada wanita yang bisa membuatnya berdetak. Mereka sampai di foodcourt dan langsung memesan minuman, duduk berhadapan yang membuat Fajar seketika tidak nyaman sama sekali pasalnya Indira memberikan tatapan penuh selidik.“Kenapa kakak nggak berangkat?” tanya Indira langsung.“Berangkat, nanti malam.”“Aku boleh ikut?”Fajar membelalakkan matanya mendengar kata-kata Indira “Kamu bilang apa nanti sama orang tuamu?”“Kakak yang minta ijin.” Indira mengatakan dengan santai membuat Fajar membelalakkan matanya “Terus kenapa kakak nggak berangkat sekarang?”“Kamu tu sebenarnya mau apa?” tanya Fajar setelah berhasil menenangkan dirinya “Mau ikut aku ke acara?” Indira menganggukkan kepalanya “Kamu nggak masalah jadi bahan gosip?” Indira langsung terdiam “Orang tuamu nggak akan setuju.”“Terus kenapa kakak nggak berangkat sama mereka? Nanti mau berangkat sama siapa?”“Aku berangkat sama Awang dan Nathali, nanti aku kenalkan sama Nathali. Kenapa aku nggak berangkat sama mereka karena...aku mau kencan.”“Oo...kalau kencan kenapa ngajak aku keluar? Harusnya kakak...”“Kencannya sama kamu, secara kita udah resmi pacaran. Kamu nggak lupa kan sama hukuman itu? Hukumannya sudah hilang, tapi jadi pacar tetap berlaku. Jadi sekarang ini kita lagi kencan, sayang.”Tidak banyak yang tahu tentang hubungan Fajar dan Indira, walaupun banyak yang bertanya-tanya tapi Indira tidak pernah menjawab dengan pasti. Indira hanya menceritakan pada Mita, teman sekolahnya dulu. Ryan, pria itu tetangga Fajar jadi tahu banyak tentang hubungan mereka berdua dan tidak masuk kedalam hitungan.Indira tidak pernah tahu kalau Fajar selalu berhubungan dengan papanya, Ahmad. Baru tahu ketika mereka jalan pada saat yang lain psycho camp, jalan yang menurut Fajar adalah kencan tapi tidak dengan Indira.“Sebenarnya kamu sendiri sama Mas Fajar gimana?” tanya Mita saat mereka menunggu dosen masuk.“Nggak tahu, gosip-gosip itu membuat aku jaga semuanya.”“Itu kan gosip belum tentu benar.” Mita mengingatkan yang diangguki Indira “Kamu sudah ketemu sama Mas Romi?”“Ah...untung kamu bilang, soalnya Aulia cerewet banget buat aku ketemu sama Mas Romi.”“Jadwal kuliahnya beda jadinya sulit ketemu.” Indira membenarkan perkataa
“Baca apaan sih?” tanya Fajar penasaran.Satu hal yang tidak diketahui anak fakultas adalah Fajar yang sering datang ke rumah Indira setiap selesai jadwal di RSJ atau weekend atau setiap ada waktu luang, kalau ditanya tentang status mereka pastinya akan memberikan jawaban berbeda. Indira masih tidak yakin dengan keseriusan Fajar, tapi berbeda dengan Fajar yang akan menjawab mereka memiliki status asmara.“Mala sama Mas Romi bisa gitu bilang suka barengan,” ucap Indira sambil menggelengkan kepalanya tanpa menatap Fajar.“Maksudnya?” tanya Fajar bingung.Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar “Mala sama Mas Romi bilang kalau mereka saling suka satu sama lain, terus tanya kira-kira gimana bisa tahu kalau dia suka. Aku kaget aja kenapa gitu bisa bareng.”“Gimana mereka saling kenal?”“Dua hari lalu Mas Wahyu dan Mas Romi ngajak makan bareng, aku ajak teman-teman yang lain cuman Mala, Lia sama Sinta yang mau ikut....”“Mit
Kabar Romi dengan Mala menjadi pasangan membuat heboh satu fakultas, membandingkan hubungannya dengan Fajar sampai saat ini tidak ada yang tahu. Tidak ingin orang tahu tentang hubungannya dengan Fajar, dimana pastinya akan menjadi bahan pembicaraan dan mereka sangat yakin jika hubungan ini hanya sesaat.“Lihat mereka jadi iri,” ucap Lia yang tidak ditanggapi Indira “In, kamu kan dekat sama Mas Wahyu dan Mas Fajar buat aku jadian sama salah satu dari mereka. Eh...tapi jangan Mas Fajar pastinya nggak akan tahan lama mending Mas Wahyu, tapi kalau sama Mas Fajar juga nggak papa setidaknya bisa merasakan dekat sama orang pintar dan tampan.”“Kamu pendekatan sendiri aja, Mala aja pendekatan sendiri dan aku tidak tahu apa-apa.” Indira langsung menolaknya.“Mala bilang karena...”“Lia, Indira lagi apa ini? Nggak nyangka Romi jadian sama Mala, aku kira bakal sama kamu.” Wahyu memotong Lia yang ingin bicara.“Nggak lah, mas. Mas Romi hanya mas saja
Mobil berhenti di restoran yang menyajikan steak, tempat makan yang terkenal di banyak orang. Indira pernah makan disini dan biasanya bersama keluarga, tidak dengan teman-temannya karena memang harganya mahal.“Kak, kita makan disini?” tanya Indira memegang lengan Fajar.“Ya, kenapa?” Indira menatap Fajar penuh ketakutan “Aku baru dapat gaji dari RSJ.”Indira menggelengkan kepalanya “Nggak dibuat makan gini juga kali, kak. Mending kita makan di tempat biasa saja, uang kakak bisa dibuat yang lain.”“Lain? Kaya apa? Biaya menikah? Aku sudah siapin kalau itu.” Fajar mengatakan dengan santai membuat Indira membelalakkan matanya. “Udah, kita keluar. Aku udah lapar.”Menatap Fajar yang keluar dari mobil membuat Indira hanya bisa pasrah mengikutinya, Fajar sendiri menunggu Indira keluar dari mobil dengan harap-harap cemas, tersenyum tipis saat melihat Indira keluar dan melangkah kearahnya. Mengambil tangan Indira dengan menggenggam tangannya, ti
Indira tidak tahu bagaimana berita hubungannya dengan Fajar hadir setelah heboh Mala dan Wahyu. Tatapan beberapa anak membuat Indira tidak nyaman sama sekali, menggenggam tangan Mita yang berada disampingnya.“Kamu benar sama Mas Fajar?” tanya Mala yang hanya dijawab anggukan Indira “Wah...gimana bisa? Katanya dia suka nggak tahan lama kalau pacaran, memang nggak takut?” Indira hanya tersenyum tidak tahu harus menjawab apa “Mas Romi kirim kamu pesan? Dia sampai khawatir kalau berita itu benar, tapi Mas Romi bilang kalau nggak akan terjadi yang dulu-dulu.”Indira lagi-lagi hanya diam tidak tahu harus menanggapi apa, tidak selamanya Mita berada disampingnya, terkadang Mita bersama dengan Wati karena bagaimanapun Indira sendiri tidak terlalu dekat dengan Mita.“Kamu serius sama Mas Fajar?” tanya Lia yang sudah duduk disamping Indira.“Beritanya begitu jadi anggap saja begitu.” Indira menjawab sambil lalu.“Kamu bilang mau bantu aku buat deka
“Kakak kenapa disini?” Indira menatap bingung pada Fajar yang duduk di ruang tamu.“Ryan bilang adik ada masalah? Masalah Lia? Memang belum selesai?” Indira memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Fajar “Ryan ini mata-mata kakak? Tahunya lengkap sekali.” “Aku khawatir sama adik setelah beberapa minggu lalu cerita masalah Lia.” Fajar memberikan alibi.“Bukan jadikan Ryan mata-mata juga.” Indira tidak tahu bagaimana hubungan mereka bisa bertahan hampir satu semester, ternyata Fajar memang laki-laki yang tanggung jawab, selama ini kedekatannya bukan hanya dengan Indira tapi juga seluruh keluarganya. Selama ini belum pernah Fajar mengenalkan pada kedua orang tuanya atau keluarga, Indira juga tidak mencari tahu dari Ryan mengenai keluarga Fajar.“Masalah adik?” tanya Fajar lagi dengan penasaran.“Putus pertemanan.” Indira menjawab santai.“Gara-gara aku?” Indira menggelengkan kepalanya “Romi dan Mala?”
Dio benar-benar mendaftarkan Indira menjadi bagian dari penerimaan mahasiswa baru, mereka mulai di liburan semester ganjil ke genap. Belum mengenal banyak orang membuat Indira sedikit takut, keberadaan Ryan membuatnya bernafas lega dan mungkin karena Fajar.“Pasti disuruh Kak Fajar,” tembak Indira langsung saat Ryan menjemput dirinya.“Kalau jadi panitia memang mau gabung, tapi jemput kamu tebakanmu benar dan lumayan buat bensin juga jajan di kantin.” Ryan menjawab dengan santai.Tidak mau berdebat, langsung naik ke sepeda motor Ryan. Mengendarai dengan kecepatan normal karena mereka tidak dalam kondisi dikejar waktu, tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Indira turun terlebih dahulu sedangkan Ryan memilih memarkirkan motornya, melihat Mala dan Romi membuat Indira mendatangi mereka.“In, aku dengar kamu tengkar sama Lia dan Sinta,” ucap Mala langsung yang membuat Indira terkejut.“Ada hubungannya sama kamu?” tanya Romi dengan tata
Kantin, Fajar langsung menarik Indira ke kantin bertemu dengan teman yang tadi berbicara dengannya. Menatap tidak enak dengan mengaduk minuman yang ada dihadapannya, Fajar memegang tangan Indira yang membuatnya mengangkat kepala menatap dua sahabat Fajar.“Kita belum kenalan tadi, Nathali dan ini Awang.” Nathali tersenyum lebar membuat Indira melakukan hal yang sama.“Indira, mbak. Mas Awang sudah pernah ketemu dan kenalan.” “Kenapa mau sama Fajar?” tanya Nathali langsung setelah memberikan tatapan tajam ke Awang dan Fajar.“Dihukum.” Indira menjawab spontan membuat Nathali terkejut dan memberikan tatapan penasaran kearah Fajar.“Kalian benar pacaran nggak sih?” tanya Awang dengan penuh rasa ingin tahu “Kenapa kamu nggak nolak? Apalagi udah jalan satu semester.” Awang menatap Indira ingin tahu.“Dik, jawabnya yang serius.” Fajar memberikan peringatan.“Nggak usah serius, jujur aja. Kita mau tahu sebenarnya.” Nathali men
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi